Menentang Khilafah Bagai Menghadang Terbitnya Matahari



Oleh : Cita asih lestari


Terbitnya Matahari adalah suatu kepastian. Begitu pula Khilafah. Tegaknya merupakan sebuah kepastian. Karena Khilafah adalah janji Allah SWT dan Bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah saw.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (TQ.S. An Nuur :55)

Rasulullah Saw bersabda : “Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.” (HR Ahmad; Sahih).

Hadis di atas menjelaskan 5 (lima) fase sistem pemerintahan yang akan dilalui :

Masa pemerintahan yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Saw yang disebut sebagai masa Kenabian. Periode ini berakhir dengan wafatnya beliau;

Periode Khilafah berdasarkan Minhaj Nubuwwah. Masa ini dimulai dengan berdirinya kekhilafahan Abu Bakar sampai wafatnya Ali ra. Sebagian ulama memasukkan pemerintahan Hasan bin Ali ke daam periode ini. Inilah 30 tahun masa khilafah ala minhaj nubuwwah, seperti disebutkan oleh Nabi saw.

Periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit). Yaitu setelah kekhilafahan Hasan bin Ali sampai runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani menjelang abad ke-20. Awal periode ini adalah akhir periode khilafah rasyidah, atau disebut dalam hadis lain sebagai masa raja-raja. Namun, perlu dicatat bahwa karakter kerajaan ini bersifat global dan tidak menutup kemungkinan adanya raja yang mengikuti sunah dan menerapkan syariat dan jihad fi sabilillah. Seperti yang terjadi pada masa Ussmar bin Abdul Aziz dan khalifah-khalifah setelahnya. (Majmu’ Al_Fatawa, 35/18);

Periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak). Yaitu sejak runtuhnya dinasti Utsmani sampai hari ini. Mencakup seluruh bentuk pemerintahan di dunia Islam, baik kerajaan, warisan, partai, atau rezim kafir terhadap kaum muslimin;

Khilafah berminhaj Nubuwwah, Rasulullah Saw menamai Daulah pertama sepeninggal beliau dengan sebutan Khilafah sesuai minhaj nubuwwah. Sifat para khalifahnya beliau Saw sebut sebagai Khilafah Rasyidah (lurus) dan mendapatkan petunjuk. Khilafah pada masa ini memperoleh sifat “rasyidah” karena berjalan sesuai minhaj nubuwwah.

Keempat fase sudah dialami oleh kaum muslimin saat ini, dan Rasulullah Saw menyebutkan adanya fase terakhir (kelima) yaitu Daulah Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Fase ini adalah suatu kepastiaan yang akan tiba sesuai kehendak dan janji Allah.

Ironisnya janji Allah SWT ini banyak ditolak dan ditentang dengan berbagai alasan dengan stigmatisasi dan desakralisasi ajaran Islam termasuk Khilafah dan Jihad. Maka perlu kiranya kita pun melakukan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-mungkar” (nasihat dan peringatan) :

Pertama, KHILAFAH dan JIHAD tidak akan pernah bisa dihapus dari khazanah kaum Muslim, dimana keduanya TERSURAT dan TERSIRAT dalam Alquran dan Sunah, diuraikan para ulama dalam turats mereka, jelas dan terang benderang, tidak ada kesamaran bagi mereka yang menggunakan akal sehatnya;

Kedua, SK dari lembaga mana pun, di negeri mana pun di bumi ini, bukanlah dalil syar’i untuk menasakh nas-nas Alquran dan Sunah yang berbicara tentang Khilafah dan Jihad. Tidak ada dasarnya, bahkan dalam bangunan disiplin ilmu ushul fikih, tidak ada yang namanya SK lembaga yang menjadi dalil penasakh ajaran Alquran dan Sunah, serta ijmak sahabat.

Dalam ilmu ushul fikih jelas, ushul al-syari’ah mencakup ijmak sahabat, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w. 204 H) menegaskan,

أَنَّ لَيْسَ لاَحَدٍ أَبَدًا أَنْ يَقُوْلَ فِي شَئْ حلّ وَ لاَ حَرَم إِلاَّ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةُ الْعِلْمِ الخَبَرُ فِي الْكِتَابِ أَوْ السُّنَةِ أَوْ الإِجْمَاعِ أَوْ الْقِيَاسِ

“Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran), al-Sunnah, Ijma’ atau Qiyas.” (Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risâlah, Ed: Rif’at Fauzi, Mesir: Dar al-Wafa’, cet. I, 1422 H/2001, hlm. 16)

Salah satu dalil kukuh wajibnya menegakkan Khilafah adalah Ijmak Sahabat, di mana hal ini ditegaskan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja):

Imam al-Khaththabi (w. 388 H) setelah menyebutkan dalil ijmak sahabat ini menegaskan kewajiban menegakkan Khilafah dengan bahasa sharîh, sangat jelas, tidak samar bagi mereka yang berakal dan masih jeli pandangan matanya.

Al-Khaththabi menegaskan,

وذلك من أدل الدليل على وجوب الخلافة وأنه لا بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس ويمضي فيهم أحكام الله ويردعهم عن الشر ويمنعهم من التظالم والتفاسد

“Dan dalil tersebut (ijmak sahabat) merupakan sejelas-jelasnya dalil atas wajibnya menegakkan al-Khilafah dan bahwa harus ada seorang Imam (Khalifah-pen.) bagi masyarakat yang berdiri memerintah masyarakat, mengatur mereka dengan hukum-hukum Allah, menjauhkan mereka dari keburukan, menghalangi mereka dari perbuatan saling menzalimi dan saling merusak.” (Abu Sulaiman al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan, Halb: Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, cet. I. 1351 H, juz III, hlm. 6)

Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra al-Hanbali (w. 458 H) ketika mengomentari peristiwa bersejarah diskusi alot antara tokoh-tokoh Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin mengurusi Khilafah, hingga menunda pemakaman jenazah al-Mushthafa Muhammad SAW menegaskan,

فلولا أن الإمامة واجبة لما ساغت تلك المحاورة والمناظرة عليها

“Jika seandainya al-Imamah (al-Khilafah) itu tidak wajib, maka takkan berlangsung diskusi alot tersebut dan perdebatan tentangnya.” (Muhammad bin al-Husain Abu Ya’la al-Farra, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah li al-Farra’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 1421 H, juz I, hlm. 19)

Syaikhul Islam al-Imam Ibn Hajar al-Haitami al-Syafi’i (w. 974 H) menegaskan:

أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ.

“Sungguh para sahabat –semoga Allah meridai mereka– telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai (salah satu) kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban ini dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami, Al-Shawâ’iq al-Muhriqah ‘ala Ahl al-Rafdh wa al-Dhalâl wa al-Zindiqah, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet. I, 1417 H, hlm. 7)  

Begitu pula menyoal jihad fi sabiliLlah (berikut qawa’id dan dhawabith-nya (prinsip-prinsip dasar), yang jelas dasarnya dari nas Alquran dan Sunah.

Ketiga,Bertolak dari kejelasan dasar keilmuan di atas, maka desakralisasi dan framing buruk atas ajaran KHILAFAH dan JIHAD dalam Islam, hingga dikerdilkan/dihapuskan dalam kurikulum pendidikan Islam, termasuk bentuk kemungkaran. Maka, para pelakunya wajib bertobat dengan taubat nashuha, mengingat Khilafah dan Jihad jelas termasuk ajaran Islam, dijabarkan para ulama mu’tabar dalam turats mereka, didasarkan pada ushul al-syari’ah: nas Alquran, Sunah, serta ijmak sahabat;

Keempat, Kaum Muslim wajib menjaga ajaran Islam dari berbagai upaya stigmatisasi negatif dan desakralisasi ajaran Islam, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)

Generasi agung umat ini adalah generasi pejuang dan pembela Islam yang berkorban demi tegaknya panji kebenaran di Bumi Allah, menebarkan rahmat Allah bagi alam semesta dengan tegaknya Din-Nya dalam kehidupan. Jangan lengah! Jangan mundur walaupun hanya selangkah!

Imam al-Marwazi (w. 294 H) dalam Sunah mengetengahkan nasihat Imam al-Awza’i:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ إِلَّا وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى ثَغْرَةٍ مِنْ ثُغَرِ الْإِسْلَامِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَلَّا يُؤْتَى الْإِسْلَامُ مِنْ ثَغْرَتِهِ فَلْيَفْعَلْ

“Tidaklah setiap muslim itu, kecuali ia harus berdiri di depan benteng pertahanan dari benteng-benteng pertahanan Islam, maka siapa saja yang mampu agar Islam tidak (dihancurkan) datang dari arah bentengnya, maka lakukanlah!”

Lantas, bagaimana sikap kita?

 Sebagaimana dituturkan sya’ir:

نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل مثل ما فعلوا

“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”

“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.” (Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz I, hlm. 6).

Inilah jalannya para Nabi, jalan yang penuh onak dan duri. Walau perjuangan ini tidaklah mudah, tetaplah berdakwah dengan istiqomah. Semakin tinggi cita-cita maka hambatan, ancaman, tantangan, rintangan dan gangguan yang menghadang juga semakin besar. Itulah perjuangan.  Disitulah nilai hidup kita di hadapan Allah.  Dengan dakwah yang dilakukan secara istiqomah, insya Allah Khilafah akan kembali tegak, sesuai janji Allah SWT dan bisyarah Rasululloh saw. Oleh karena itu penting menyadarkan umat untuk bergegas mengambil peran dalam perjuangan ini dalam kedudukan dan kapasitas masing-masing. Penting pula meyakinkan umat bahwa inilah jalan kemuliaan bukan jalan kehinaan. Justru mereka yang menghalangi perjuangan inilah yang nista. Bagaimana bisa, manusia diciptakan oleh Allah, hidup di bumi Allah, menghirup udara yang diberikan Allah, makan dari rezeki Allah dengan pongahnya menentang ajaran agama Allah. Maka menghadap tegaknya perjuangan Khilafah bagai menghadang terbitnya matahari. Satu hal yang tidak akan pernah mungkin terjadi. Karena Khilafah adalah janji-Nya. Jika bukan di dunia, manusia yang menghadang janji Allah akan berhadapan dengan Sang Maha Pencipta di akhirat. 

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم