Hilirisasi Timah, Harapan atau Masalah?




Oleh: Pebyanti

Indonesia merupakan negara penghasil timah terbesar di ASEAN yang memenuhi 30 persen kebutuhan timah dunia. Selain berada dalam peringkat pertama di ASEAN, Indonesia juga menjadi peringkat kedua penghasil timah terbesar di dunia setelah China. Dilansir dari International Tin Association, sekitar 96 persen timah diproduksi oleh PT. Timah dengan basis penambangan di Bangka Belitung dan laut lepas.

Hingga kini harga timah pun semakin tinggi. Dilansir dari bangkapos.com, harga timah dunia pada Kamis (25/11/2021) di London Metal Exchange telah mencapai US$ 40.250 per Metrik Ton, ini meningkat dari sebelumnya Rabu (24/11/2021) berkisar US$ 39.050 per Metrik Ton. Hal ini disebabkan pasokan timah yang terbatas karena gangguan produksi oleh COVID-19. Gangguan produksi membuat persediaan di gudang semakin menipis. Di sisi lain permintaan solid membuat timah menjadi langka. Ini menyebabkan harga timah diperkirakan akan terus meningkat. 

Dengan semakin tinggi harga timah dunia, Presiden Joko Widodo berencana akan menghentikan ekspor tembaga atau menjual komoditas mentah karena membuat negara kehilangan pendapatan. Presiden Jokowi menyinggung hilirisasi timah itu pada kegiatan pertemuan tahunan Bank Indonesia 2021 yang diikuti oleh perwakilan BI dan kepala daerah se-Indonesia, beberapa waktu lalu. Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman, menyambut baik terkait keinginan Presiden RI Joko Widodo untuk melakukan hilirisasi timah, atau melakukan pengelolaan timah menjadi produk-produk jadi dari pertambangan.

Mengutip dari ruang energi.com, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai bahwa hilirisasi di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) dalam negeri merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat. Pasalnya, hal tersebut dapat meningkatkan nilai tambah terhadap negara dan mampu menciptakan multiplier effect terhadap masyarakat.

Selain itu, sudah sepatutnya Indonesia menyetop ekspor produk bahan mentah (raw material) minerba. Sebab, banyak potensi yang ikut terbawa dalam ekspor bahan mentah tersebut. Dia juga mengungkapkan bahwa apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada saat menghadiri KTT G20 di Roma, Italia, pada akhir Oktober 2021, terkait kebijakan tentang larangan ekspor bahan mentah komoditas tambang kepada para pemimpin Uni Eropa dan Eropa, adalah satu kebijakan yang tepat.

Namun, benarkah demikian? Sejatinya, hilirisasi sudah dilakukan oleh PT. Timah Tbk. Perusahaan yang bergerak di pertambangan timah ini telah sejak lama melakukan hilirisasi timah dengan mendirikan anak usaha PT. Timah Industri pada tahun 1998 dan sejak 2010 memproduksi tin chemical dan kemudian tin solder di tahun 2015.

Timah Industri telah melakukan hilirisasi logam timah dengan membuat produk tin chemical dan tin solder untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor ke Amerika, India, Tiongkok, Taiwan dan beberapa negara Eropa. Kebutuhan pasar tin chemical dan tin solder dalam negeri masih sangat kecil. Hilirisasi logam timah menjadi tin solder dapat meningkatkan value added menjadi sekitar dua kali lipat sedangkan dari logam timah menjadi tin chemical sekitar tiga kali lipat.

Produk tin solder digunakan pada industri elektronik dan otomotif, sedangkan tin chemical digunakan pada industri Polyvinyl chloride (PVC) sebagai bahan aditif tin stabilizer untuk pembuatan pipa konstruksi, profile, plastik PVC transparan dan lainnya.

Namun, karena masih minimnya hilirisasi produk timah di Babel, pemerintah menginisiasi pembangunan di kawasan industri Sadai dengan mengirimkan bahan baku timah yang dibeli dari PT. Timah agar menghasilkan 14 macam jenis soldier. Untuk itu, pemerintah telah menjalin kerjasama dengan Sinomach HE (Heavy Equipment Group Co.Ltd) di Chengdu, China pada Senin (20/01/2020) sebagai tindaklanjut dari MoU yang telah ditandatangani antara Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dengan perusahaan BUMN China yang bergerak di bidang mesin-mesin berat.

Sinomach akan berinvestasi untuk hilirisasi timah di Bangka Belitung. Produknya adalah Solder Powder yang merupakan bahan baku solder cair atau biasa disebut juga solder pasta dan solder lainnya. Saat ini, penggunaan produk tersebut telah mencapai persentase hingga 60 persen dari penggunaan produk berbahan dasar timah batangan.

Lantas, akankah investasi demi hilirisasi ini benar-benar menjadi harapan bagi kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung?

Hilirisasi nampaknya akan memberi keuntungan besar bagi negara. Yaitu bertambah besarnya nilai investasi dan semakin terbuka lebar lapangan pekerjaan. Hanya saja, program hilirisasi yang sudah berjalan seperti hilirisasi industri, baik karet maupun minyak kelapa sawit yang merupakan salah satu sumber kekuatan tanah air, tidak seindah janjinya. Awalnya program hilirisasi produk sawit dan pendirian kawasan industri sawit merupakan kampanye pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat, namun ada sisi lain dari pembangunan kawasan industri ini yaitu berdiri di atas perampasan tanah milik rakyat. Selain itu adanya industri, telah mengeksploitasi buruh perkebunan setempat. Wajar bila nasib buruh dari waktu ke waktu tidak pernah berubah. Padahal, buruh merupakan tenaga penggerak utama proyek industri tersebut.

Sebab itu program hilirisasi mulai dari wacana, kebijakan, hingga prakteknya, hanyalah kedok dari sebuah wacana membangun Indonesia sebagai 10 besar negara terkaya di dunia tahun 2025. Adanya sistem perbudakan di kawasan industri, telah melegalkan praktek yang disengaja seperti buruh anak, buruh harian lepas, hingga siklus kehidupan di emplasement -kantong kantong pemukiman di perkebunan- yang mirip dengan praktek peternakan hewan. Ironisnya, praktek ini tidak berubah dan tidak disentuh pemerintah hingga detik ini. Lalu bagaimana dengan hilirisasi tambang yang akan dijalankan, maka bisa dipastikan nasib rakyat setempat akan mengalami hal yang sama dengan hilirisasi yang sudah berjalan.

Upaya menggenjot industrialisasi, dengan mendorong pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia, sejatinya akan merugikan Indonesia sendiri. Sebab program hilirisasi melalui bentuk kerja sama dengan menjual bahan baku setengah jadi agar diolah perusahaan asing menjadi barang jadi, maka hal itu sama saja dengan menjual aset kekayaan alam pada asing. Terlebih lagi, adanya kerja sama akan memberi peluang besar bagi asing untuk menjajah Indonesia. Maka ketergantungan Indonesia pada asing menjadi bukti bahwa negara semakin tidak mandiri. Sehingga wajar bila kesejahteraan rakyat yang diharapkan tak kunjung mampu diwujudkan. Rakyat semakin menderita, menjadi korban dari ketimpangan kepemilikan, konflik tanah, eksploitasi buruh dan kerusakan ekosistem. Maka program hilirisasi dan industrialisasi sejatinya bukan untuk rakyat. 

Kebijakan ekonomi yang dijalankan penguasa negeri masih terus diarahkan dengan mendatangkan investasi asing. Padahal menggantungkan diri pada investasi asing bisa membahayakan negeri. Menjadikan negeri kian rapuh. Seharusnya pemerintah mengevaluasi kebijakan ekonominya dengan tidak mengantungkan diri pada investasi asing. Alih-alih menyejahterakan rakyat, hilirisasi industri hanya akan semakin menguatkan cengkeraman kapitalis mengeksploitasi SDA. 

Bebeda halnya dengan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan atas barang dan jasa dikelompokkan menjadi tiga: milik individu, milik umum dan milik negara.

Kepemilikan Umum itu terdiri dari tiga kategori. Pertama, sarana umum yang diperlukan oleh seluruh rakyat dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti air. Rasulullah Saw. telah menjelaskan mengenai sifat-sifat sarana umum:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim bersekutu (dalam kepemilikan) atas tiga hal: yaitu air, padang rumput dan api (HR al-Bukhari).

Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali dibolehkan Rasulullah Saw. untuk seluruh manusia. Harta ini tidak terbatas yang disebutkan pada hadits di atas, tetapi meliputi setiap benda yang di dalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.

Kedua, harta yang keadaannya asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Menurut al-Maliki, hak milik umum jenis ini, jika berupa sarana umum seperti halnya kepemilikan jenis pertama, maka dalilnya yang mencakup sarana umum. Hanya saja jenis kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya, seperti jalan umum yang dibuat untuk seluruh manusia, yang bebas mereka lewati, dan tidak boleh dimiliki oleh seorang pun.

Ketiga, barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi oleh para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah. Hasil dari pendapatannya merupakan hasil milik bersama dan dapat dikelola oleh negara. Bisa juga negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.

Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas dapat digolongkan ke dalam milik pribadi. Hal ini didasarkan pada riwayat berikut:
Abyad bin Hammal pernah mendatangi Rasulullah Saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Ibnu al-Mutawakkil berkata, "Yakni tambang garam yang ada di daerah Marib.”

Nabi Saw. pun memberikan tambang itu kepada dia. Namun, ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, "Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh, Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air yang mengalir (al-mâ al-idd)."

Ibnu al-Mutawakkil berkata, Lalu Rasulullah saw. mencabut kembali pemberian tambang garam itu dari Abyad bin Hammal. (HR Abu Dawud)

Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah illat atas larangan sesuatu milik umum, termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya terlalu banyak untuk dimiliki oleh individu.

Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudera, sungai besar, dll, bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagai masyarakat.

Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakatkarena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar, seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka wajib dikelola oleh negara. Hasilnya dimasukkan ke dalam kas negara sebagai sumber pendapatan utama APBN untuk kepentingan rakyat.

Negara tidak boleh menjual hasil dari kepemilikan umum itu kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga demi meraih untung. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi. Namun demikian, boleh saja negara menjualnya dengan mendapatkan untung yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Adapun jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, negara boleh mencari untung semaksimal mungkin.

Hasil keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan ekspor ke luar negeri digunakan: pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Kedua, dibagikan kepada kaum Muslim atau seluruh rakyat. Dalam hal ini, pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan.

Adapun barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat semisal emas, perak, tembaga, batubara, dan lain-lain bisa dijual ke luar negeri dan keuntungannya termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri, dibagi kepada seluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis dan pelayanan umum lainnya.

Langkah Praktis

Pertama, langkahnya adalah membatalkan semua kepemilikan saham individu atau swasta, baik asing atau domestik. Caranya dengan membayar harga normal yang mereka keluarkan untuk mendapatkan saham tersebut atau jumlah investasi yang sudah mereka keluarkan sebesar pokoknya saja.

Kedua, membubarkan bentuk PT atau perseroan saham, terutama atas pengelolaan barang tambang milik umum.

Ketiga, pemerintah, dengan kepemilikan 100%, mengelola secara langsung atau boleh juga dengan mengontrak suatu perusahaan swasta khususnya dari dalam negeri, namun hubungannya adalah ajir-mustajir (majikan-karyawan), bukan sebagai pemilik dan pemegang konsesi.

Proses tersebut harus dilakukan bukan hanya untuk tambang yang dikelola seperti PT. Timah. Hal yang sama juga berlaku untuk pengelolaan tambang milik umum lainnya. Termasuk industri yang memproduksi barang-barang yang tabiatnya tidak bisa dimonopoli oleh individu; barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, atau barang-barang yang memang volumenya besar sehingga tidak boleh dikuasai oleh individu. Penguasaan individu (swasta), baik asing maupun domestik, atas industri seperti ini harus dibatalkan. Seperti industri petrokimia, pertambangan besi, batubara dan sebagainya.

Namun demikian, proses tersebut sulit untuk dilakukan, bahkan hampir mustahil selama ideologi kapitalisme berikut sistemnya masih diadopsi oleh pemerintah. Karena itu, ideologi dan sistem kapitalisme itu harus ditinggalkan. Selanjutnya negara ini harus segera mengambil dan menerapkan ideologi dan sistem Islam dengan syariahnya dalam naungan sistem khilafah. Hanya dengan sistem Islam yang diterapkan dalam institusi khilafah, sumber daya alam ini bisa dinikmati oleh seluruh rakyat dengan baik dan penuh dengan keberkahan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم