(Saatnya Perempuan Sadar Literasi
Yuk Budayakan Membaca #selfreminder)
Endah Sulistiowati
Dir Muslimah Voice
Kartini menjadi simbol perjuangan perempuan, Kartini tidak ingin jika kehidupan perempuan harus berakhir hanya di dapur, sumur, dan kasur apalagi tanpa pendidikan yang memadai. Padahal seorang perempuan adalah garda terdepan, kunci utama lahirnya generasi-generasi bangsa yang unggul. Ditanganyalah para calon pemimpin bangsa dididik dan dipersiapkan hingga akan generasi yang akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Hal tersebut tertuang dalam surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, tertanggal 4 Oktober 1901, yang isinya:
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Kartini meninggal saat usianya masih 25 tahun setelah melahirkan putranya. Setelah Kartini wafat sahabat-sahabatnya terketuk untuk mewujudkan impian dan cita-cita Kartini. Dipelopori oleh Van Deventer yang mencetuskan konsep politik etis (politik balas budi) pada tahun 1912 berdirilah Sekolah Wanita di bawah naungan Yayasan Kartini di Semarang, kemudian disusul Sekolah Wanita di Surabaya, Yogyakarta, dan Madiun.
Apa yang dilakukan oleh Kartini pada saat itu adalah sebuah bentuk perjuangan mengembalikan hak rakyat, khususnya perempuan untuk mendapatkan pengajaran. Kartini mengoptimalkan yang ia bisa kerjakan, kemampuannya membaca dan menulis terus ia asah. Hingga Kartini mampu menyadari apa yang sesungguhnya terjadi di negeri tercintanya. Kesenjangan sosial, kebodohan, kemiskinan, menjadi penyakit yang tumbuh akibat penjajahan.
Kesadaran inilah yang menuntut Kartini untuk terus bersuara. Apa yang Kartini tulis dalam surat-suratnya merupakan bentuk protes serta kepedulian akan nasib bangsanya. Meskipun orang lain lah yang merealisasikan cita-citanya untuk menyediakan layanan pendidikan untuk anak-anak pribumi. Namun jangan salah, semuanya berawal dari kegigihan Kartini untuk terus menyuarakan pergolakan hati dan pikirannya atas ketidakadilan para penjajah.
Pejuang Literasi
Tidak salah kan, jika Kartini disebut sebagai Pejuang Literasi atau bahkan Pahlawan Literasi. Apa yang dilakukan Kartini setidaknya menambah bukti bahwa tulisan yang sarat makna akan mampu mengguncang dunia. Sehingga bagi perempuan sekarang, melek literasi menjadi keharusan. Bahkan semua kegiatan, pekerjaan, sekolah, dsb., menjadi sangat mudah karena bisa dilakukan melalui berbagai aplikasi di smartphone (telepon pintar).
Tapi jangan lupa, Kartini tidak terpengaruh oleh budaya Barat dan tidak mengekor penjajah karena memiliki pendirian yang kuat. Hal ini ia peroleh dari didikan kuat guru ngajinya yaitu Kyai Sholeh Darat dan juga bentukan kedua orang tuanya sebagai keturunan ulama. Teguhnya aqiqah dan kuatnya pendirian akan mengimbangi para perempuan terjun di dunia literasi ini. Bisa dibayangkan, jika kita sebagai bagian dari perempuan saat ini sampai buta literasi dan tidak memiliki pendirian! Bagaimana bisa kita mendidik generasi di era industri 4.0 ini?
Jangan sampai jaman yang sekarang dikatakan edan membuat kita para perempuan juga ikutan edan, bahkan menyalahi kodrat. Astaghfirullah. Para perempuan harus tetap berada dalam ranahnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, apapun profesinya dan kedudukannya di tengah masyarakat.
Tulisan ini disadur dari tulisan saya sendiri dengan Judul Perjuangan Kartini Dirilis dari Menulis.