Oleh: Nur Itsnaini Maulidia (Aktivis Dakwah)
Kekerasan seksual acap kali menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Seperti kasus pekan terakhir ini yang menjadi trending topic di tweeter. Seorang perempuan terbujur kaku di sebelah makam ayahnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan perempuan tersebut nekat mengakhiri hidupnya dengan meminum racun karena menderita secara fisik dan batin akibat perlakuan tak menyenangkan dari sang kekasih.
Dilansir dari Detiknews, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga menyatakan Novia Widyasari (23) menenggak racun karena sang kekasih Bripda Randy Bagus memaksa melakukan aborsi. Bintang menyebut kasus yang menimpa Novia termasuk dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence. Bintang menerangkan kekerasan dalam berpacaran dapat menimbulkan penderitaan secara fisik maupun seksual. Tak hanya itu, akibat yang ditimbulkan dari kekerasan dalam berpacaran itu juga dapat merampas hak seseorang baik di khalayak umum maupun sampai ke kehidupan pribadi. (m.detinews.com, 05/12/2021)
Peristiwa yang dialami oleh Novia Widyasari sungguh menyayat hati, khususnya bagi kaum perempuan. Namun yang perlu kita sadari dan amat disayangkan, kasus yang dialami oleh Novia widyasari yakni hamil diluar nikah bahkan aborsi sudah menjadi hal biasa di negeri ini. Semua berawal dari hubungan laki-laki dan perempuan yang melebihi batas pertemanan atau pacaran hingga mengantarkan pada perzinahan hingga akhirnya berujung pada penderitaan.
Kasus semacam ini memang sudah banyak terjadi. Dilansir dari CNN Indonesia terdapat 462 orang hamil di luar nikah selama pandemi di Yogyakarta (cnnindonesia.com, 30/09/2021). Ini baru di Yogyakarta, belum di kota-kota lainnya. Tentu kasus tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sudah seharusnya ada tindakan tegas agar kasus semacam ini tidak terjadi lagi. Tidak cukup hanya sekadar melahirkan peraturan tambal sulam yang justru membuka keran kebebasan makin lebar, yang pada dasarnya justru membolehkan perzinahan dengan dalih saling menyetujui. Yakni sebagaimana yang terdapat dalam Permendikbudristek No.30 2021 dan RUU PKS. Dalam Permendikbudristek no.30 2021 pada pasal 5 memuat consent dalam frasa “tanpa persetujuan korban”. Dengan kata lain, pasal tersebut menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Aturan semacam ini jelas tak akan pernah mampu menyentuh akar masalahnya. Karena merebaknya kehamilan di luar nikah sejatinya buah dari kehidupan serba bebas ala Barat atas nama liberalisasi. Ditambah lagi propaganda yang terus dideraskan para aktivis feminis dengan jargon perempuan merdeka atas diri, tubuh, dan hidupnya. Inilah akar permasalahan yang harus diselesaikan.
Dalam sistem Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur sedemikian detail agar tidak terjadi pergaulan bebas hingga perzinahan. Allah berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu (zina) suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’:32).
Dari ayat tersebut Allah SWT dengan tegas melarang manusia untuk melakukan segala perbuatan yang mendekati zina, apalagi berzina. Oleh karena itu, syariat Islam telah memberi ketentuan-ketentuan baik bagi lai-laki maupun perempuan agar terhindar dari perbuatan zina. Antara lain sebagai berikut.
1. Menundukkan pandangan (Gadhul Bashar)
Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …” (TQS an-Nūr [24] : 30-31).
2. Menutup aurat secara sempurna
Bagi perempuan, aurat adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Para wanita diperintahkan berpakaian tidak tipis dan tidak dengan model yang menampakkan bentuk tubuh. Allah SWT berfirman:
“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (TQS an-Nūr [24] : 31).
3. Tidak boleh ber-khalwat (berduaan antara laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram
“Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR. Bukhori & Muslim)
4. Tidak boleh ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan)
Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan yang telah balig wajib terikat dan menjalankan ketentuan syariat Islam ini. Negara mengambil peran utama untuk melakukan penjagaan atas hal tersebut. Yakni memastikan semua syariat terlaksanakan secara sempurna, termasuk menutup rapat akses pornografi dan pornoaksi yang bisa menjadi pemicu terjadinya perzinahan. Negara juga memberi sanksi tegas bagi pelaku sebagai tindakan preventif berupa rajam atau cambuk disertai dengan pengasingan. Dengan mekanisme seperti ini, kejadian-kejadian seperti hamil di luar nikah hingga aborsi bisa diminimalisasi. Namun syariah Islam tidak akan terlaksana secara sempurna jika tidak ada sistem yang menerapkannya sebagimana yang terjadi saat ini. Dan satu-satunya sistem yang bisa menerapkan syariat Islam secara sempurna hanya sistem Islam kaffah yang mengikuti metode kenabian. Yakni sistem Khilafah Islam yang pernah berjaya mengantarkan manusia mencapai puncak peradaban selama tiga belas abad. Wallaahu a’lam bish-shawaab.