Oleh: Ismawati
Konon, negeri ini adalah negara hukum. Hukum dikatakan menjadi panglima penegak keadilan. Namun sayang, penegakkan keadilan hukumnya masih dipertanyakan. Terkadang, yang mati-matian berjuang tidak mendapatkan keadilan. Realitanya penegakkan hukum sebagaimana diibaratkan tumpul ke atas, runcing ke bawah. Kepada siapa saja yang punya kuasa hukum bisa diputarbalikkan, yang salah bisa jadi benar, begitu pun sebaliknya. Siapa saja yang punya harta berlimpah, bisa membeli hukum yang menjeratnya. Sementara rakyat kecil biasa menelan pil pahit dalam penegakkan hukum.
Sebagaimana keadilan hukum yang harus dipertanyakan adalah kasus kabur saat karantina dan melakukan penyuapan kepada staf DPR oleh selebgram berinisial RV. Majelis hakin Pengadilan Negeri (PN) Tangerang memberikan keringanan vonis hukum RV. Hakim menilai selebgram tersebut tidak berbelit-belit dan bersikap sopan dalam sidang. “Hal yang meringankan terdakwa mengkaui terus terang perbuatannya. Terdakwa tidak terbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan. Terdakwa bersikap sopan di persidangan,” kata Hakim, Jumat (10/12/21) dikutip dari Kompas.com (11/12). Ironis, hanya karena bersikap sopan vonis hukuman bisa kena diringankan. Sementara ada seorang Ustaz, seorang ulama, sangat sopan dan tidak pernah melakukan kekerasan dituntut 2 tahun penjara karena diduga menjadi sumber kerumunan.
Ada lagi kasus peringanan korupsi, tindak pidana pencucian uang (TPPU), jaksa Pinangki yang semula 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Hal itu diputuskan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengatakan memberikan keringanan karena sudah mengaku bersalah, kemudian statusnya sebagai seorang ibu dan mempunyai anak yang harus mendapat perhatian perlindungan dan diperlakukan secara adil (CNNIndonesia.com 15/6).
Masih banyak lag kasus-kasus serupa lain yang tak berkeadilan, seperti penistaan agama oleh para tokoh yang dekat dengan penguasa, tak sama sekali diproses meskipun sudah melakukan pelaporan. Oleh karena itu, keadilan penegakkan hukum di Indonesia masih tak seimbang. Penegakkan hukum yang adil jauh dari harapan. Wajar saja, Survei Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai penegakkan hukum di Indonesia sangat buruk, yakni sebanyak 41,2% (Republika.co.id 19/8/21).
Seperti inilah jika negara mengambil landasan hukum buatan manusia. Padahal, manusia adalah makhluk yang lemah, sehingga memungkinkan adanya ketidaksempurnaan dan kelemahan dalam penegakkan hukum. Hukum dan peradilan didominasi dengan sekularisme yang melahirkan liberalisme yakni kebebasan kepada manusia untuk menegakkan hukum tanpa terikat ajaran agama. Sekularisme ini juga yang melahirkan manusia yang lemah dalam keadilan karena terikat tali kepentingan. Begitu mudah para penegak hukum melemah lantaran tergiur dengan godaan duniawi seperti harta, tahta bahkan wanita. Wajar saja, rasa takut pada Pencipta telah hilang bagi para penegak hukum negara.
Oleh karena itu, telah terbukti bahwa sistem buatan manusia sudah tidak mampu memunculkan rasa keadilan. Maka, dibutukan sistem Islam yang sudah terbukti dalam penerapannya memberikan keadilan. Karena hukum di dalam Islam berasal dari Allah Swt. kedaulatan ada di tangan syariat. Allah Swt. berfirman “… Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik” (QS. Al-An’am : 57).
Sistem Islam juga akan menciptakan para pemimpin yang beriman dan bertakwa. Sebab, keimanan dan ketakwaan inilah yang akan menghasilkan para penegak hukum yang takut pada azab Tuhan-Nya. Sehingga, tidak ada penegakkan hukum yang terjerat kepentingan, maupun godaan duniawi, semata-mata hanya menjalankan amanah dari Allah Swt. Maka, memperoleh keadilan hukum hanya jika kita menerapkan hukum Allah dalam kehidupan. Allah Swt. berfirman, “Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan (Al-Qur’an) maka merekalah para pelaku kezaliman” (TQS. Al-Maidah: 45).
Maka, kunci utama mengembalikan keadilan hukum adalah menerapkan sistem Islam. Berlaku adil juga merupakan salah satu syarat sebagai Khalifah (pemimpin). Jika berlaku zalim, maka pertanggungjawabannya ada di hadapan Allah kelak. Ketakutan semacam ini yang akan menghantarkan pemimpin dalam memutuskan perkara harus bersifat adil dalam kacamata syariat.
Selain itu, penerapan syariat Islam secara kaffah (keseluruhan) juga akan menghasilkan suasana keimanan. Sehingga memungkinkan orang yang terlibat dalam perkara baik yang dituntut maupun yang menuntut juga tidak lepas dari suasana iman dilandasi dengan ketakutan kepada Allah Swt.
Dengan demikian, fitrahnya setiap manusia menginginkan terwujud kembali keadilan secar totalitas. Keadilan yang mewujudkan cara pandang dan perlakuan yang sama pada setiap individu masyarakat, keadilan yang tak mengenal status sosial, harta, bahkan kedudukan seseorang. Supremasi hukum berkeadilan seperti ini hanya akan terwujud jika negara mengambil sistem Islam.
Wallahua'lam bishowab.