UU CIPTA KERJA INKONSTITUSIONAL BERSYARAT, BUKTI KETIDAKSERIUSAN KERJA MK

 



Oleh : Ade Rosanah


Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan DPR dan Presiden pada 5 Oktober tahun 2020 menuai pro kontra hingga saat ini di masyarakat. Akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang berwenang menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, memberi keputusan agar DPR merevisi UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dikarenakan bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pembuatannya tidak melibatkan keikutsertaan publik yang menjadi salah satu syarat pembentukan sebuah Undang-undang. Metode penggabungan (Omnibus law) memiliki ketidak jelasan. Metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi, (KOMPAS, 25/11/2021).


Mahkamah Konstitusi menyebutkan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat dan harus melakukan revisi dalam kurun waktu dua tahun. Jika dalam kurun waktu yang sudah ditetapkan tidak melakukan perbaikan, maka UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat permanen, (KOMPAS, 25/11/2021).


Namun, keputusan MK tersebut menjadi sorotan beberapa pihak. Salah satu pihak yang menyoroti keputusan MK adalah Denny Indrayana yang berprofesi sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara. Beliau menyatakan bahwa MK membuat keputusan yang ambigu dan MK memfasilitasi beberapa kepentingan dan mengambil jalan kompromi. Meminta direvisi bukan karena terkait isinya tetapi menguji kesahan dalam membuat Undang-undang. Agar tidak kabur dalam memahami putusan MK, sebaiknya MK secara tegas membatalkan UU Cipta Kerja, (CNN, 27/11/2021).


Selaras dengan pernyataan Denny Indrayana,  Bivitri Susanti sebagai pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera menyatakan melihat rekam jejak MK dalam mengambil putusan tidak hanya diambil dari aspek hukum saja. Tetapi mempertimbangkan juga dari aspek politik. Termasuk putusan inkonstitusional bersyarat 2 tahun merupakan pertimbangan yang tidak lepas dari sisi politiknya. Jadi, tidak menjadikan kemenangan bagi pemohon meskipun uji formil dilakukan, (CNN, 27/11/2021).


Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas menilai bahwa putusan MK inkonstutisional bersyarat itu terlihat janggal. Jika UU Cipta Kerja itu cacat formil, maka harus secara tegas MK membatalkan seluruhnya (CNN 27/11/2021). Inkonstitusional bersyarat yang disematkan MK pada UU Cipta Kerja nyatanya memang mengundang kritikan dari beberapa pihak. Karena putusan MK tersebut tekesan janggal dan memilih jalan tengah untuk menyelesaikan UU yang satu ini. Padahal rakyat berharap MK mengambil putusan yang tegas terkait hal ini.


UU Ciptaker Inkonstitusional bersyarat sendiri meskipun tidak sesuai dengan konstitusi tetapi masih tetap berlaku dikarenakan tempo waktu yang disyaratkan. Memang fakta bahwa MK terkesan mengambil jalan kompromi. Mengambil putusan dilatar belakangi kepentingan segelintir pihak. Putusan perintah agar DPR dan pemerintah untuk merevisi UU Ciptaker dan diberi masa tenggang 2 tahun untuk memperbaikinya adalah bentuk MK yang masih berpihak pada korporat. Tetapi, jika UU Ciptaker secara tegas dibatalkan maka kemungkinan besar akan memberikan dampak negatif terhadap para korporat. Untuk itu, MK tak berani mengambil keputusan yang beresiko akan merugikan para kapitalis.


Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga satu-satunya untuk menggantungkan harapan rakyat dalam mengajukan persoalan terkait Undang-undang yang tidak memihak pada rakyat. Rakyat menginginkan MK mencabut UU Cipta Kerja yang selama ini hanya menguntungan para kapitalis dan merugikan para buruh. Tetapi faktanya MK hanya memerintahkan untuk merevisinya saja. MK yang sejatinya merupakan lembaga yang menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan adalah slogan semata. Karena nyatanya UU Ciptaker membuat MK tidak bisa menegakan hukum dan keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat dengan UU tersebut.


Alhasil, para pengusaha memiliki porsi keuntungan yang besar dari UU Ciptaker. Sedangkan para buruh memiliki porsi kerugian yang besar dari Undang-undang ini. Undang-undang yang menjadi pembuka berbagai ladang bisnis untuk kaum kapitalis, bahkan bisa menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis juga. Sungguh undang-undang yang menzalimi rakyat.


Beginilah jika sistem Kapitalisme Demokrasi diterapkan negara. Segala bidang tersistematis sebagai mesin pencetak uang para kapitalis. Tak luput seperangkat lembaga-lembaga tinggi di negeri ini pun seperti MK merupakan bagian tak terpisahkan dari rezim pro kapitalistik. Pembuatan Undang-undang dalam sistem Demokrasi hanya meniadakan harapan rakyat untuk mendapatkan kemanfaatan. Karena standar antara benar dan salah dalam Demokrasi bersandar pada mayoritas suara terbanyak (vote) dan aklamasi. Para pemilik modal memiliki pengaruh besar dan peranan penting bagi para penguasa negeri ini. Terjalin simbiosis mutualisme diantara mereka. Sehingga para pemilik modal akan terus menjaga eksistensinya melalui perundang-undangan yang diberlakukan oleh negara seperti UU Cipta Kerja.


Berbeda dengan Mahkamah yang ada dalam sistem kepemerintahan Islam yaitu Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim adalah lembaga peradilan yang memiliki wewenang untuk mewujudkan keadilan di tengah kehidupan masyarakat. Yang berfungsi untuk menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau sebagai sarana untuk mengimplementasikan ajaran Islam di bidang penegakkan dan perlindungan hukum. Mahkamah Mazhalim akan secara tegas menindak berbagai penyimpangan yang terjadi. Baik penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau penyimpangan yang dilakukan khalifah terhadap hukum syara. Tindakan penyimpangan tersebut dinilai sebagai bentuk kezaliman karena sudah menyimpang dari ketentuan haq.


Apabila terjadi perselisihan dalam suatu perkara dengan penguasa maka akan kembalikan perkara itu kepada Allah swt. dan Rasul. Seperti dalam ayat Al Qur'an yang artinya "Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (TQS An nissa :59).


Maka setiap ada perselisihan dan penyimpangan dari aparat pemerintah maupun khalifah dalam daulah Islam dikembalikan perkara itu pada Mahkamah Mazhalim. Karena Mahkamah Mazhalim membela kebenaran dan memenangkan kemaslahatan publik serta bertindak tegas terhadap hukum yang zalim.


Wallahu'alam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم