Oleh : Ismawati
Baru-baru ini pemerintah bakal mewajibkan lampiran BPJS Kesehatan menjadi syarat sejumlah layanan publik. Mulai dari membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), jual beli tanah, umrah hingga naik Haji. Kebijakan tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Inpres itu juga sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari 2022 (Sindonews.com 22/2).
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK Andie Megantara mengatakan bahwa kebijakan ini untuk mengingatkan bahwa BPJS Kesehatan adalah wajib. Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan kebijakan ini bertujuan untuk memastikan seluruh masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan yang berkualitas, melindungi masyarakat dari risiko kesehatan masyarakat, dan untuk mencegah masyarakat jatuh miskin, baik karena biaya perawatan kesehatan maupun kehilangan pendapatan saat ada anggota rumah tangga yang sakit (Pikiranrakyat.com 23/2).
Benarkah kebijakan ini efektif agar masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas? Namun, mengapa justru berimbas kepada pelayanan publik? Bukankah BPJS kesehatan itu berbayar. Bagaimana nasib rakyat dengan ekonomi kelas menengah ke bawah. Rasanya untuk makan saja sudah sulit, malah harus memikirkan iuran BPJS setiap bulannya.
Maka, kebijakan ini menuai polemik di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, kebijakan tersebut tidak relevan dan berpotensi hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik. Secara regulasi ini justru berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Kompas.com 21/2).
Anggota DPR RI Komisi IX Kurniasih Mufidayati pun menilai justru kebijakan ini malah menambah beban masyarakat. Sebab, berdampak pada proses administrasi banyak hal sehingga menyulitkan masyarakat untuk mengakses layanan publik (BBC.com 21/2).
Bisnis Kesehatan dalam Kapitalisme
Sungguh, sebuah kebijakan ironi. Selama ini BPJS Kesehatan tak ubahnya seperti "bisnis" kesehatan oleh negara. Demi mendapat pelayanan kesehatan yang optimal, rakyat harus membayar premi setiap bulan. Dalam kepesertaan BPJS Kesehatan pun rakyat dibedakan atas kelasnya masing-masing.
Namun, faktanya jaminan kesehatan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan belum mampu sepenuhnya sebagai jaminan kala berobat. Sebab, tak sedikit peserta BPJS yang harus antre lama untuk mendapat layanan kesehatan. Bahkan, pelayanan yang diberikan cenderung ribet dan lama. Ada juga yang sampai ditolak rumah sakit. Tak sedikit juga yang mendapat perlakuan diskriminatif dibanding pasien umum di rumah sakit.
Lalu, di mana letak jaminan kesehatan yang dimaksud? Bukankah yang dinamakan jaminan berarti telah terjamin sepenuhnya. Rakyat sudah tidak perlu repot memikirkan biaya kesehatan yang mahal. Inilah konsekuensi hidup dalam sistem kapitalisme. Pelayanan publik seperti kesehatan tidak sepenuhnya dikelola negara, namun diserahkan kepada swasta. Alhasil, rakyat lagi yang harus kena imbas akibat kebijakan penguasa.
Jika mau difikir apa hubungannya BPJS Kesehatan dengan pengurusan SIM, STNK, jual beli tanah, hingga haji dan umrah? Negara justru membuat kebijakan yang semakin mempersulit rakyat. Sudahlah sulit mengurus surat menyurat penting, tambah lagi dengan beban syarat adanya BPJS Kesehatan.
Islam Memandang Kesehatan
Jika dalam kapitalisme, kesehatan dijadikan ajang bisnis untuk mendapat "cuan". Sementara dalam Islam kesehatan adalah hak publik yang harus dipenuhi oleh negara. Maka, dalam masalah kesehatan negara dalam kacamata Islam wajib mengadakan pelayanan kesehatan gratis dan terbaik.
Hal itu karena jika tidak ada layanan kesehatan maka akan menimbulkan bahaya dan nyawa rakyat akan terancam. Rasulullah Saw. bersabda : "Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam" (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Oleh karena itu, dalam Islam pelayanan kesehatan tidak dibedakan si kaya dan si miskin, atau berdasarkan kelas. Semua warga negara Khilafah akan mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang sama di mata negara. Pemimpin dalam negara Islam sadar bahwa amanah kepemimpinan tanggung jawabnya besar di hadapan Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda : "Imam (khalifah) adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya" (HR al-Bukhari).
Sesungguhnya pada masa penerapan Islam sebagai sistem pemerintahan yang mengatur negara, hampir di setiap daerah terdapat tenaga medis yang terbaik. Islam memudahkan setiap pasien mendapatkan pelayanan kesehatan. Bahkan, sejarah peradaban Islam mencatat ada rumah sakit yang diberi nama Rumah Sakit Qalawun pada masa Dinasti Mamluk selain memberikan perawatan, obat, dan makanan gratis berkualitas, pasien diberikan uang saku yang cukup selama perawatan.
Lalu bagaimana dengan BPJS? Tentu dalam Khilafah tidak ada BPJS. Tidak diberikan pengelolaan kesehatan oleh swasta. Semua kesehatan ditanggung negara secara gratis melalui mekanisme syariat Islam. Maka, kesehatan dalam Islam tidak menjadi beban rakyat, namun sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara. Dengan begitu, pelayanan publik lain tidak semestinya harus memiliki kartu BPJS Kesehatan karena hal itu dapat menambah beban baru bagi rakyat.
Wallahua'lam bishowab