Eksploitasi Pekerja di Balik Peraturan Jaminan Hari Tua (JHT), Dalam Sistem Kapitalisme

 



Oleh : Umi Hafizha


Para buruh kembali merasakan pahitnya kebijakan penguasa. Kali ini Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Persyaratan dan  Pembayaran Jaminan Hari Tua menjadi sumber lain kerugian para buruh.


Dalam peraturan tersebut, Menaker Ida Fauziah  menetapkan dana JHT baru dapat di cairkan saat pegawai berusia 56 Tahun. Padahal dalam PP No.60 Tahun 2015 Jo.Permenaker No.19 Tahun 2015 memperbolehkan buruh yang terkena PHK dan mengundurkan diri untuk mengambil JHT, tanpa harus menunggu usia 56 Tahun (Kompas.Com, 11/2/2022).


Tentu saja kebijakan ini di tolak mentah - mentah oleh masyarakat terutama kaum buruh. Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI), Roy Jinto Ferianto, mengatakan para buruh sepakat menolak aturan tersebut.(CNN.Indonesia, 13/2/22)


Kritik juga datang dari Anggota IX DPR RI, Alifudin mengritisi kebijakan baru pemerintah yaitu tentang Permenaker No.2 Tahun 2022 yang mengatur Jaminan Hari Tua (JHT) baru dapat di cairkan setelah pekerja berusia 56 Tahun. Ia menilai kebijakan tersebut menyakiti hati rakyat terutama kaum buruh (Populasi Jakarta, 14/2/22).


Secara fakta dana JHT merupakan Tabungan Hari Tua yang iuran nya di potong dari upah buruh dan di setorkan ke Jamsostek atau BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelola dana buruh. Bagi kaum buruh JHT  merupakan bagian dari harta mereka yang di harapkan menjadi penopang di saat kondisi tidak di harapkan seperti berhenti bekerja di luar faktor - faktor ketentuan atau sebagai sumber keuangan ketika usia tua.


Namun, adanya kebijakan baru terkait penarikan dana JHT ini, tentulah membuat para buruh menjadi was - was terlebih dalam kondisi yang tidak menentu selama pandemi.


Tidak menjadi masalah jika  para buruh mendapatkan uang JHT penuh selama 56 Tahun. Akan tetapi jika di tengah jalan para buruh terkena rasionalisasi baik itu pensiun dini atau PHK dana yang notabenenya adalah jerih payah sendiri ada syarat dan ketentuan jika ingin di cairkan sebagaimana penjelasan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Kemenaker Indah Anggoro Putri yang mengatakan terkait peraturan JHT terbaru manfaatnya tetap akan bisa di nikmati peserta yang kena PHK, asalkan iuran nya sudah mencapai 30% dari JHt untuk kepemilikan rumah atau 10% untuk keperluan lain dalam bentuk tunai. Sisa manfaatnya diambil pada usia 56 Tahun. 


Bagi pekerja yang terkena PHK sebelum mamasuki usia 56 Tahun di sebut akan menerima program Jaminan Kehilangan Pekerjaan ( JKP) dengan tanggungan uang tunai selama enam bulan beserta akses informasi pasar kerja termasuk pelatihan secara gratis (Viva.co.id, 19/11/21).


Menanggapi kebijakan ini  Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga Hadi Subhan menyarankan sebaiknya Permenaker No. 2 Tahun 2022 di ubah. Menurutnya perubahan ini sama sekali tidak akan merugikan pemerintah dan tidak ada beban dari pemerintah jika tidak ada agenda tersembunyi tentu tidak ada masalah jika peraturan ini di ubah.


Sebenarnya adanya JHT adalah gambaran nyata dari eksploitasi buruh dan lepasnya tanggung jawab kepemimpinan dalam sistem kapitalisme. Kapitalisme memposisikan swasta sebagai pengelola urusan rakyat. Adapun negara di posisikan hanya sebagai regulator,  kepemimpinan untung dan rugi. Dari sinilah lahir konsep kebijakan JHT. Negara tidak ingin menanggung jaminan  hari tua rakyatnya.


Maka gaji buruh di potong  dengan alasan untuk jaminan hari tua. Padahal jika di perhatikan gaji buruh juga tidak seberapa. Agar gaji yang di potong  bisa memberikan keuntungan para korporasi maka perlunya gaji  di tahan dan di kelola oleh swasta (BPJS). Inilah bentuk keburukan sistem kapitalisme yang mengeksploitasi kaum pekerja untuk menikmati keuntungan keringat mereka saat muda dan abai menjamin kebutuhan mereka saat mereka membutuhkan.


Tentu sangat jauh berbeda dengan perlindungan pekerja dalam sistem Islam. Islam memilik pandangan yang khas terkait jaminan kepada seluruh rakyatnya termasuk kaum buruh. Dalam sistem ekonomi Islam yang di terapkan oleh negara, kebutuhan masyarakat di bagi menjadi dua kebutuhan yaitu kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar publik.


Untuk kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan negara akan memberi jaminan secara tidak langsung yaitu dengan cara membuka dan menyediakan lapangan pekerjaan seluas - luasnya, sehingga para laki - laki yang mencari nafkah tidak akan kekurangan pekerjaan dan mampu menghidupi kebutuhan keluarganya secara layak. Bahkan alarm negara akan berbunyi jika ada satu orang laki - laki saja yang tidak memiliki pekerjaan.


Dalam hal bekerja, baik pekerja maupun pemberi kerja harus memenuhi akad ijarah. Pekerja tidak berhak dan tidak mendapatkan kompensasi, jika tidak memenuhi pekerjaannya dan sebaliknya pemberi kerja wajib memperlakukan pekerja dengan baik. Jika mereka melakukan pengurangan haknya atas pekerja maka negara akan memberi sanksi kepada pemberi kerja.


Adapun terkait masalah tunjangan sosial termasuk dana pensiun, uang kecelakaan dan asuransi kesehatan pada dasarnya merupakan bentuk kedzaliman sistem kapitalisme. Jika dalam negara Islam jaminan pendidikan, kesehatan  dan keamanan merupakan kebutuhan dasar publik, dalam hal ini negara wajib menanggung secara mutlak penyelenggaraannya sehingga semua rakyat baik muda maupun tua, miskin maupun kaya, muslim maupun non muslim bisa menerima pelayanan publik dengan gratis dan berkualitas.


Dana pelayanan publik ini berasal dari Baitul Mal yaitu berasal dari pengelolaan SDA oleh negara tanpa adanya intervensi asing sedikitpun. Sehingga para buruh  dalam sistem pemerintahan Islam akan mendapat jaminan yang layak baik terkait dengan pekerjaannya, upahnya, kesejahteraan di masa muda maupun di masa tua.

Wallahu'alam bishawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم