Islamofobia Masih Meraja, Ada Apa?

 


Oleh: Anita Ummu Taqillah (Pegiat Literasi)


Isu terorisme masih terus bergulir. Meski masyarakat sudah semakin jengah, nyatanya gaung radikalisme tetap didengungkan. Pemetaan ustad, bahkan masjid dan pondok pesantren pun mereka rencanakan. Ini bukti, bahwa islamofhobia di negeri ini masih meraja. Ada apa sebenarnya?


Dilansir dari harianaceh.co.id (26/1/2022), dalam kanal YouTube MUI, pada acara Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme yang digelar MUI, Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi mengaku akan melakukan pemetaan terhadap masjid untuk mencegah penyebaran paham radikalisme. Umar juga mengatakan bahwa masjid itu warnanya macam-macam, ada hijau, keras, agak keras dan lain-lain. Untuk itu ada rencana untuk mapping masjid.


Bahkan ratusan pondok pesantren pun sudah diindikasi sebagai ponpes yang terpapar radikalisme oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Meski hal itu dibantah sebagai bentuk BNPT anti pospes, dan hanya sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban kinerja. Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid meluruskan polemik data ratusan pondok pesantren terafiliasi dengan jaringan teroris yang dipaparkan Kepala BNPT Boy Rafli Amar di Komisi III DPR pada, 25 Januari 2022 lalu (Tempo.co, 1/2/2022).


Ahmad meminta kepada masyarakat agar tidak terbawa framing buruk terhadap pencegahan terorisme. Sebab Ahmad mengaku bahwa BNPT telah melakukan  strategi multipihak yang merangkul lima elemen bangsa. Diantaranya pemerintah, komunitas, akademisi, dunia usaha dan media yang dibangun dengan prinsip simpatik, silaturahmi, komunikatif dan partisipatif. Selain itu Ahmad juga menyampaikan bahwa dalam konteks pelibatan pesantren, BNPT juga telah melakukan silaturahmi kebangsaan.


Meskipun berdalih demikian, nyatanya kecenderungan untuk condong pada islamofobia lebih kentara. Selama ini, seolah tiada henti untuk mengangkat isu-isu radikalisme. Mulai dari monsterisasi dan penangkapan ulama yang alasannya terkesan dibuat-buat. Juga monsterisasi ajaran Islam yang jelas-jelas sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. Maka wajar jika umat Islam gerah dengan informasi ponpes radikal.


Tidak hanya unat, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan pun mempertanyakan informasi yang dibuat BNPT tersebut. Atas dasar dan metodologi apa pendataan tersebut dibuat? Pihaknya meminta semua pihak untuk menghentikan narasi yang menyudutkan pesantren dan kaum muslimin dengan islamofobia. Sebab, hal ini akan mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat dan menjadikan mereka tidak aman dan nyaman (republika.id, 28/1/2022).


Masih dalam kutipan republika.id (28/1/2022), Sekretaris Jenderal Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), KH Akhmad Alim, juga menyampaikan bahwa ponpes adalah produk asli pendidikan di Indonesia, sehingga tidak ada yang mengajarkan hal radikal. Jikapun ada personal yang terindikasi radikal, itu hanya oknum dan tidak bisa disangkutpautkan dengan pesantren.


Jika mau berpikir lebih adil, kenapa selalu yang berkaitan dengan Islam yang terindikasi radikalisme? Bagaimana dengan kelompok separatis yang di Papua? Yang terbukti terang-terangan telah melakukan tindak teror dan mengancam kedaulatan negara?


Hal ini karena negeri ini masih mengemban Kapitalisme. Dimana segala kebijakan disetir dan selalu bertumpu pada cara pandang, serta keinginan hegemoni Barat, Amerika Serikat dan sekutunya. Yang mana memang mereka sangat takut akan kebangkitan Islam dan kaum muslimin. Sehingga selalu berusaha membungkam dan menghalangi kebangkitan umat dengan meluncurkan berbagai paham yang menyudutkan ajaran Islam yang lurus. Diantaranya liberalisme yang membuat umat bebas berperilaku dan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan.


Barat paham bahwa umat Islam sulit dikalahkan secara fisik (perang), karena semangat jihad akan membara di dada umat Islam yang terusik. Namun Barat juga tahu kelemahan umat, maka mereka melakukan perang secara lembut, yaitu melalui perang pemikiran (gazhul fikr). Hal itu yang akan memicu perpercahan diantara umat Islam dengan memunculkan isu bahwa Islam harus toleransi (moderat), tidak boleh fanatik, ekstrim, keras (dalam memegang dan mengamalkan ajaran Islam) dan sejenisnya.


Sehingga umat Islam yang lebih cinta dunia, akan memusuhi umat Islam yang berusaha taat secara menyeluruh (kaffah). Mereka berpikiran Islam cukup biasa-biasa saja, atau penting rukun Islam telah terlaksana, tanpa mau melaksanakan ajaran Islam yang lainnya. Apalagi umat yang menginginkan dan memperjuangkan ketaatan secara kaffah di stigmatisasi sebagai fundamentalis, teroris, ekstrimis dan lain-lain. Yang mana sebutan-sebutan tersebut digaungkan terus-terusan dan akhirnya membuat umat yang lain takut, saling curiga, dan terpecah belah.


Tidak ada lagi rasa persaudaraan sesama muslim, karena terkikis isu-isu yang memunculkan Islamofobia. Padahal telah jelas fiman Allah Swt.,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Alloh, supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al Hujurot: 10).


Dari sini jelaslah bahwa Islamofobia ada karena umat Islam dijauhkan dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Maka, sudah saatnya kita sebagai umat Islam lebih berbangga terhadap ajaran Islam daripada ajaran lainnya. Wallahua'lam bishowab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم