Lakum Diinukum Wa Liyadiin

 



Oleh: Desi Wulan Sari, M.Si.


Baru-baru ini sebuah peristiwa menjadi sorotan di masyarakat. Bukan tanpa sebab, sebuah media telah melansir berita adanya pernikahan yang terjadi antar agama. Peristiwa ini sungguh heboh dan mengejutkan bagi masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, sehingga adanya pernikahan berbeda agama ini menjadi kontra yang sangat besar, padahal diketahui bahwa pernikahan seperti ini dilarang oleh agama dan negara. 


Pasangan yang menikah berbeda agama tersebut menikah di gereja. Pengantin wanita yang mengenakan gaun pengantin putih mengenakan hijab. Menurut Ahmad Nurcholis mereka adalah pasangan yang ke 1.424 yang menikah beda agama di Semarang, Jawa Tengah. Diberitakan Nurcholis yang merupakan perantara kedua mempelai dan keluarga dalam pemberkatan nikah di gereja (detik.com, 10/3/2022).


Satu hal yang tidak diijinkan secara agama dan negara tentu menjadi sebuah pelanggaran jika dilakukan. Di luar dari keinginan pribadi seseorang untuk bisa menikah berbeda agama, pernikahan tersebut bukan menjadi alasan pembenaran pelanggaran tersebut. Sekertaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan pernikahan beda agama tidak sah menurut undang-undang dan hukum Islam. Ia juga menegaskan mayoritas ulama berpendapat pernikahan beda agama tidak sah. 


Senada dengan pendapat tersebut, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan pernikahan beda agama yang viral itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), dalam keterangan tertulis 9/3/2022 (detik.com, 10/3/2022).


Fenomena tersebut merupakan hal yang tidak asing dalam sistem yang karut marut saat ini. Mencampur adukkan syariat dengan pemahaman di luar Islam membuat seseorang menafsirkan sendiri hukum-hukum yang telah berlaku. Masuknya pemahaman pluralisme secara sah di negara ini membuat masyarakat menjadi bingung dengan aturan yang telah ada, memahami bahwa semua agama adalah sama menjadi faktor pembelokan atas perbuatan-perbuatan yang keluar dari syariat. 


Semestinya umat menyadari bahwa masuknya paham pluralisme ini akan berakibat fatal jika umat tidak bersiap menangkis segala aturan yang mereka kehendaki. Menyatukan manusia dalam sebuah perbedaan, yaitu agama. Padahal jelas dalam surat Al Kafirun, ayat ke-6,  لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ, Lakum Diinukum Wa Liyadiin, yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku. 


Tafsir surat tersebut sangat jelas, dan tegas bagaimana umat muslim dalam menjalankan amalan-amalan antar umat beragama. Surat Al Kafirun tersebut menjelaskan tentang tidak adanya bentuk kompromi baginya dengan mencampur adukkan ajaran agama. Terlebih pada ayat ke-6 berisi seruan untuk menentang segala bentuk perbuatan selain beribadah kepada Allah SWT. Dalam situs Kementerian Agama, arti lakum diinukum waliyadiin berarti tidak ada perbuatan pada tukar menukar dengan pengikut agama lain dengan dalih apapun. Apalagi dalam hal peribadahan kepada Allah SWT. 


Dalam tafsir Ibnu Jaris Ath Thobari (24:704) menjelskan kalimat lakum diinukum waliyadiin, “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah agama selain itu”.


MasyaAllah, sungguh indah Islam dalam mengatur dan memberikan petunjuk serta syariat yang tegas, mana yang haq dan mana yang batil mampu dipisahkan dengan jelas. Tidak ada keraguan, ataupun keabu-abu dalam memilih hukum agama bagi seorang muslim, yaitu aturan yang senantiasa membawa manfaat bagi umat muslim dan seluruh umat manusia di dunia. 


Namun, hari ini pemahaman pluralisme tengah dibawa atas nama moderasi beragama yang semakin membawa pada kesesatan nyata. Kerusakan yang telah dilakukan membuat umat muslim semakin lemah, penerapan syariat pun semakin ternodai dengan adanya pemahaman-pemahaman di luar Islam. Padahal harmonisasi, kerukunan antar umat beragama tidak harus dipaksakan mencampur adukan ibadah agama yang berbeda. Karena jelas, dalam hukum Islam dan UU hukum Islam di negara ini melarang perbuatan menikah berbeda agama. 


Negara dengan pemimpin amanahnya, bertanggung jawab menjaga hal-hal seperti ini tidak terjadi. Memastikan kerukunan umat dan pelaksanaan ibadah bagi umat muslim berjalan sesuai syariat yang telah ditetapkan hingga tidak ada yang ingin melanggar syariat tersebut dalam perbuatan yang dimurkai Allah. Jika negara benar-benar menjalani tugasnya sebagai pelindung umat, pasti masyarakatnya akan merasakan kenyamanan di dalamnya. Hanya Islam kaffah yang mampu menciptakan seorang junnah bagi umat yang di pimpinnya dan berpedoman pada syariat Allah SWT yang telah hadir sejak Rasulullah membawa cahaya ini kepada umatnya. 


Bukan atas nama cinta dua insan, jika sebuah perkawinan beda agama terjadi, tetapi lebih kepada ingin mengedepankan hawa nafsunya dan mempermainkan agamanya sebagai jalan pembenaran atas apa yang dilakukan. Jika syariat menolak, begitupun UU hukum Islam menolak sahnya perkawinan ini, maka sudah pasti Allah tidak akan pernah meridai dengan apa yang telah dilakukannya. Tidakkah kalian takut akan azab Allah? Wallahu a’lam bishawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم