Aksi Mematikan Mikrofon : Bukti Otoriter Para Wakil Rakyat?

 


Oleh : Novi Puji Lestari


Aksi puan Maharani kembali mengundang kontroversi, pasalnya putri dari Megawati tersebut kembali mematikan mikrofon saat memimpin rapat paripurna anggota DPR yang digelar pada Selasa (24/5/2022). (Tribunnews.com Rabu, 25 Mei 2022)


Saat itu, anggota Komisi VI DPR asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Amin AK yang hendak menyampaikan interupsi dan menyampaikan aspirasi, tak lagi bisa melanjutkan kata-katanya lantaran sang pemimpin sidang yakni puan Maharani memotong dan menutup begitu saja agenda persidangan.


Dilihat dari sepak terjangnya dalam politik, ternyata aksi mematikan mikrofon ini kembali terjadi setelah sebelumnya ia pernah melakukannya sebanyak dua kali pada tahun 2020 dan 2021 lalu. Pada Oktober 2020 lalu tentang Pengesahan UU Cipta Kerja, puan Maharani mematikan mikrofon (mic) seorang anggota sidang yakni politikus Partai Demokrat, Irwan atau Irwan Fecho, yang sedang interupsi. Sementara pada November 2021 lalu, tepatnya pada agenda Persetujuan Jenderal TNI, Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, beliau pun kembali melakukan aksi tersebut. Alih-alih menggubris dan mendengarkan aspirasi yang disampaikan, puan Maharani malah kembali mematikan mikrofon salah satu anggota rapatnya yakni anggota Komisi X dari Fraksi PKS, Fahmi Alaydroes yang mengajukan interupsi.


Akibat kasus di atas, cucu dari presiden pertama Republik Indonesia ini berhasil menjadi sorotan publik. Para warganet menganggap bahwa aksi yang dilakukan oleh puan Maharani ini terkesan tak etis dan otoriter. Hal ini pun dikomentari oleh Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus yang menyebut bahwa sikap Puan justru merugikan, karena masyarakat saja dapat menilai sikap tersebut sebagai otoriter. 


"Meski tidak berhubungan dengan agenda sidang, tetapi dia harus didengarkan dulu," paparnya.


"....Lagipula, lanjutnya, pada saat sidang tersebut keadaannya masih kondusif serta tidak ada hujan interupsi." (Tribunnews.com Rabu, 25 Mei 2022)


Pada saat rapat paripurna anggota DPR yang digelar pada Selasa (24/5/2022) itu, Amien bersikeras meminta waktu untuk menyampaikan interupsinya, dan puan memberinya waktu 1 menit. Ia kemudian menjelaskan kejadian terkini mengenai LGBT yang sempat viral di podcast Dedi Corbuzier, serta dikibarkannya bendera LGBT di kantor Kedubes Inggris di Jakarta. (Suara.com Kamis, 26 Mei 2022).


Namun, alih-alih memberikan waktu bagi Amin AK untuk menyelesaikan interupsinya, nyatanya puan Maharani menutup dan membubarkan persidangan tanpa mau mendengar lebih lanjut terkait aspirasi yang disampaikan. 


Jika kita analisa lebih dalam, para wakil rakyat yang menduduki kursi pemerintahan  begitu mengesampingkan kepentingan rakyat. Sebaliknya mereka cenderung berpihak pada korporat, Sang pemilik modal. Hal ini terlihat dari sikap acuh mereka, terlebih dengan adanya aksi mematikan mikrofon saat topik pembicaraan membahas tentang hak-hak publik seperti persoalan pekerja atau buruh dalam RUU Omnibuslaw serta penyimpangan seksual dalam RUU PKS.


Oleh karena itu, bagaimana bisa rakyat yang hanya berbekal kemampuan "mengkritik" mampu membuka hati para pemangku kebijakan, jika sesama kolega rapatnya saja tak diberikan kesempatan yang seharusnya dalam menyampaikan aspirasi. Pantas saja masyarakat mengalami kesulitan hidup yang tak berkesudahan. Fakta di atas sudah lebih dari cukup menggambarkan mentalitas pemimpin kapitalistik sekuler  yang mengacuhkan permasalahan penting yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. 


Tak bisa dipungkiri lagi, Sistem kapitalisme sekuler yang menjadi mercusuar peradaban saat ini berhasil membuka ruang bagi manusia untuk membuat peraturan sebebas-bebasnya. Walhasil perkataan ketua dewan pun seakan menjadi "firman tuhan" yang harus dipatuhi dan tak bisa diganggu gugat. 


Jika kita beralih haluan dengan melihat masa kepemimpinan daulah Islamiyyah dahulu, maka tak akan kita dapati para pemangku jabatan yang anti-kritik dan enggan mendengarkan keluh kesah warga negaranya.  Wakil rakyat dalam daulah Islamiyyah disebut majlis umat dan yang berada di daerah bernama "majlis wilayah". 


Dalam praktiknya, majlis umat sebagai wakil rakyat memiliki tupoksi untuk melakukan muhasabah atau kritik terhadap para pimpinan dan pejabat negara. Tak hanya itu, para majlis umat yang menjadi kepanjangan lidah rakyat ini hidup bersama rakyat hingga mereka mampu merasakan keluh kesah yang dialami oleh mereka secara langsung. Hal ini sungguh berbeda jika kita bandingkan dengan keadaan wakil rakyat saat ini, dimana banyak dari mereka yang menampilkan sisi kehidupan mewah, namun tak sampai berhasil untuk memperbaiki kondisi rakyat yang dirundung berbagai problematika kehidupan yang mencengkram. 


Dalam Islam, pemimpin akan sangat memperhatikan kritik yang disampaikan oleh majlis umat. Adapun jika kedzaliman ini terus menerus berlanjut, maka kasus ini akan dialihkan kepada mahkamah madzalim dengan memberikan sanksi pada para penguasa jika memang mereka terbukti berbuat salah. 


Selain kritik yang diberikan, para majlis umat pun memberikan saran dan masukan kepada para penguasa sebagai solusi yang bisa dipakai dalam menyelesaikan permasalah umat. Namun, saran dan masukan yang diberikan ini tidak bersifat mengikat. Jadi, solusi ini hanyalah bahan pertimbangan bagi permasalahan dan keluhan-keluhan yang disampaikan.


Wakil rakyat dan penguasa dalam Islam memiliki satu muara prinsip bersama, yakni syariat Islam. Dari sinilah mampu kita pahami bahwa semua orang dalam kepemimpinan daulah Islamiyyah berpacu pada satu tujuan, yakni keridaan Allah SWT. Dengan demikian, jabatan yang dipangkunya dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan warga negara, bukan sekedar legalitas semata. 


Ini adalah praktik berpolitik yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan Daulah Islamiyyah dahulu yang berhasil memimpin dunia selama 14 abad lamanya. Kebijakan muhasabah penguasa yang dilakukan oleh para majlis umat pun terbukti berhasil untuk mewujudkan para pemimpin yang dzalim terhadap rakyatnya sampai merugikan mereka. 


Tentunya, hal ini tak bisa diwujudkan dalam lingkup sistem kapitalisme yang berasaskan pada pemisahan antara agama dan kehidupan hari ini, dimana peraturannya berasal dari akal kerdil manusia. Sebaliknya,  keadilan dan kesejahteraan hanya bisa terpancar dari kepemimpinan yang bermuara pada Dzat yang maha kuasa, yakni Allah SWT dalam payung teduh Daulah Islamiyyah yang memimpinnya.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم