Oleh Nahida Ilma (Aktivis Dakwah Kampus)
Apa kabar pembangunan IKN? Berita terkait isu ini mulai terpendam sedikit demi sedikit. Atensi publik teralihkan dengan berbagai kabar terkait persoalan negeri ini yang lainnya, mulai dari gelombang ketiga COVID-19, kisruh desa wadas hingga nasib tempe karena mahalnya kedelai. Eksistensi pembangunan IKN memang tidak setinggi di bulan Januari, tapi bukan berarti itu akan menghambat proses pembangunannya.
Pemerintah terus mempercepat pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Direncanakan, wilayah IKN Nusantara meliputi daratan seluas 256.142 hektar dan perairan laut seluas 68.189 hektar. Terdapat 5 tahapan pembangunan yang dirancang, mulai dari tahun 2022 sampai dengan tahun 2045, tepat pada peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 100 tahun (Kompas.com, 28 Februari 2022).
Wacana pemindahan sejatinya bukanlah suatu hal yang baru. Jika ditarik ke belakang, wacana ini sudah beberapa muncul. Realisasi nyata memang barulah ada di tengah periode kepresidenan saat ini. Di salah satu pidato presiden, dengan tiba-tiba mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara.
“Pada kesempatan yang bersejarah ini. Dengan memohon ridho Allah swt, dengan meminta izin dan dukungan dari Bapak Ibu Anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan,” ujar Jokowi (Kompas.com, 16 Agustus 2019).
Konten pidato tersebut tentulah sangat krusial. Pasalnya pemindahan ibu kota tidak ada dalam visi misi calon presiden, tidak ada dalam RPJP Nasional 2005-2025 serta belum pernah ada pada saat itu, UU hasil kesepakatan legislatif dan eksekutif yang memutuskan terkait pindah ibu kota dan tempat pindahnya. Beberapa titik kritis dapat dilihat yang mengundang pro kontra pembangunan IKN. Mulai dari urgensitas, waktu, estimasi dana hingga alasan demi kemajuan ekonomi Indonesia.
Terdapat tiga tujuan utama IKN, yakni simbol identitas nasional, kota berkelanjutan di dunia, serta sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan (Kominfo.go.id, 18 Februari 2022).
Pembangunan IKN sebagai upaya pembangkit dan penggerak ekonomi Indonesia, menjadi tujuan yang melekat kuat yang cukup masif diopinikan. Disamping alasan mengurangi bebas Jakarta juga terus disampaikan.
Membawa kue pembangunan dari Jakarta ke Kalimantan dengan cara menciptakan magnet pembangunan baru. Dari sini tentunya harus ditilik kembali bagaimana pembangunan ekonomi yang selama ini sudah dijalankan di ibu kota. Mengingat Jakarta sudah menjadi ibu kota negara lebih dari setengah abad. Bagaimana cerita heroik Jakarta sebagai ibu kota sehingga layak menularkan keberhasilan pembangunannya ke Kalimantan?
Dijelaskan oleh M. Hatta sebagai salah satu anggota Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia (IAEI) cabang Balikpapan bahwa DKI Jakarta ketika dilihat dari sisi investasi penanaman modal dalam negeri menduduki posisi nomor 1, sedangkan pada penanaman modal asing berada pada posisi 2. Sedangkan Kalimantan Timur menduduki posisi nomor 5 pada penanaman modal dalam negeri dan nomor 12 pada investasi asing. Data pada Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto juga menunjukkan DKI Jakarta lebih besar dari pada Kalimantan Timur, DKI Jakarta dengan persentase 5,82 sedangkan Kalimantan Timur 4,70 (bps.go.id).
Namun ketika ditilik dari sisi garis kemiskinan dan pengangangguran, Kalimantan Timur terbilang lebih sedikit jika dibandingkan dengan DKI Jakarta. Melihat data ditahun 2019, sebelum COVID-19 menyapa Indonesia. Pada September 2019 penduduk miskin sebanyak 220,91 ribu, sedangkan tingkat pengangguran ada pada angka 5,94 (kaltim.bps.go.id). Jumlah penduduk miskin pada bulan September 2019 sebanyak 365,55 ribu sedangkan angka pengangguran adalah 6,22 (Jakarta.bps.go.id). Pada partisipasi angkatan kerja pun, Kalimantan Timur menduduki angka yang lebih tinggi dibandingkan DKI Jakarta.
Jika demikian, lantas apa yang akan ditularkan ibu kota negara lama ke yang baru? Jika nyatanya angka investasi tidak berpengaruh pada pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran. Sehingga tak menutup kemungkinan akan muncul kekhawatiran jikalau yang dibawa pemerintah ke ibu kota negara baru hanyalah kerusakan ekonomi. Mengingat fakta yang disakijakan oleh Jakarta yang padat penduduk, macet, krisis air dan lain sebagainya. Jangan-jangan itulah yang nantinya akan dibawa dengan adanya ibu kota baru ini.
Layaknya handphone rusak yang hanya ganti casingnya saja sehingga luarnya nampak kekinian sedangkan dalamnya sama saja. Pengibaratan upaya pemindahan ibu kota negeri ini. Karena ketika ditilik kembali, beban berat yang dialami Jakarta bukanlah akibat karena Jakartanya yang terlalu sempit atau alasan fisik lainnya, melainkan karena pengelolaan ekonomi yang tidak tepat. Sistem ekonomi kapitalistik yang hanya mementingkan bagaimana caranya supaya untung tanpa melihat siapa atau apa yang akan buntung. Inilah sejatinya akar masalahnya.
Jika pemindahan ibu kota negara hanya bersifat fisik, namun cara pengelolaannya tetap menggunakan pembangunan ekonomi yang rusak, tentu saja sangat tidak menutup kemungkinan masa depan ibu kota baru tidak jauh berbeda dengan kondisi Jakarta sekarang. Kemiskinan, pengangguran, krisis air, kemacetan, tumpukan sampah, ancaman bencana dan sederet fakta buruk lainnya.
Wallahu a’lam bi ash Shawab. []
#IKN