Oleh : Thama Rostika (Pena Untuk Peradaban)
Marhaban ya syahru Ramadhan. Ramadhan tiba, walau di tengah fakta kenaikan berbagai macam barang dan sembako yang semakin mencekik, umat muslim tetap bersuka cita. Bahkan sebelum memasuki ramadhan, tak sedikit muslim telah siap menyambut bulan penuh berkah, bulan penuh ampunan ini dengan berbagai hal positif. Seperti apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Yogyakarta dan sempat menjadi perbincangan di dunia maya. Pasalnya masyarakat berkumpul dan membaca Alquran bersama di daerah Malioboro. Warga duduk di kursi-kursi yang ada di pinggir Jalan Malioboro sembari membaca Alquran, dan diikuti dengan membaca sholawat sembari berdiri di tepi jalan. Setelah menjadi perbincangan, Penyelenggara Jogja Mengaji di Malioboro yaitu Badan Wakaf Alquran (BWA) angkat bicara. Ketua Cabang BWA Yogya Narko A Fikri menjelaskan bahwa acara itu dibuat spontanitas. Tujuan utamanya adalah syukuran karena BWA telah mampu mendistribusikan 30 ribu Alquran di Yogyakarta. Sekaligus juga menyambut bulan Ramadhan. Dikutip dari kumparan.com Narko A Fikri menyampaikan sebenarnya itu hanya syukuran BWA Jogja. "Kita buat ini ya semacam syukuran ngaji. Yang kita baca juga surat Yassin tok, hanya 10 menitan lah nggak lama. Kalau kepentingan lain, untuk branding BWA saja sebenarnya," kata Abah Narko sapaan akrab Narko, Kamis (31/3).
Sayangnya aksi positif tersebut dinilai berlebihan bahkan dikomentari negatif dari beberapa pihak. Seperti dikatakan pamer, bahkan dituding gerakan bangkitnya kelompok radikal.
Menjadi pro dan kontra, Ketua MUI DIY Prof KH Machasin berpendapat ngaji bersama di Malioboro tidak perlu dijadikan persoalan. Selama, tidak mengganggu orang lain. "Saya kira tidak apa-apa. Saya dengar itu istilahnya itu kan baca Quran, nyadran di Malioboro. Sebetulnya membaca Quran itu di mana-mana baik saja tapi jangan sampai mengganggu orang yang lewat," kata Machasin di Kantor MUI DIY, Rabu (30/3).
Inilah ironi kehidupan di negeri mayoritas muslim. Kebebasan berekspresi dalam beragama diruang publik sering menjadi kendala. Mulai jilbab, penggunaan TOA saat azan dan sekarang kegiatan ngaji bareng. Apalagi ketika dikatakan bahwa aksi ngaji Alquran tersebut menjadi bibit munculnya radikalisme, sungguh sangat berlebihan.
Bukankah seharusnya Alquran memang dibaca, terlebih saat menyambut ramdhan yang merupakan bulan diturunkannya Alquran maka semangat membacanya menjadi tinggi. Alquran merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi pedoman hidup bagi kaum muslimin. Banyak keutamaan yang di dapat dengan membaca Alquran bagi muslim yang mengerjakannya.
Abdullah ibn Mas‘ud berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.” (HR At-Tirmidzi).
Allah SWT berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (TQS Ar-Rad: 28).
Banyak keutamaan lainnya yang bisa didapat dari membaca Alquran, maka dimana letak kesalahannya bagi muslim jika ingin membiasakan masyarakatnya membaca Alquran?
Inilah kiranya akibat penerapan demokrasi yang berasaskan sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Kebebasan berekspresi dan berperilaku yang digaungkan dan diagung-agungkan serta dijamin atas nama HAM nyatanya tak berarti bagi Islam dan kaum muslimin. Berbagai kegiatan keagamaannya dicurigai, para ulama dan penceramahnya di cap radikal, di persekusi bahkan dilarang untuk diundang mengisi pengajian. Acara pengajian di bubarkan dengan berbagai alasan namun konser musik tetap boleh diadakan. Sungguh ketidakadilan terlihat nyata. Menunjukkan keislaman sebagai cerminan akidah dianggap kearab-araban, dinilai tidak sesuai dengan budaya bangsa. Lalu bagaimana dengan sikap liberal remaja yang kebablasan dalam pergaulan juga pegiat LGBT yang terus berjuang ingin diakui, apakah itu yang dinilai sesuai dengan moralitas bangsa? Bukankah Pancasila pada sila pertama bertuliskan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan adanya penjaminan untuk beribadah sesuai kepercayaannya.
Para musuh Islam sesungguhnya telah menyadari, jika Alquran kembali masuk ke dalam jiwa-jiwa kaum muslim maka akan menjadi ancaman bagi eksistensi mereka. Allah pun telah memperingatkan betapa kebencian kaum kafir kepada muslim tidak akan pernah berhenti hingga kiamat tiba.
Allah SWT berfirman :
“orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab serta orang-orang musyrik itu tidak senang apabila kalian mendapatkan kebaikan dari tuhan kalian. Dan Allah mengkhususkan rahmatNya bagi siapa yang di kehendaki, dan Allah memiliki keutamaan yang agung” (TQS. Al-Baqarah : 105)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (TQS : Al Baqarah : 120)
Radikal-radikul selalu dimunculkan yang akhirnya terus menciptakan islamophobia. Islam selalu dikaitkan dengan isu terorisme. Setiap pemberitaan mengenai teror sudah dapat dipastikan bahwa pelakunya memiliki kaitan dengan simbol-simbol Islam. Bahkan, sejumlah simbol Islam dijadikan sebagai barang bukti untuk aksi teror ini. Opini jelek terus dimunculkan, terus dicari kesalahan-kesalahan dari umat muslim. Inilah kenyataan sebagai mayoritas di negeri ibu pertiwi, diskriminasi terus terjadi, membuat muslim seolah anak tiri di negeri sendiri.
Kini kaum muslim tak memiliki kekuatan. Islam dengan jumlah mayoritasnya bagaikan buih di lautan yang akan hilang setelah dihempaskan ombak. Kiranya Rasulullah SAW telah menggambarkan hal ini. Semua karena syariat dan hukum Islam tidak diterapkan.
Sudah seharusnya moment ramadhan menjadikan umat muslim menyadari bahwa ramadhan adalah bulan diturunkannya Alquran, dimana Allah menurunkan Alquran bukan hanya sebagai kitab untuk dibaca tapi juga dipelajari, dipahami dan dijadikan petunjuk dasar dalam mengarungi kehidupan. Itulah takwa dengan sebenar-benarnya takwa. Dengan begitu maka Islam akan mampu menjadi agama terdepan. Dengan penerapan sistemnya yang berasaskan Alquran dan as-sunnah maka akan mampu menjaga dan memfasilitasi umat untuk taat pada syariat. Tidak seperti saat ini ketika ingin taat justru dipersulit dan dituding macam-macam. Belum lagi kesempitan hidup yang terus terasa akibat penerapan sistem bobrok ini semakin memberatkan. Justru dengan penerapan sistem Islamlah ketenteraman akan di dapat. Saatnya kita tunjukkan dan buktikan keimanan kita dengan mengambil Islam secara kaffah agar rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”. (TQS al-Baqarah : 208)