Verry Verani
(Pengamat Kebijakan Publik)
Pemerintah berencana akan menaikan tarif listrik sebagai kado pahit diawal tahun.
Apa yang mau dikata, rakyat tidak bisa menolak kebijakan tersebut.
Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Agus Suyanto mengatakan, penyesuaian tarif ini biasanya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kurs dollar, inflasi dan juga harga minyak dunia, Tribunnews, Jumat (3/12/2021).
Skema penyesuaian tarif ini justru menghilangkan kehadiran negara dalam jangka panjang. Alasannya, tarif listrik 100 persen ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar bebas. Tahun- tahun kedepannya mulai tahun 2022 kenaikan tarif listrik menyesuaikan dengan mekanisme harga pasar dunia.
Tak mengherankan, kenapa setiap tahunnya pemerintah selalu ada hadiah pahit tahun baru untuk rakyat berupa kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat.
Kenapa pemerintah selalu abai pada apa yang sedang diderita rakyat negeri ini?
Kebijakan apa yang sebenarnya sedang dipermainkan dalam urusan rakyat ? Sehingga kesejahteraan rakyat semakin jauh dari harapan dan utopis untuk diwujudkan.
Menilik tujuan Pemerintah membangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
BUMN ini memposisikan sebagai penyedia energi tenagalistrik gratis atau terjangkau rakyat dalam bentuk harga yang wajar.
Menurut pendapat para pengamat politik ekonomi bahwa patut diduga masuknya komoditas batubara kepasar dunia menjadi dasar utama rencana pemerintah menaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), berdasarkan skema adjusment.
Menguatnya kontrol kapitalis terhadap para agennya terkait konsistensi negara korporasi.
Mengingat, Indonesia tercatat masih memiliki energi yang berlimpah.
Ketika naiknya harga batu bara di pasar internasional membuat pemerintah diuntungkan.
Namun, sebagai negara penganut sistem neo kapitalisme -neo liberalisme menjadikan
pasar domestik harus menyesuaikan tarif harga pembelian energi batubara se - harga pasar dunia. Imbasnya apa ? melambungnya tarif harga dasar energi tenagalistrik yang menambah beban hidup rakyat.
Begitulah jika sebuah negara mengikuti jejak sistem neo kapitalisme - neolibetalisme kesejahteraan rakyat mustahil terwujud.
Sistem Ekonomi Neo Kapitalisme-NeoLiberalisme Sebagai Akar Masalah
Dalam hal ini yang menjadi permasalahan, para pemutus kebijakan adalah karena mereka mengikuti mekanisme pasar bebas sebagai konsekwensi negara penganut ekonomi neoliberalisme.
Disini telah terjadi pelanggaran konstitusi, demikian pernyataan kalangan para wakil rakyat.
Negara telah meninggalkan Kedaulatan dalam bidang ekonomi kerakyatan.
Dimana Ekonomi Kerakyatan sangat berbeda dari ekonomi neoliberalisme.
Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai berikut:
(1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar;
(2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan
(3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam
neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan;
(3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz,2002).
Kebijakan Khilafah Dalam Mengelola Harta Milik Rakyat
Kebijakan Khilafah berbeda dengan sistem kapitalis yang menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) kepada swasta atau individu.
Dalam pandangan Islam, sumberdaya alam yang jumlah atau depositnya banyak merupakan milik umum atau milik rakyat yang wajib dikelola oleh Negara.
Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut:
اَلنَّاسُ شُرَكًاءٌ فِي ثَلاَثٍ : اَلْكَلَاءُ وَالْمَاءُ وَالنَّارُ
Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).
Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga energi listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai dan laut; semuanya telah ditetapkan oleh syariah sebagai kepemilikan umum.
Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat.
Secara adminstrasi pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang masuk kategori milik umum, dalam sistem ekonomi Islam menggunakan sistem sentralisasi.
Artinya, SDA yang ada di sebuah negeri bukan hanya milik negeri tersebut, tetapi milik seluruh kaum Muslim. Setelah kota tersebut terpenuhi kebutuhannya, SDA tersebut akan dialokasikan ke wilayah lain yang membutuhkan sehingga akan terjadi pemerataan pemanfaatan SDA.
Secara teknis pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar adalah benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagi masyarakat.
Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara.
Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam dan barang tambang lainnya—langsung dikelola oleh Negara. Negaralah yang berhak mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Hasilnya dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal.
Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, Negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat—untuk konsumsi rumah tangga—dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi. Namun, boleh menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial.
Jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, boleh pemerintah mencari keuntungan semaksimal mungkin
Hasil keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan ekspor ke luar negeri digunakan: Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi.
Kedua, dibagikan kepada kaum Muslim atau seluruh rakyat.
Dalam hal ini Pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan.
Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya emas, perak, tembaga, batubara dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.
Anjuran lain diperkuat dengan kandungan makna hadits Rosulullah saw. yang lebih spesifik tentang kepemilikan umum,berikut:
Rasulullah saw. memberikan contoh yang sangat baik:
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ ، أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ ، فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى ، قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ ، فَرَجَعَهُ عَنْهُ ، قَالَ : يَعْنِي بِالْمَاءِ الْكَثِيرِ
Artinya: "Dari Abyadh bin Hammal bahwasannya ia mendatangi Rasulullah saw. dan meminta kepada beliau agar memberikan tambang garam kepadanya, maka Rasulullah saw. memberikannya. Setelah Abyadh berlalu, salah seorang dari sahabat berkata kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang baru saja engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti “air yang mengalir–sumber air”.
Kemudian Rasulullah saw. mencabut kembali pemberiannya kepada Abyadh.
(Sunan al-Kubra lil-Baihaqi no. 11608) dan Sunan al-Kubra lin-Nasa’iy no. 5736),
dimana redaksi Hadits di atas oleh an-Nasa’iy.
Rasulullah saw. dalam peristiwa tersebut berperan sebagai seorang pemimpin negara Islam.
Terkait sumber daya alam tidak diperkenankan adanya praktek-praktek eksploitasi yang melampaui batas dan monopoli yang hanya dikuasai oleh segelintir orang saja.
Oleh karena itu, beliaulah yang dimintai izin sebagai kepala negara oleh Abyadh ketika ia hendak mengolah harta kepemilikan umum.
Setelah Rasulullah saw mengetahui bahwa sebenarnya lahan yang di minta Abyadh tersebut adalah suatu tambang garam yang hasilnya akan terus mengalir tak akan berhenti maka beliau mencabut hak kepemilikan Abyadh dan kemudian menjadikannya hak milik umum.
Hal itu karena pelanggaran syara'.
Indonesia merupakan negara memiliki sumber daya yang melimpah ruah. Berbagai macam sumber energi terbentang dari Sabang hingga Merauke. Jika pemerintah dapat memanfa'atkan dan mengolahnya secara mandiri sumber-sumber tersebut dan kemudian hasilnya dikembalikan kepada rakyat, niscaya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang makmur, sejahtera, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur tercapai.
Wallahu 'alam bish-showab