Oleh : Heni Satika (Praktisi Pendidikan)
Untuk kesekian kalinya puluhan perempuan di Afghanistan melakukan aksi demonstrasi. Mereka masih menyuarakan sesuatu yang sama yaitu tentang hak-hak perempuan. Bertempat di depan Universitas Kabul, sekitar 20 orang perempuan meneriakkan tentang makanan, karier, dan kebebasan.
Keadaan Afghanistan pasca dikuasai Taliban sejak Agustus 2021 memang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Mulai dari dibekukannya aset Afghanistan senilai milyaran dollar oleh Amerika. Dihentikannya bantuan hibah oleh bank dunia dan IMF, membuat ekonomi makin carut marut.
Pengangguran dan ancaman kelaparan juga ada dimana-mana. PBB melalui organisasi pangan dan pertaniannya memperkirakan ada sekitar 22,8 juta penduduk Afghanistan yang menghadapi ancaman kelaparan di tengah musim dingin ini. Di tengah suasana ekonomi yang tidak menentu. Muncul tuntutan dari perempuan untuk memberikan mereka kebebasan di ruang publik, dan juga hak untuk berpolitik.
Ketidakstabilan pemerintah Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban memicu munculnya sentimen anti Taliban dan lebih jauh lagi tentang Islam. Masyarakat dunia menganggap bahwa Taliban yang hari ini berkuasa di Afghanistan adalah representasi dari sistem pemerintahan Islam.
Padahal jelas sekali sebagaimana dikutip dari republika.co.id pada 13 Desember 2021 pemerintah Afghanistan melalui menteri luar negerinya Amir Khan Muttaqi mengatakan bahwa negara ini adalah negara yang terbuka dan mengingingkan persahabatan yang lebih erat dengan Amerika. Bahkan mereka menjamin tidak akan menyerang pasukan NATO dan AS saat penarikan bulan Agustus lalu.
Memang tidak dipungkiri ada sebagian hukum Islam yang diterapkan pasca Taliban berkuasa. Seperti menutup aurat bagi perempuan yang keluar rumah, dan tidak bolehnya perempuan keluar tanpa mahram. Akan tetapi penerapan Islam yang hanya sebagian bukannya menolong Afghanistan dari keterpurukan. Justru mendorongnya jauh ke lembah kehinaan.
Tunduknya Taliban dengan berbagai aturan yang dibuat oleh Amerika menunjukkan bahwa sebenarnya mereka tidaklah pernah merdeka. Lebih berbahaya lagi, di tengah keterpurukan ekonominya mereka mengundang China untuk berinvestasi di negaranya. Bahkan PBB juga dengan sengaja menghentikan bantuan ke Afghanistan dengan alasan Afghanistan mengekang hak-hak perempuan.
Secara fitrah perempuan memang memiliki naluri untuk diakui keberadaan dirinya. Salah satunya dengan berekspresi di ranah publik. Entah dengan cara menuntut ilmu atau dengan bekerja. Jika cara yang mubah inipun dilarang oleh Taliban, bukan berarti kemudian perempuan di Afghanistan boleh menuntut diberikan kebebasan dan membawa nama HAM. Karena sebenarnya inti dari permasalahan yang terjadi di Afghanistan adalah tidak diterapkannya Islam secara Kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Menuntut kesetaraan, kebebasan bukanlah solusi tetapi justru mengundang petaka berikutnya. Carut marut ekonomi juga bukan karena ketidaksetaraan posisi, laki-laki dan perempuan tetapi pada bagaimana ketergantungan ekonomi Afghanistan pada bantuan asing. Belum dikelolanya secara maksimal kekayaan sumber daya alamnya. Sampai pada sistem perbankan yang bergantung pada kucuran dana asing. Sehingga ketika Amerika dan IMF hengkang dari Afghanistan, mereka sudah tidak bisa bertahan.
Perempuan Afghanistan seharusnya menuntut pemberlakuan Islam Kaffah, mencegah segala bentuk intervensi asing. Tidak termakan ide kebebasan dan kesetaraan, karena sebenarnya ide itu hanya untuk menghancurkan Islam sampai ranah keluarga. Allah memberikan laki-laki dan perempuan hak dan kewajiban yang masing-masing tidak sama akan tetapi saling melengkapi. Semua bisa hidup sejahtera dengan penerapan sistem Islam.
Wallahu a'lam bish showab.