Warung Makan Tetap Buka Saat Ramadan : YES OR NO?



Oleh : Errita Septi Hartiti, S.Pd (Praktisi Pendidikan)


Dalam rangka menghormati umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa, Pemda Pamekasan Jawa Timur membuat kebijakan bagi pemilik tempat makan di Kabupaten Pamekasan. Kebijakan tersebut adalah larangan buka dan melayani pembeli untuk makan di tempat selama siang hari. Mereka baru boleh membuka warung kembali mulai sore hingga malam. Khusus untuk tempat makan di terminal diperbolehkan buka untuk melayani para musafir. Kebijakan yang sama juga disampaikan oleh MUI Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Selain tempat makan, pemilik tempat hiburan malam juga dihimbau untuk tutup selama bulan Ramadan.


Kebijakan ini seharusnya tidak dianggap sebuah kebijakan aneh yang patut dipermasalahkan. Sayangnya, ada orang-orang yang mempermasalahkannya. Pemilik akun twitter @icatwps misalnya, sambil menge- _tag_ akun para tokoh Muslim 

“ Organisasi MUI Kota Bekasi nyuruh warung makan (warteg) tutup berjualan, padahal ada umatnya yang puasa sambil selingkuh tetep jalan”

Menanggapi cuitan tersebut KH Cholil Nafis menanggapi,

“Warung tak usah ditutupi jualannya, tapi makannya jangan dipamerkan kepada orang yang sedang berpuasa. Yang puasa jangan menutup hajat orang lain, tapi yang tak puasa jangan menodai bulan Ramadan”.


Menyikapi ribut-ribut soal ini, MUI pusat pun meminta agar jangan ada pihak yang melakukan aksi _sweeping_ terhadap tempat makan selama bulan Ramadan. Aktivitas ekonomi harus tetap berjalan selama Ramadan. 


Ranah Fikih ataukah Paradigma Kebijakan Sekuler?


Siapapun paham bahwa bulan Ramadan adalah bulan suci nan istimewa. Bulan ini sejak Rasulullah dahulu menjadi salah satu wadah mensyiarkan Islam. Pada bulan inilah umat Islam sedunia kompak beribadah puasa, semarak menjalankan berbagai aktivitas ketaatan dan ibadah lainnya. Pada bulan ini juga umat Islam mudah menjauhi kemaksiatan dan pembicaraan sia-sia. 


Sayang seribu sayang, kualitas masyarakat dan penguasa mereka saat ini masih bercorak sekuler kapitalistik. Akhirnya, semarak Ramadan yang penuh ketaatan tak begitu terasa. Pengarusan dari kaum liberal kapitalis seringkali mengatasnamakan toleransi dan keberagaman dengan mengobok-obok syariat dan syiar Islam. Mereka sebar opini bahwa seharusnya umat Islam yang sedang berpuasa itu menghargai orang yang tidak berpuasa. Kecaman demi kecaman mereka lontarkan. Anehnya, penguasa Muslim bukannya mendudukkan, malah seolah membenarkan. Sehingga sepanjang tahun pro kontra terkait polemik buka tutup tempat makan tetap muncul. 


Dari sini jelas, problem yang terjadi bukan terjadi di ranah fikih. Namun lebih kepada paradigma kebijakan politik. Jika dasar kebijakan masih sekuler kapitalistik, kaum liberal dan sejenisnya akan makin berani menggugat syariat Islam dan memprioritaskan keuntungan ekonomi semata. Penguasa seharusnya taat pada fungsi utamanya, yakni sebagai raain (pengurus) memastikan semua umat Islam yang mukallaf menjalankan ibadah puasa. Kemudian tugasnya sebagai mas’ul (penanggung jawab) berarti bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan seluruh aktivitas pada bulan Ramadan, termasuk pengawasan terhadap orang-orang yang menodai kesucian bulan Ramadan, seperti penyesatan opini yang dilakukan oleh orang liberal.


Dalam pandangan fikih memang tidak ada larangan membuka tempat makan saat Ramadan. Namun Allah melarang kita untuk tidak saling tolong menolong dalam keburukan. Allah berfirman 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ


Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (Q.S. Al-Ma’idah : 2)


Karna itu, jika ada kebijakan bolehnya membuka tempat makan di siang hari Ramadan harus terlepas dari kepentingan kaum sekuler liberal seperti saat ini. Hal ini kembali membuka mata kita bahwa umat Islam saat ini sulit untuk menaati perintah Rabb mereka secara totalitas. Hatta saat bulan Ramadan, suasana masyarakat dan aturan negara tidak mendukung untuk beribadah. 


Berkebalikan dengan negara sekuler, negara Islam atau Khilafah secara pasti akan menjadikan bulan Ramadan sebagai syiar Islam. Siang dan malam ramadan akan dikondisikan untuk menghidupkannya dengan berbagai aktivitas ibadah dan kebaikan, seperti sholat berjamaah, tilawah, dakwah, bersedekah, sholat tarawih, i’tikaf dan sebagainya. Siang hari bulan Ramadan di negara Khilafah juga tidak akan didapati orang makan dan minum, merokok, dan aktivitas lain yang membatalkan puasa di tempat-tempat umum. Orang non-muslim dan para musafir pun dengan penuh kesadaran akan ikut menjaga kesucian bulan Ramadan dengan menghormati umat Islam yang sedang berpuasa. 


Bagi oknum-oknum yang tetap nekat bermaksiat atau menodai kesucian Ramadan, akan ada syurtoh (polisi) yang dikerahkan untuk menertibkan mereka. Demikianlah, meski negara tegas dalam menerapkan syariat, negara tidak akan bersikap diktator. Karna Negara juga memfasilitasi para da’i/da’iyah untuk menyampaikan Islam di tengah masyarakat, sehingga pemahaman atas syariat bisa terwujud. Hal ini menjadi modal besar untuk membangun kesadaran bahwa setiap aktivitas yang dilakukan semata-mata dalam rangka taat kepada Allah.


Wallahua’lam bis showwab

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم