Deradikalisasi Terus Berulang Bagaimana Solusi Islam?




Oleh: Tri Setiawati, S.Si



Desa Gaprang wilayah binaan Koramil Tipe B 0808/03 Kanigoro Kodim 0808/Blitar, menerima piagam penghargaan Kampung Pancasila yang diserahkan oleh Kasiter Korem 081/DSJ Letkol Inf Rudy Sudjatmiko, bertempat di Kantor Desa Gaprang Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar, Jumat (13/5/2022). Dengan terwujudnya Kampung Pancasila, harapannya agar bisa mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam mendukung kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai tanpa konflik, meskipun terdapat perbedaan agama, suku dan ras. Kampung Pancasila ini diharapkan bisa menjadi contoh bagi kampung-kampung lainnya, untuk selalu menjaga kebersamaan, kerukunan, toleransi dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, harap Kasiter Korem 081/DSJ (nusantaraterkini.com, 13 Mei 2022).


Isu terkait terorisme, deradikalisasi dalam 10 tahun terakhir menjadi ungkapan yang cukup populer. Secara bahasa deradikalisasi berasal dari kata “radikal” yang mendapat imbuhan “de” dan akhiran “sasi”. Radikal sendiri berasal dari kata “radix” yang dalam bahasa Latin artinya “akar”. Jika ada ungkapan “gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar atau mendasar, yang bisa berarti positif (untuk kepentingan dan tujuan baik) atau negatif.


Dalam Kamus, kata radikal memiliki arti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008). Dalam pengertian ini, hakikatnya sebuah sikap “radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun, tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainnya.


Namun dalam konteks isu terorisme, radikal pemaknaannya menjadi sangat stereotip, over simplikasi dan subyektif. “Radikal” sebuah label yang dilekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara padang, sikap keberagaman dan politik yang bertentangan dengan mainstream yang ada. Atau dengan kategorisasi sebagai alat identifikasi, “radikal” adalah orang atau kelompok jika memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi syariat dalam negara, menganggap Super Power sebagai biang kedzaliman global.


Maka yang dimaksud “de-radikalisasi” adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.


Empat kriteria radikal versi BNPT adalah intoleran atau tidak siap berbeda, takfiri atau suka mengkafirkan, menolak NKRI dan menolak Pancasila. Definisi tersebut lebih ditujukan kepada kaum muslimin yang ingin menerapkan aturan agamanya secara utuh. Penghargaan Kampung Pancasila ini seolah ingin menegaskan bahwa masyarakat yang bisa mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan masyarakat adalah masyarakat yang tidak radikal toleran dan sebagainya, sebaliknya mereka yang menolak Pancasila, tidak menerima perbedaan dianggap radikal dan intoleransi. Sejatinya untuk menjadikan kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai tanpa konflik walaupun terdapat perbedaan agama, suku dan ras telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pada kehidupan yang diterapkan syariat Islam kaffah di Madinah. Isu radikal bukanlah hal yang baru, terutama sejak gerakan radikalisasi agama disebut-sebut berkembang masif di ruang kampus. Subjek ini diteliti lewat profil para pelaku teror dari latar belakang pendidikan, usia, keluarga, hingga jaringan organisasi.


Radikalisme saat ini menjadi suatu kata yang memiliki dimensi horor. Radikalisme dianggap suatu faham yang menginspirasi terjadinya berbagai teror dan lahirnya para teroris. Seseorang di anggap menjadi teroris, berawal dari radikal. Orang menjadi radikal karena mendalami ajaran agama. Sehingga akhirnya muncullah stigma ditengah-tengah kaum intelektual bahwa yang menyebarkan ideologi anti-Pancasila, berambisi mendirikan negara khilafah, terkait dengan jaringan teror global Negara Islam (ISIS), melawan pemerintah, menolak demokrasi, dan sebagainya, itulah opini yang dikenalkan kepada generasi muda serta disebut sebagai kelompok radikal.


Atas nama membela  negara, pemerintah melakukan pembinaan bela negara kepada kaum muda, kaum milenial dengan dalih sebagai upaya untuk meminimalisir paham radikalisme yang berdampak pada terpecah belahnya persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara.


Proyek deradikalisasi dengan dalih membela persatuan dan kesatuan bangsa digencarkan pada generasi muda agar masa depan negara yang berada di generasi milenial nanti, mampu menghadapi ancaman baik internal maupun eksternal. Sebab, saat ini banyak sekali paham radikalisme hingga terorisme di Indonesia sejatinya adalah proyek yang diaruskan oleh  barat untuk menghadang tegaknya Islam Kaffah. Karena mereka tahu tantangan mereka saat ini adalah Islam. Padahal justru paham dari Barat lah seperti demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme, sekularisme, kapitalisme yang berbahaya bagi umat Islamophobia. 


Jika deradikalisasi yang dilakukan menyasar kaum intelektual dengan stigma radikalisme versi negatif, wajar ketika menjadi  sosok pragmatis, tidak peduli dengan sekitar  bahkan takut untuk mendalami ajaran agamanya sendiri. Di tangan para intelektual, lahir dan melekat suatu pemikiran dan idealisme yang tinggi. Mereka bisa membakar semangat perjuangan menuju peradaban yang gemilang. Jangan sampai istilah radikalisme menjadi alat untuk membungkam girah keislaman yang positif. Jangan sampai orang-orang yang bersemangat mengkaji Islam, menyeru pada kebaikan, mengamalkan dan memperjuangkannya menjadi bimbang bahkan padam dalam berjuang.


Ini merupakan hal yang positif dan tidak layak untuk dihantui dengan kata radikalisme yang menjadikan muslim tersebut phobia terhadap agamanya sendiri. Karena menyeru kepada Islam bukanlah sesuatu yang keliru apalagi dikatakan sebagai perbuatan yang negatif. Ia merupakan kewajiban dari Allah SWT, memerintahkan kepada hamba-Nya yang beriman untuk taat pada setiap garis ketentuan-Nya (Syari’at Islam). Hingga pada akhirnya, syariat Allah diterapkan secara menyeluruh dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Saatnya umat paham bahwa proyek ini adalah senjata ampuh untuk menghadang dakwah khususnya dakwah politik ideologis, dakwah yang bertujuan menegakkan Islam Kaffah dalam Daulah Khilafah yang dengannya umat akan terhindar dari paham yang merusak aqidah dan tatanan kehidupan. Kiranya umat harus paham bahwa ini adalah proyek deradikalisasi yang dipropagandakan Barat untuk menghadang diterapkannya aturan Islam yang Kaffah dalam Daulah Khilafah.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم