Oleh: Ummu Alkhalifi (Komunitas Menulis Setajam Pena)
Rentetan kasus KDRT selama ini telah menjadi suatu momok yang semakin hari juga bertambah, serta terjadi dengan berbagai macam pemicunya. Mulai dari permasalahan ekonomi hingga seksualitas, KDRT kerap menjadi sasaran.
Viralnya unggahan video seorang penceramah ternama beberapa waktu lalu tengah digoreng habis-habisan oleh kaum feminis, baik di dunia nyata maupun jagad maya. Pasalnya dalam video tersebut disebutkan bahwa menutupi kekerasan dalam berumahtangga adalah suatu kebaikan yang diharuskan. Dengan terlontarnya ungkapan ketika seorang suami tengah memukul istri, maka harus ditutupi, dengan dalih merupakan suatu aib keluarga. Disini berbagai pro dan kontra terjadi dengan berbagai pendapat. Lagi dan lagi Islam kembali tertuding sebagai Agama yang melegalkan KDRT.
Menanggapi berbagai polemik tersebut Ketua Tahfidziyah PBNU Alissa Wahid sangat menyayangkan sikap dari publik figur sekaligus penceramah yaitu Oki Setiana Dewi mengenai KDRT. Pasalnya menurut Oki kekerasan yang dilakukan seorang suami kepada seorang istri haruslah ditutupi, karena bisa menjadi aib keluarga. Menurut Alissa kekerasan tidak boleh dianggap aib yang harus ditutupi. Justru jika seorang perempuan mengalami kekerasan haruslah melapor jika tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri (ribunnews.com, 5/2/2022).
Kita tahu bahwa kehidupan berumahtangga tidaklah berjalan dengan selalu mulus, berbagai jalan terjal pun harus dilalui untuk sampai pada keluarga yang harmonis. Lantas bagaimana jika hidup di era saat ini yang sangat lah jauh dari kesejahteraan? Berbagai macam masalah menghinggapi dunia suami istri, apalagi dalam kubangan hidup yang serba sulit seperti saat ini.
Tak dipungkiri hidup di dunia sekuler ini sangatlah minim bagi kaum muslim dalam memahami syariatnya. Yang ada syariat semakin terpojokkan kedudukannya karena pergulatan dalam isu HAM dan Kesetaraan. Maka disini kesempatan bagi dunia liberalisme yang terus menggerus arus kehidupan semakin tak memahami syariat dengan utuh dan benar.
Harus kita fahami bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam ahli fiqih, jadi hukum suami msmukul istri adalah boleh (ja'iz) apabila terdapat didalamnya tanda - tanda nusyuz yaitu ketidaktaatan dari istri kepada suami. Misalnya jika istri keluar rumah tanpa seijin suami, istri menolak melayani suami tanpa adanya udzur (haid, sakit) maka disini boleh suami memukul istri.
Dalil kebolehannya adalah firman Allah SWT,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS An Nisaa` [4] : 34).
Maka dalam ayat ini jelas menunjukkan bahwa seorang suami berhak mendidik istrinya yang menampakkan adanya gejala- gejala nusyuz dalam 3 (tiga) tahapan secara tertib (urut). Pertama adalah menasehati istri dengan cara yang lemah lembut, agar kembali taat kepada suami, sebab menaati suami merupakan suatu kewajiban bagi seorang istri (QS Al Baqarah : 228).
Kedua yaitu jika langkah pertama tidak berhasil maka memisahkan diri dari istri di tempat tidurnya dengan tak menggauli dan tak tidur bersama istri, namun disini tidak diperkenankan untuk mendiamkan istri.
Ketiga, jika langkah lemah lembut tak berhasil dan tahap kedua juga tak menunjukan hasil maka langkah ketiga adalah memukul istri. Memukul istri meskipun didalam islam dianjurkan, namun tetap harus ingat bahwa memukul disini bukan lah yang semena nya. Yaitu memukul dengan cara tidak melampaui batas serta keras sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Saw pukulan yang ringan yaitu merupakan pukulan yang tidak meninggalkan bekas (dharban ghaira mubarrih).
Adapun berdasarkan penjelasan dalam kitab Nidhamul Ijtima' fil Islam adanya kriteria pukulan syar’i menurut pendapat Imam Taqiyuddin an-Nabhani , ”Pukulan di sini wajib berupa pukulan ringan (dharban khafifan), yaitu pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).
Sebagaimana penafsiran Rasulullah Saw. terhadap ayat tersebut ketika pada Haji Wada’ beliau berkhotbah, “Jika mereka (istri-istri) melakukan perbuatan itu (nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” (HR Muslim, dari Jabir bin Abdullah RA).
Disini para Ulama telah menguraikan bagaimana ukuran pukulan ringan tersebut, yakni pukulan yang jangan sampai menimbulkan luka, tidak sampai terjadi cidera berupa patah tulang atau merusak bagian tubuh semisal memar ataupun berupa sayatan.
Jadi inilah hukum Islam, bahwa perempuan itu dijaga dan bagaimana memperlakukannya. Maka jelas suatu kesalahan jika ada anggapan Islam melegalkan KDRT. Apalagi dikatakan jika Islam tidak memuliakan perempuan, sehingga hanya menjadikan alasan mereka untuk mengarah kepada kesetaraan gender dan feminisme. Na'udzubillah. []