Oleh : Ramsa
Heboh dan ramai luar biasa di berbagai media nasional tentang perpindahan ibu kota. Bukan main kabar ini hadir di tengah banyaknya bencana melanda negeri ini. Ada yang senang ada juga yang kurang senang. Ada yang tenang-tenang saja. Namun ada yang menggunggat undang- undang perpindahan ibu kota negara.
Melihat gambar atau maket ibu kota baru, memang tampak megah dan mengesankan. Namun wajar dipertanyakan dari mana dana besar untuk pindah ibukota. Lalu mengapa pindah ibukota terkesan dipaksakan di kala pandemi covid masih menyita dana, perhatian dan tenaga pemerintah. Kabarnya dana yang dibutuhkn sebesar 507 Triliun. Suatu angka fantastis di tengah kabar defisitnya APBN negeri ini.
Haruskah Pindah Ibu Kota?
Beberapa alasan yang diajukan pemerintah untuk pindah ibu kota yakni : agar ekonomi tidak terkonsentrasi di pulau Jawa dan untuk meluaskan investasi asing. Alasan lainnya yakni daya dukung Jakarta yang tidak memadai, rawan banjir dan kemacetan.
Alasan yang terasa "dilayakkan" atau dipaksakan. Pasalnya ditengah kondisi bangsa yang banyak masalah, korupsi, gunung meletus dan serangan virus Covid 19 yang belum kunjung usai. Dan sejumlah kasus atau masalah yang mestinya mendaoat perhatian serius.
Apakah setelah pindah ibukota lantaran masalah daya dukung, banjir dan lain-lainnya bisa terurai? Hal yang penting lagi adalah pindahnya ibu kota akankah berdampak signifikan dengan kesejahteraan rakyat, atau mampukah negeri ini menjadi lebih kuat secara politik pasca pindah ibu kota?
Penting untuk menganalisa mendalam perihal pindahnya ibu kota ini, karena pengaruhnya sangat luas dan jangka panjang. Ketika ibukota berpindah akankah benar-benar menjamin berbagai masalah sosial dan masalah ekonomi dan problem politik bisa teratasi? Jika jawabanya iya, maka bisa dianggap bahwa pindahnya ibukota adalah solusi yang tepat. Jika pindahnya ibu kota justru menyisakan masalah baru maka kebijakan ini penting untuk di kaji ulang.
Ibu kota merupakan simbol wibawa atau kelayakan suatu negara. Ibukota merupakan etalase negara. Jadi, sangat penting memperhatikan aspek-aspek politik dalam kebijakan apapun terkait pindahnya ibu kota. Perlu pengkajian, analisa dan pemusatan perhatian yang serius. Perlu rencana dan ahli yang banyak terjun langsung dalam mensurvei dan berpartisipasi membangun sebuah ibukota. Sebab ini urusan hajat hidup orang satu negara.
Investasi dan Pindahnya Ibukota
Dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, investasi dianggap sebagai urat nadi perekonomian. Seolah tanpanya pembangunan tak akan berjalan. Kebijakan penguasa atau pemerintah hanya bertumpu pada utang dan utang. Akhirnya kemandirian ekonomi tidak terwujud. Melimpahnya sumber adaya alam yang harusnya bisa diolah dan membawa kesejahteraan tidak di jamak sama sekali. Maka bagaimana bisa mendatangkan kesejahteraan atau kemandirian ekonomi?
Pindah Ibu Kota dan Wujud Kesejahteraan Dalam Sistem Islam
Karena ibu kota merupakan simbol yang vital bagi negara maka tidaklah mengapa dipindahkan. Yang selayaknya jadi alasan penting dan utama mestinya adalah masalah politik. Karena politik dalam hal ini prngurusan atau pelayanan urusan umat secara menyeluruh, saat dipakai sebagai landasan perpindahan ibu kota akan terasa sebagai pertimbangan rasional dan menyentuh kebutuhan bersama warga negara. Artinya kepindahan itu betul-betul karena hajat bersama dan demi kebaikan dan kemakmuran bersama.
Dalam sistem Islam dibolehkan adanya perpindahan ibu kota negara. Sejarah mencatat setidaknya ada empat kali perpindahan ibukota yakni dari Madinah ke Damaskus di massa Bani Ummayah, lalu dilanjutkan pada massa bani Abasiyyah ibu kota juga pindah ke Baghdad. Juga pindahnya ibukota dari Bahgdad ke Istambul saat awal kepemimpinan khilafah Utsmaniyah.
Semua perpindahan ibu kota tersebut bukan hanya alasan ekonomi, lebih dari itu yang menjadi alasan utama adalah politik dan keselamatan juga kesinambungan hidup umat manusia atau warga negara. Tercatat dalam sejarah saat pindahnya ibukota ke Baghdad misalnya, kota ini dibangun, dirancang sedemikian rupa dengan mitigasi bencana, menghitung jumlah penduduk dengan rinci untuk menyeimbangkan kebutuhan pelayanan warga. Yakni pelayanan pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, taman-taman, perpustakaan, tempat istirahat dan perlindungan keamanan baik aman dari ulah manusia maupun aman dari bencana.
Karena itu tidak heran saat persiapan, dan perencanaan hingga pembangunan kota Baghdad diturunkan 100. 000 ahli di bidangnya masing-masing untuk menjalankan rencana besar pembangunan kota Baghdad. Sebuah kota yang bisa dikatakan dimulai dari nol. Kota ini dibangun saat kepemimpinan Khalifah Al Mansur tepatnya tanggal 30 Juli tahun 762 M. Khalifah al Mansur percaya bahwa kota Baghdad akan menjadi kota yang sempurna sebagai ibu kota negara Khilafah.
Hasilnya kota ini menjadi kota yang indah, dengan kesejahteraan yang baik, bisa dirasakan semua warga negara tanpa memandang ras atau agama. Hal ini terbukti dari lahirnya banyak ulama dan ilmuwan dengan karya mengagumkan di masa itu. Maka tidak mengherankan di masa pemerintah bani Abasiyyah yang berpusat di kota Baghdad inilah massa keemasan peradaban Islam terutama dalam bidang ilmu dan teknologi. Penemuan ilmu bedah di sisi kesehatan oleh Imam Ibnu Sina, atau penemuan mesin engkol, pembuatan peta oleh Imam Al Idrisi, juga penemuan robot oleh Imam Al Jazari dan masih banyak yang lain-lainnya.
Pada massa itu setiap buku hasil karya ulama dan ilmuwan akan ditimbang dan dihargai dengan emas atau dinar. Misalnya buku seberat 500 gram maka akan mendapatkan emas atau dinar setara 500 gram emas. Karena begitu besar perhatian pemimpin (Khalifah) bagi ilmu dan ulama maka semakin mendorong tumbuhnya kreativitas anggota masyarakat. Jika pindahnya ibu kota bisa menuntun pada kemudahan pelayanan bagi warga negara dan semakin meningkatnya kesejahteraan, juga semakin kuatnya pengaruh politik suatu negara, maka tentu tidak akan ada yang mempertanyakan kelayakan pindahnya ibu kota negara.
Wallahu A'lam bishshowab
Rujukan: Artikel Pindahnya Ibukota : Prof Fahmi Amhar
Dan berbagai sumber