Polemik Pengaturan Pengeras Suara Masjid

 


Oleh: Ernawati (Aktivis Dakwah Jogja)


Netizen riuh usai Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang mengatur pengeras suara masjid dan musala. Salah satu poin penting dalam edaran tersebut adalah mengenai volume pengeras suara masjid paling besar 100 desibel. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas lewat SE 5/2022 ini mengklaim pengaturan pengeras suara di masjid dan musala menjadi kebutuhan umat muslim sebagai salah satu media siar di masyarakat. Namun, pada saat bersamaan, masyarakat Indonesia juga beragam secara agama, keyakinan, latar belakang sehingga perlu adanya upaya merawat persaudaraan dan harmoni sosial. (cnnindonesia.com).


Pertanyaannya, mengapa baru sekarang Menag mempermasalahkan mengenai pengeras suara masjid dan musala? Apakah selama ini kehidupan beragama menjadi tidak harmonis hanya karena pengeras suara masjid dan musala? Fakta empiris tidak demikian adanya. Sungguh lucu puluhan tahun merdeka baru hari ini dipermasalahkan. Anehnya, ini terjadi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim. Berdalih toleransi, dibuatlah regulasi untuk mengatur hal yang selama ini tidak pernah bermasalah dalam kehidupan beragama di Indonesia. 


Andaipun ini bermasalah, ada baiknya pemerintah dalam hal ini Kemenag meluaskan wawasan dan update fakta aktual. Lihatlah umat muslim di India, adakah toleransi berlaku bagi mereka dalam menjalankan syariat? Tengok pula Muslim Myanmar, Muslim Uyghur, bahkan Palestina! Mereka terusir, stateless, dan tanah mereka dicaplok oleh para agresor. Adakah lembaga dunia yang meneriakkan dalil toleransi atas kasus ini? Jawabannya tidak. Lantas mengapa kita jadi lebih garang membatasi ajaran Islam dan begitu loyal terhadap non muslim hanya karena takut dianggap tidak toleran? Padahal, toleransi dalam Islam konsepnya sudah jelas yakni dengan memberikan kebebasan masing-masing agama untuk menjalankan ajaran mereka. Demikian pula umat Islam bebas menjalankan syariat mereka. 


Mayoritas muslim tapi tidak berkutik saat syariat mereka satu per satu diusik? Jawabannya tidak lain karena krisis identitas akut dan masifnya perang pemikiran. Ide toleransi sejatinya bukan sekadar istilah. Dalam perkembangannya, ide ini telah menjadi senjata politik untuk membungkam sikap kritis umat Islam juga mengaburkan Islam kafah. Kondisi inilah yang Rasulullah saw. gambarkan dalam salah satu hadisnya. Beliau bersabda, Berbagai bangsa nyaris saling memanggil untuk melawan kalian sebagaimana orang-orang saling memanggil untuk menyantap hidangan mereka. Salah seorang bertanya, apakah karena kami ketika itu sedikit? Rasul menjawab, Bahkan kalian pada hari itu banyak. Akan  tetapi, kalian laksana buih di lautan. Sungguh Allah mencabut ketakutan dan kegentaran terhadap kalian dari dada musuh-musuh kalian. Allah pun menanamkan di hati kalian al-wahn. Salah seorang bertanya, Apakah al-wahn itu, ya Rasulullah? Beliau menjawab, Cinta dunia dan benci kematian. (HR Abu Dawud dan Ahmad). Rasul saw. menjelaskan bahwa apa yang umat Islam hadapi saat ini adalah petaka  yang terjadi bukan karena sedikitnya jumlah kaum muslim. Bahkan sebaliknya, jumlah kaum muslim banyak, tetapi mereka laksana buih di lautan. Banyak, tetapi lemah dan tidak berbobot. Hingga mudah bercerai-berai. 


Jabatan dunia telah mengikis militansi generasi umat Islam. Mereka yang seharusnya bersuara lantang membela Islam mendadak bungkam karena jabatan. Inilah sejatinya kekuasaan yang menyandera itu. Kita layak bertanya kepada para pejabat yang notabene generasi muslim, gerangan apa yang membuat mereka begitu fobia terhadap syariat mereka sendiri? Jika hanya karena takhta, sesungguhnya takhta itu dipergilirkan, bukan sesuatu yang abadi. Hal ini bukan semata aspek perang pemikiran yang Barat lancarkan pada kaum muslim, tetapi juga sistem hidup yang menjauhkan umat dari syariat Allah. Sistem sekuler telah membuat umat ini mudah menggadaikan akhirat hanya untuk nikmat dunia yang sesaat.

Wallahu A’lam Bish-Shawaab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم