By Ummu Azka
Mahkamah Konstitusional telah mengeluarkan putusan terkait uji formil UU CIPTAKER yang ramai diperbincangkan. Dalam putusan tersebut MK menyebutkan bahwa UU no 11 tahun 2020 tentang ciptaker merupakan aturan yang inkonstitusional bersyarat.
Uji formil yang dilakukan pertama kali dalam sejarah ini pula menghasilkan keputusan yang mengawali sejarah. Pasalnya, baru kali ini MK memberi semacam perlakuan khusus kepada UU yang terbukti inkonstitusional, namun diberikan embel embel bersyarat.
Mengenai hal tersebut, Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menilai MK mencoba mengakomodasi berbagai kepentingan dan mengambil jalan tengah yang membuat putusan menjadi ambigu. Mantan Wamenkumham itu mengatakan uji formil UU Ciptaker dilakukan MK untuk menilai keabsahan prosedur pembuatan UU, bukan terkait isinya.
"Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku," ujar Denny
Pendapat senada dipaparkan oleh Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dua tahun tak lepas dari pertimbangan politik. Bivitri menilai hal itu bukan sebuah kemenangan bagi para pemohon meskipun uji formil dikabulkan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari mengungkapkan adanya kejanggalan pada putusan MK tersebut. Semestinya saat diputuskan inkonstitusional maka seluruhnya dibatalkan tanpa diberi kesempatan untuk perbaikan.
UU Ciptaker Pemukul Hak Rakyat
Seperti diketahui, UU Ciptaker menjadi ramai diperbincangkan karena banyak kejanggalan. Mulai dari awal penyusunan hingga pengesahan banyak yang menduga aturan tersebut merupakan pesanan pemilik kepentingan.
Sementara itu, putusan MK yang memberikan kebijakan inkonstitusional bersyarat adalah karena dua alasan yakni
Pertama, metode penggabungan (omnibus law) UU Ciptaker tidak jelas, apakah ia UU baru atau melakukan revisi? Kedua, tidak memegang asas keterbukaan pada publik
dan memberi tempo selama dua tahun untuk memperbaiki isinya, hal tersebut jelas merupakan tindakan inkonstitusional berikutnya.
Dalam hal ini banyak prosedur hukum yang dilangkahi, sementara mayoritas suara rakyat pun terdzalimi. Jika seperti ini, kiranya pantas jika kita bertanya : akan dibawa ke mana negeri ini jika semua ranah termasuk hukum sudah dikangkangi?
Putusan MK sekali lagi membuktikan bagaimana sulitnya rakyat berharap pada lembaga sekelas MK di ranah sistem kapitalis seperti saat ini. Lembaga puncak yang diharapkan mampu mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat, nyatanya tak ubahnya telah menjadi mantel kekuasaan dengan segala kepentingannya.
Hal tersebut berbeda jauh saat kita bercermin pada Mahkamah peradilan dalam sistem Islam. Dalam sistem peradilan Islam, kadi ada tiga, salah satunya ialah Qâdhi Mazhâlim. Qâdhi Mazhâlim adalah kadi yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kezaliman oleh negara yang menimpa setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik rakyatnya sendiri maupun bukan; baik kezaliman itu dilakukan oleh Khalifah maupun pejabat-pejabat lain, termasuk para pegawai.
Dalil yang menjadi landasan dalam masalah Peradilan Mazhâlim adalah riwayat dari Nabi saw. bahwa beliau telah menetapkan perbuatan seorang penguasa—baik berupa perintah atau bukan—yang tidak sesuai dengan arahan kebenaran ketika memutuskan perkara atau memerintah untuk rakyat adalah sebagai tindak kezaliman.
Anas menyatakan bahwa harga-harga pernah melambung tinggi pada masa Rasulullah saw. Lalu para Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, andai saja Anda mematok harga (tentu tidak melambung seperti ini).” Kemudian Nabi saw. bersabda, “Sungguh Allahlah Yang menciptakan, memegang, dan melapangkan; Yang Maha Pemberi rezeki dan Yang Menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepada dia dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta.” (HR Ahmad). (Al-Waie, 2/3/2017)
Dalam menegakkan hukum, seorang kadi hanya boleh berpedoman pada syariat Islam dalam membela kebenaran dan menghukum yang bersalah secara adil tanpa melihat apakah dia berkedudukan sebagai penguasa, pejabat, atau rakyat.
Hal ini pernah Khalifah Umar contohkan dalam menegur Gubernur Mesir Amr bin al-Ash tatkala ia menghukum putra Khalifah yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, Ibnul Jauzi meriwayatkan bahwa Amr bin al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamar terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar).
Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam ini terselenggara di sebuah lapangan umum di pusat kota. Tujuannya agar penerapan sanksi semacam ini memberikan efek jera bagi masyarakat. Namun, Amr justru menyalahinya dengan menghukum putra Khalifah di dalam rumah. Ketika informasi ini sampai kepada Khalifah Umar, beliau menegurnya melalui sepucuk surat. Setelah itu, Amr menggiring Abdurrahman ke sebuah lapangan pusat kota lalu mencambuknya di depan publik.
Dalam penerapannya hukum peradilan islam mutlak mengacu pada syariat tanpa melihat siapa yang berbuat kesalahan, apakah dari kalangan penguasa atau rakyat biasa. Pelaksanaan peradilan islam telah terbukti menghasilkan keadilan yang merata bagi seluruh rakyat. Hal itu tentu hanya bisa terwujud jika syariat islam diterapkan dalam sebuah institusi formal khilafah. Wallahu alam bishshowab. (MV)