Oleh : Hani Handayani (Penulis)
Pernah mendengar kisah seribu candi di Tanah Prambanan? Ya, kisah itu tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia, walau kebenarannya masih menjadi perdebatan. Menarik dari kisah pembuatan seribu candi Prambanan yang hanya membutuhkan waktu semalam saja. Tetapi di era digital saat ini ternyata pembuatan Rancangan Undangan-undang Ibu kota Negara (IKN) lebih hebat dari kisah pembuatan Candi Prambanan. Bagaimana tidak pembuatan naskah RUU IKN hanya membutuhkan waktu 16 jam untuk dibahas dan disahkan pada larut malam.
Dilansir dari kompas.com (22/1/2022), UU IKN telah disahkan para legislator DPR RI di Jakarta, Selasa (18/1/2022). Dengan disahkannya UU IKN, maka rencana pemindahan IKN dari Jakarta ke Panajan Paser Utara, Kalimantan Timur, semakin nyata di depan mata.
Tetapi tidak serta merta rakyat mendukung rencana ini, salah satunya para aktivis yang tergabung dalam koalisi masyarakat Kalimantan Timur menolak pemindahan IKN. Mereka menilai RUU IKN yang disahkan telah cacat secara prosedural dan dianggap sebagai ancaman bagi kelestarian lingkungan hidup rakyat ataupun satwa langka yang berada di Kalimantan Timur.
Latar Belakang Pindah Ibu Kota
Presiden Jokowi memberikan alasan mengapa ibu kota dipindahkan, diantarnya beban pulau Jawa sudah terlalu berat. Terlebih Jakarta sebagai ibu kota yang menjadi sentra pemerintah, bisnis, keuangan, hingga perdagangan dan jasa sehingga mobilitas tinggi membuat berbagai persoalan. Belum lagi lokasi bandara dan pelabuhan terbesar di Indonesia berada di Jakarta. Hal ini disampaikan Jokowi dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 26 Agustus 2019.
Dengan pertimbangan itulah akhirnya keputusan untuk memindahkan IKN ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, dengan pertimbangan; 1) Risiko bencana yang minimal. 2) Berada di tengah Indonesia. 3) Lokasi berdekatan dengan wilayah berkembang. 4) memiliki infrastruktur relatif lengkap. 5) Lahan milik pemerintah.
Menilik latar belakang perpindahan IKN jelas menunjukkan gambaran sistem pemerintahan saat ini tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul di Ibu kota. Tatapi apakah lantas dengan memindahkan ibu kota menjadi solusi tepat saat ini?
Penjajah Gaya Baru
Dengan disahkannya UU IKN ini menjadi polemik dan kontroversi. Selain ekstrak kilatnya penyelesaian RUU IKN ini tanpa kajian ilmiah yang konkret membuat publik banyak bertanya ada apa dibalik rencana ini?
Aroma konspiratif kental tercium dari kebijakan yang diambil dari kedangkalan berpikir dalam segala aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum , geografis, geostrategis. Kepentingan para kapitalisme bertopeng “roadmap” atau jalur sutra menjadi hal yang lebih dipertimbangkan dari pada tuntunan rakyat. Ini semua tak dilepas dari besarnya hegemoni kepentingan asing dan para oligarki terhadap negara yang pada akhirnya mengesampingkan suara rakyat.
Presiden Jokowi menegaskan pembangunan IKN baru tidak akan menggunakan dana pinjaman atau utang, tatapi Jokowi menunjuk tiga figur asing untuk menjadi Dewan Pengarah IKN . Pertama, Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA), Syekh Mohammed bin Zayed. Kedua, CEO Soft Bank CoRpMasayoshi Son dan ketiga, eks Perdana Menteri Inggris priode 1997-2007 Tony Blair. Kehadiran ketiga orang tersebut, diharapkan pemerintah memberikan kepercayaan kepada investor asing, (CNBC Indonesia, 17/1/2020).
Inilah gambaran sistem kapitalisme, pembangunan IKN menjadikan negeri ini di jajah dengan gaya baru berbalut konstitusi dan legitimasi negara. Pada akhirnya hanya akan menguntungkan para investor bukan untuk kesehatan rakyat negeri ini.
Pandangan Islam
Berbeda dengan sistem Islam, sejarah mencatat terjadi perpindahan Ibu Kota Negara pernah dilakukan sebanyak empat kali, tetapi semua itu dilakukan atas alasan politik. Perpindahan pertama dari Madinah ke Damaskus, kedua dari Damaskus ke Baghdad, ketiga dari Baghdad ke Kairo dan terakhir dari Kairo ke Istanbul.
Namun perpindahan tersebut dilakukan dengan perencanaan yang luar biasa. Bagaimana optimalisasi dilakukan untuk kota yang dibangun, kota yang ditinggalkan, masa selama transisi, sehingga semua urusan rakyat tidak terabaikan dan efisien dalam penggunaan dana.
Terlebih dalam pembangunan IKN dalam Islam tidak akan pernah melakukan kerja sama dengan asing yang akan merugikan kedaulatan negara. Kas negara yang berasal dari Baitul mal akan di optimalisasi secara tepat. Pun pembangunan akan fokus pada infrastruktur yang urgen dalam memenuhi kebutuhan rakyat.
Oleh karena itu perlu dikaji ulang kebijakan untuk memindahkan IKN, terlebih kondisi keuangan negara sedang tidak baik-baik saja. Seyogianya pemerintah bisa mendengar apa yang menjadi kebutuhan rakyat saat ini. Bukan IKN baru yang menyolusi persoalan rakyat saat ini. Tetapi bagaimana pemerintah bisa mengganti sistem kapitalisme yang menjadi biang kerok kehancuran negeri ini dengan menggantikannya dengan sistem Islam.
Wallahu a’lam