Penulis : Henyk Widaryanti
Biduk pernikahan yang bahagia adalah dambaan para pasangan. Namun, siapa sangka di tengah mengarungi samudera kehidupan keduanya membatalkan janji. Kasus perceraian ternyata marak setahun ini. Mengapa bisa terjadi?
Meningkatnya Perpisahan
Setahun terakhir, perceraian meningkat. Dilansir media online Kompas (4/7/21) Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Euis Sunarti menjelaskan setidaknya ada 50 perceraian per jam. Pernyataan ini dikuatkan dengan tingginya kasus itu di daerah. Sebagai contoh, Jawa Tengah meraih peringkat pertama dengan nominasi perceraian terbanyak (65.755 kasus) (Suaramerdeka, 13/11/21).
Selain Jawa Tengah, kasus perceraian terjadi di banyak kota. Di antaranya Garut, sehari sampai 25 kasus (Merdeka, 17/11/21), Lamongan ada 200 kasus setiap bulan (Kompas, 19/11/21), Bojonegoro tembus 3.340 kasus hingga awal Desember (Suaraindonesia, 8/12/21), Karimun setidaknya 500 kasus di awal tahun (Riau1, 13/12/21), Ponorogo ada 2.000 kasus (Pikiranrakyat, 18/11/21), Bandung tercatat 2.115 kasus (Medcom, 24/8/21), dll.
Sebab Perceraian
Tren perceraian tambah tinggi saat negeri ini dilanda pandemi. Wabah Covid 19 telah melumpuhkan tatanan ekonomi. Usaha pribadi semakin sepi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) membanjiri negeri. Akibatnya, banyak orang kehilangan mata pencaharian.
Masalah lainnya timbul karena perselingkuhan. Interaksi yang serba bebas dan kecanggihan teknologi menjadi wasilah yang pas untuk berselingkuh. Pada dasarnya manusia memiliki naluri kasih sayang, ketertarikan dengan lawan jenis. Jika naluri ini terus difasilitasi, maka pintu perselingkuhan terbuka lebar.
Penyebab lainnya adalah ketidakcocokan dengan pasangan. Sikap minta dimengerti dan tak mau mengalah adalah bumbu bagi pernikahan. Naluri eksistensi diri (pingin menang) dua insan membuat buruk komunikasi. Kalau komunikasi sudah tidak berjalan, akan membuat jarak antar pasangan. Masalah lainnya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Adanya perlakuan kasar dari pasangan akhirnya membuat yang lain putus harapan. Solusi cerai diambil demi kenyamanan.
Rapuhnya Ikatan Pernikahan
Dalam setiap pernikahan pasti akan melewati pahit manis kehidupan. Mereka yang memiliki ikatan rumah tangga kuat akan selamat. Sedangkan mereka yang rapuh ikatannya, pasti akan jatuh. Pada saat ini, banyak pasangan yang menjalin hubungan hanya berdasar cinta. Padahal sejatinya mereka belum siap secara jiwa dan raga.
Di sisi lain, pengetahuannya tentang rumah tangga pun minim. Karena banyak yang memandang pernikahan sebagai hubungan fisik semata. Sebelum menikah mereka tidak memahami fikih-fikih pernikahan dan berumah tangga. Akhirnya ikatan pernikahan mudah goyah saat ujian menerpa keluarga.
Lingkungan Sekularisme
Semua masalah ini terjadi karena kita sebagai umat Islam tak hidup dalam sistem yang benar. Seperti ikan air laut, yang tak bisa bertahan di air tawar. Lingkungan sekularisme dan liberalisme membuat umat Islam tak hidup sebagaimana mestinya.
Penerapan aturan kapitalisme membuat umat jauh dari agamanya. Bahkan mereka cenderung meniru pola hidup barat yang mudah kawin cerai. Dalam sistem pergaulan barat yang serba bebas juga membuat umat Islam tak mengenal aturannya sendiri, seperti bagaimana bergaul dengan lawan jenis atau bagaimana hak dan kewajiban suami istri dalam pernikahan. Karena itu, wajar jika kasus perceraian meningkat.
Jadi meningkatnya perceraian bukan hanya karena pandemi. Tapi, dari kesalahan penerapan aturan. Negara tidak menerapkan aturan yang tepat. Mereka memaksa umat mengikuti bangsa Barat, yang nota bene bertentangan dengan syariat.
Kembali Kepada Islam
Satu-satunya cara yang dapat dilakukan agar kasus perceraian nol atau sedikit adalah mengembalikan umat Islam pada lingkungannya. Ikan air laut harus kembali ke laut, seperti umat Islam ke habitat aslinya. Sebuah lingkungan yang menjadikan agama Islam sebagai landasan kehidupan.
Penerapan ini tidak bisa dilakukan individu atau kelompok, tapi membutuhkan peran negara. Negara memiliki hak mengatur dan membuat kebijakan sesuai Islam. Sebagaimana hadis, "Imam itu laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).
Negara akan meriayah rakyatnya, dengan menjamin sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan dan kesehatan. Sehingga rakyat bisa memenuhi kehidupan. Dari sini KDRT, perceraian karena ekonomi akan hilang. Penerapan pergaulan Islam akan memahamkan rakyat dalam interaksi dengan lawan jenis. Sehingga tidak akan ada perselingkuhan. Pendidikan Islam akan membentuk generasi berkepribadian Islam. Mereka akan memahami hukum syarak rumah tangga. Sehingga akan terwujud keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.
Khatimah
Keluarga muslim akan jauh dari perceraian jika mereka mengambil Islam sebagai petunjuk hidup. Tidak cukup mengandalkan individu dan masyarakat. Kaum muslimin membutuhkan peran negara untuk mewujudkannya dalam kehidupan.