Pembangunan Infrastruktur Benarkah Untuk Kepentingan Rakyat?

 



Oleh: Tri Setiawati, S.Si


Kabupaten Blitar menerima dana hibah dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) senilai Rp 229,5 milyar untuk infrastruktur jalan. Penerimaan dana hibah milyaran ini ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) oleh Bupati Blitar Rini Syarifah dengan Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR, M.Zaenal Fatah di Gedung BSDM, Jakarta, Kamis (14/4/2022). Wakil Bupati (Wabup) Blitar Rahmat Santoso didampingi Kepala BPKAD Pemkab Blitar Kurdianto beserta perwakilan Tim Percepatan Pembangunan dan Inovasi Daerah (TP2ID) Kabupaten Blitar turut menjadi saksi penandatanganan MoU penerimaan dana hibah itu. 


Kepada Klikwarta.com Wabup Rahmat menyampaikan, diterimanya dana hibah dari pemerintah pusat ini esensinya merupakan buah dari hasil kerja nyata Bupati Rini dan dirinya untuk masyarakat Kabupaten Blitar. Kolaborasi kinerja Bupati Rini dan Wabup Rahmat dengan pemerintah pusat dalam hal ini KemenPUPR yang berujung mendapatkan hibah untuk infrastruktur jalan ini menjadi bukti komitmen janji kerjanya untuk masyarakat Kabupaten Blitar. (klikwarta.com, 14/2/2022) 


Pembangunan infrastruktur untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nyatanya hanya memberikan tetesan manfaat untuk rakyat,  Itu pun sebagian kecil saja. Belum lagi jika dalam pengerjaan infrastruktur tadi sarat dengan kepentingan politik kekuasaan. Inilah kecacatan sistem ekonomi kapitalisme yang menumpukan pertumbuhan ekonomi dalam menyejahterakan rakyat. Pembangunan infrastruktur, tidak akan mampu menyejahterakan rakyat karena beberapa alasan. Pertama, pembangunan infrastruktur ala kapitalisme bukan berbasis kemaslahatan umat, melainkan berdasarkan pada kepentingan pengusaha besar. Kedua, sistem ekonomi kapitalisme memandang bahwa permodalan merupakan ujung tombak perekonomian. Akumulasi modal menjadi bagian dari faktor produksi yang paling utama.


Kepemimpinan yang terkendali idiologi kapitalisme tidak akan pernah mengenal kepentingan rakyat. Kalaupun ada, adalah bentuk lip servis realisasinya lambat dan kental dengan imbalan. Pembangunan fasilitas umum menjadi kebijakan nomor sekian setalah fasilitas investasi bernilai lebih tinggi yang melibatkan Oligarki. Dan dibarengi dengan pengekploitasian sumberdaya alam besar-besaran demi mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Tak peduli ulah mereka (terutama para oligarki) telah mengakibatkan banyak kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat.


Adanya pihak ketiga dari rencana proyek pembangunan ini tentu jadi perhatian besar. Pasalnya, hadirnya pihak ketiga (pengusaha) ini merupakan upaya pemerintah agar berlepas tangan terkait pembiayaan proyek pembangunan.


Hal ini tentu bukan hal yang baik, adanya unsur bisnis tentu akan berakhir pada pertimbangan asas untung rugi bagi kedua pihak, yaitu pemerintah daerah dan para investor. Padahal, masalah pembangunan infrastruktur harusnya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan sesuatu yang memudahkan mereka dalam beraktivitas sehari-hari.


Sejak awal kerjasama seperti ini tidak benar, pemerintah tidak seharusnya hanya menjadi fasilitator saja, melaikan harusnya menjadi pihak yang bertanggung jawab 100% untuk tercapainya kemaslahatan umat, bukannya malah menyeret pihak ketiga yang pada akhirnya menjadikan pembangunan tidak lagi untuk masyarakat, melainkan hanya untuk memenuhi hasrat keuntungan bagi para investor atau para pemilik modal itu saja.


Hal seperti ini tentu bertentangan dengan bagaimana cara Islam dalam mengatur pembangunan dalam sebuah negara. Di masa khilafah masih berdiri adalah contoh yang sangat real bisa kita ambil pelajaran terkait bagaimana sebuah negara menjadi maju tak hanya dari segi kualitas manusianya saja tapi juga termasuk dengan aspek pembagunan infrastrukturnya hingga bisa menciptakan gaya arsitektur Islami baik berupa masjid, gerbang, dan gedung-gedung pertemuan.


Kita bisa belajar dari masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dalam membangun kota, tentang bagaimana beliau menyediakan fasilitas-fasilitas umum seperti menyediakan guest house, Gudang penyimpanan logistik, membangun bendungan, dan menyediakan penerangan. Dalam membangun jalan raya, khalifah umar juga memberi contoh sebagaimana yang dipraktikkannya dalam pembuatan jalan raya di kota Kuffah.


Dengan briliannya Khalifah Umar menetapkan jalan protokol selebar 40 hasta, jalan raya dengan lebar 30 hasta, jalan lain dengan lebar 20 hasta, dan jalan kecil (gang) dengan lebar 7 hasta. Sehingga dengan adanya fasilitas-fasilitas infrastruktur tersebut, kebutuhan rakyat dapat terpenuhi.


Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana bisa para khalifah membangun begitu banyak infrastruktur tanpa melibatkan orang ketiga seperti yang dilakukan pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia saat ini. Tentu bukan hal yang mustahil ketika sebuah wilayah dalam negara Islam bisa membiayai segala pembangunan tanpa harus melakukan transaksi dengan pihak manapun, karena anggaran dananya diambil dari pos-pos pemasukan seperti SDA, zakat, jizyah, khumus, dsb.


Pembangunan pun dilakukan berdasarkan ukuran seberapa penting bagi rakyat. Kemaslahatan umat lebih utama, tanpa berhitung untung rugi bagi negara. Karena posisi negara adalah sebagai pelayan umat, bukan sekedar fasilitator sebagaimana dalam Kapitalisme.


Berbeda dengan Islam yang sistem pemerintahannya benar-benar perhatian dan amanah dalam mengurus urusan umat. Merealisasikan kebutuhan fasilitas umum dengan segera. Bukan mengutamakan kepentingan oligarki dan merugikan umat seperti yang terjadi pada saat ini. Dalam Islam urusan kepemilikan juga diatur dengan baik. Sehingga tidak akan terjadi individu menguasai aset-aset umum bahkan mengendalikan kebijakan penguasa. Sistem Islam bersandar pada hukum Allah sebagai solusi atas problematika kehidupan manusia.   


Kita menjadi tau bagaimana peran pemerintah ataupun negara yang menganut asas kapitalis (untung rugi) dalam melaksakan pembangunan infrastrukturnya, standarnya bukan lagi kemaslahatan rakyat melainkan hanya apakah pembangunan itu bisa membawa untung yang banyak bagi para petinggi negara juga bagi para pengusaha yang bekerjasama. Sungguh jauh sangat berbeda ketika Islam yang menjadi asas negara tersebut dan aturan-aturan di dalamnya dipakai juga dilaksanakan secara sempurna.


Maka tidak heran, jika dulu peradaban Islam bisa menjadi peradaban yang sangat besar yang bisa menorehkan tinta emas pada sejarah dunia yang bahkan sampai saat ini belum bisa ditiru oleh peradaban manapun. 


Dengan kekuatan Baitulmal, Khilafah mampu membangun infrastruktur yang bermanfaat bagi rakyat tanpa intervensi asing ataupun kepentingan politik pencitraan. Pembangunannya pun akan merata di segala bidang dan fokus kerja penguasa adalah keumatan. Walhasil, stabilitas harga akan dapat tercipta. Inilah yang mengantarkan rakyat pada kesejahteraan dan keberkahan dalam kehidupan umat manusia.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم