WACANA PENUNDAAN PEMILU 2024 MENGHANGAT, ADA APA?

 



Oleh: Ummu Syauqi (Praktisi Pendidikan dan Pengamat Politik)


Bagaimana parang tak kan patah,

  bila besinya sudah berkarat."


“Bagaimana orang tak kan serakah,

  bila hatinya gila harta dan pangkat."


Pantun di atas sangat tepat menggambarkan gaduhnya perpolitikan yang terjadi di negeri ini. Seperti yang sedang hangat diberitakan, sejumlah partai politik yang masuk ke dalam lingkaran koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo memberikan sinyal dukungan terhadap wacana penundaan pemilu 2024 yang diusulkan oleh Muhaimin Iskandar, wakil ketua DPR sekaligus ketua umum PKB beberapa waktu yang lalu. 


Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, partai-partai yang mendukung usulan itu sudah terasa nyaman atas pembagian kekuasaan selama pemerintahan Jokowi berlangsung.


"Dari pernyataan ketua-ketua partai baik Golkar, PAN, PKB dalam menyampaikan upaya-upaya perpanjangan masa jabatan ini adalah terlalu nyaman di dalam lingkaran kekuasaan bagi partai-partai ini," kata Feri dalam diskusi bertajuk Tolak Penundaan Pemilu 2024 yang diselenggarakan secara daring (Suara.Com, 26/02/2022).


Wajar saja deretan partai yang mendukung usulan tersebut lebih memilih Jokowi melanjutkan kepemimpinannya dari pada harus menyesuaikan diri lagi pada pemimpin selanjutnya, karena selama ini mereka sudah berada di zona nyaman dan bergelimang kemewahan. Jadi, kalau harus ganti pemimpin baru, belum tentu nasib mereka akan tetap di zona nyaman ini.


Sebagaimana diberitakan, usulan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar tentang penundaan pemilu 2024 yang maksimal dua tahun adalah bertujuan untuk mengantisipasi hilangnya momentum perbaikan ekonomi. Sebenarnya usulan  penundaan pemilu itu bukanlah hal yang baru. Sebelumnya gagasan ini pernah juga dilontarkan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahaladia pada Januari 2022 lalu. Sama dengan Muhaimin, Bahlil pun menggunakan dalih perbaikan ekonomi. Mantan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini merujuk pada hasil  survei tingkat kepuasan terhadap Jokowi yang mencapai 70 persen. Selain itu ia mengklaim, para pengusaha menginginkan agar pemilu ditunda. Stabilitas politik dijadikan alasan untuk kembali menumbuhkan ekonomi yang babak belur karena pandemi.


Sebelum Bahlil, isu perpanjangan masa jabatan presiden pun sempat ramai pada 2019 dan di awal 2021 lalu. Pada saat itu Presiden Jokowi menegaskan bahwa dia tidak berniat dan tak berminat memperpanjang masa jabatannya, bahkan melontarkan pernyataan pedas bahwa mereka yang mewacanakan itu sebenarnya ingin menjerumuskan dirinya. 


Menuai Polemik


Usulan menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan ini tentu saja menuai kritik dan polemik. Sejumlah partai politik menolak usulan ini, di antaranya PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara partai yang mendukung, di antaranya PKB, Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).


Selain partai politik, sejumlah lembaga dan pakar hukum tata negara juga menentang gagasan ini. Mereka menilai ide ini berbahaya karena bertentangan dengan demokrasi. Secara hukum perpanjangan masa jabatan ini memang dimungkinkan jika dilakukan amendemen konstitusi. Namun proses politik ini berbahaya karena negeri ini bisa terjerumus pada jurang oligarki. Sejumlah kalangan menilai, saat ini tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk melakukan penundaan. Pasalnya, berdasarkan Undang-undang, penundaan pemilu hanya bisa dilakukan karena alasan darurat seperti bencana alam dan kerusuhan, sedangkan saat ini dua unsur tersebut tidak terpenuhi (Kompas.com, 02/03/2022)


Tujuan di Balik Penundaan Pemilu 


Kalau mau jujur, wacana penundaan Pemilu sudah pasti sangat kontraproduktif dengan iklim dan keberlangsungan demokrasi di negeri ini karena menunda pemilu itu artinya sama saja dengan memperpanjang masa jabatan presiden. Tak hanya jabatan presiden dan wakil presiden yang akan diperpanjang, namun juga para anggota dewan. Hal ini berpotensi memicu terjadinya penyimpangan kekuasaan atau penyalahgunaan wewenang. Kuat dugaan motivasi penundaan pemilu 2024 ini bukan karena faktor ekonomi atau membengkaknya anggaran, namun lebih kepada faktor akses kekuasaan. Wacana penundaan pemilu 2024 ini sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang ada di lingkup kepresidenan, baik kalangan elit politik maupun kalangan pengusaha. 


Sebelumnya, adanya wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode sangat mudah terendus motifnya, yaitu Jokowi ingin berambisi ingin berkuasa lagi, namun dengan wacana penundaan pemilu tidak mudah terendus motif sebenarnya. Seolah-olah hanya penundaan saja, karena alasan yang sengaja dibuat-buat. Apalagi yang menyuarakan penundaan pemilu bukan dari Jokowi sendiri, tetapi dari partai politik. Jadi, yang ditangkap masyarakat memang menunda pemilu, padahal sesungguhnya tujuan utamanya adalah memperpanjang masa jabatan meskipun resikonya  harus menabrak konstitusi.


Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai, pemilu 2024 yang ditunda akan menjadi bahan perbincangan dan pertanyaan seluruh pihak. Pasalnya, mekanisme penundaan pemilu dinilai tidak memiliki dasar hukum yang diatur dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Yusril menjelaskan, pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali. "Jadi, jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," kata Yusril dalam keterangannya (Kompas.com, 27/2/2022).


Menurut Yusril ada tiga cara yang bisa ditempuh jika ingin mewujudkan penundaan Pemilu, yaitu pertama, melalui proses amendemen UUD 1945, kedua pengeluaran dekrit Presiden, dan ketiga proses konvensi  yang dapat diterima secara hukum ketatanegaraan. Pilihan yang paling aman dan memungkinkan untuk menunda pemilu dan memberikan legitimasi bagi pejabat hari ini adalah dengan melakukan amendemen UUD 1945. 


Lagi lagi untuk Oligarki


Wacana penundaan pemilu 2024 menjadi 2026 tentulah tidak lepas dari kepentingan para oligarki. Selama menjabat sebagai presiden RI dua periode ini, Jokowi selalu membela kepentingan mereka dan sepenuh hati melayani mereka. Berbagai kebijakan yang pro pengusaha, pro kapitalis, pro asing begitu mudah diloloskan, seperti UU Ciptaker, dan UU Minerba. Oleh karena itu, mereka pasti  akan mengupayakan dengan segala cara agar Jokowi tetap berkuasa. Hal itu mereka lakukan karena mereka lebih senang dilayani oleh Jokowi dibanding pemimpin baru yang belum tentu sama pelayanannya jika menjabat.  


Inilah busuknya sistem demokrasi kapitalis, hukum dibuat sesuka hati, sesuai dengan kepentingan pembuatnya. Tak perduli apakah ada pihak-pihak yang terzalimi dengan hukum yang dibuatnya itu. 


Fakta berbicara, di sistem demokrasi kapitalis ini yang berdaulat bukanlah rakyat sebagaimana slogannya, “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, tetapi yang berdaulat, yang berkuasa menentukan kebijakan dan aturan adalah para pemilik modal, para kapitalis. Merekalah sejatinya yang berada di balik layar, mengendalikan para penguasa yang sudah berhutang jasa kepada mereka saat pemilu dan mengantarkan ke tampuk kekuasaan. Jadi, segala kebijakan yang dibuat di negeri ini sejatinya adalah sebagai bentuk hutang budi penguasa kepada para oligarki, tak terkecuali wacana penundaan pemilu 2024 ini. 


Kalau pun kemudian wacana penundaan pemilu ini digembar-gemborkan demi untuk perbaikan ekonomi, demi untuk kemaslahatan publik, itu hanyalah omong kosong. Sekali lagi, kuat dugaan tujuan utamanya adalah memperpanjang masa jabatan. Sudah pasti semakin lama menjabat semakin banyak keuntungan yang didapat. Partai politik yang mendukung wacana itu akan punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri berkontestasi untuk kursi kekuasaan berikutnya. Sedangkan pihak oposisi  yang menolak, akan kehilangan kesempatan meraih kursi di saat elektabilitas sedang tinggi. Inilah watak asli sistem demokrasi yang mencetak para elit politik minim empati dan lebih besar mengejar maslahat pribadi dan kelompoknya. Kemaslahatan rakyat yg seharusnya menjadi tujuan setiap aktivitas politik justru luput dari perhatian dan bukan prioritas yang perlu diperjuangkan. 

 

Politik dalam Islam Melayani


Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis, sistem Islam adalah sistem yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik, karena definisi politik (dalam Islam adalah ri’ayah syu’un al-ummah, yaitu pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan umat. Penguasa dalam sistem Islam menjalankan peranan politik mereka sebagai pengurus, pengatur dan pemelihara urusan umat dilandasi dengan rasa keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dan bersandar kepada Alquran dan sunnah Rosul.

 

Mereka tentu akan sangat berhati-hati dalam menjalankan pemerintahannya, karena sudah pasti pertanggungjawabannya sangat besar di hadapan Allah. Sehingga tidak akan pernah muncul dalam benak penguasa, untuk memanfaatkan jabatannya demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Apalagi kemudian menghalalkan segala cara demi meraup keuntungan, tak perduli rakyat terzalimi atau tidak, tak perduli rakyat menderita atau tidak. Gambaran penguasa seperti ini tidak akan ditemui di dalam sistem pemerintahan Islam atau khilafah. Karena dalam khilafah, pemerintahannya berjalan sesuai dengan syari’ah, sistem yang murni berasal dari Allah Sang Maha Pengatur kehidupan manusia. Allahu a’lam bissowab. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم