Oleh : Ulinnuha Khoirunnisa (Mahasiswa Pegiat Literasi)
Kasus pelecehan seksual bak menggunung, satu persatu terbuka di ranah publik. Setelah kasus NWR dengan oknum polisi, aktivitas asusila ini juga menyasar oknum seorang agamis, pemilik sebuah pesantren.
Seperti yang dikutip dari kumparan.com (09/12/21), HH selaku pemilik pesantren di Bandung, sejak 2016 memaksa para santriwatinya berzina dengan dirinya, bermodal dalih 'murid harus taat pada guru' dan imbalan biaya pendidikan mereka digratiskan.
Naudzubillah, sungguh memilukan. Pesantren sebagai ikon yang melahirkan para ulama ummat justru tercoreng citranya. Hal ini sekaligus menjadi tanda bahwa bukan tidak mungkin, ada kasus serupa atau lebih mencengangkan telah terjadi di sudut yang berbeda, hanya belum tertangkap media.
MELIHAT LATAR BELAKANG
Perzinaan seakan jadi kenormalan yang dimaklumi. Inilah buah dari adanya sistem sekulerisme, yang memisahkan aturan agama dari lini kehidupan. Apabila agama hanya dijadikan sebagai sarana komunikasi Tuhan di tempat ibadah, dan tidak dijadikan standar dalam kehidupan dan bernegara, akan timbul kebebasan tak terbatas (liberalisme). Sehingga perzinahan dapat terjadi pada siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Adapun tontonan dan bacaan berunsur pornografi yang dapat diakses secara terbuka dari media, pakaian yang mempertontonkan aurat, perilaku pergaulan yang bebas, turut memicu gharizatun nau' (naluri melestarikan jenis) individu semakin besar. Apabila tak ada pemuasannya, dapat mengantarkan pada terjadinya perbuatan zina.
Sedangkan tidak dipungkiri kontrol masyarakat terbilang kurang peduli, apabila terjadi penyimpangan sosial di sekitarnya. Masyarakat mendiamkan karena penyimpangan tersebut merajalela hingga seakan dianggap normal. Ketakutan terhadap ancaman/tekanan tertentu menghalangi dari beramar ma'ruf nahi munkar.
Islam sejatinya telah menegaskan dalam Al-Qur'an perihal tindakan preventif yang bisa mengantarkan pada perbuatan seksual, baik dari sisi individu, masyarakat, maupun level negara.
Untuk pencegahan secara individu, dengan melarangnya dan memerintahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat mengantarkan pada zina. Allah berfirman dalam QS. Al Isra ayat 32 :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
" Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk"
Masyarakat pun diperintahkan untuk saling menyeru pada ketaqwaan, memerintahkan yang ma'ruf dan melarang tindakan yang Munkar. Saling peduli dan tidak acuh terhadap persoalan yang menimpa saudaranya. Seperti sabda Rasulullah SAW :
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim, no. 49]
Adapun negara sebagai support sistem, menerapkan Islam sebagai aturan kenegaraan. Aturan ini berasal dari Allah selaku pencipta manusia, bukan dari buah akal manusia.
Segala bentuk aktivitas yang memicu bangkitnya hasrat seksual dijauhkan dari masyarakat. Adapun apabila terdapat individu yang melanggar aturan ini berarti ia telah bermaksiat dan harus ditetapkan sesuai aturan Allah seperti yang tercantum dalam Q.S Annur ayat 2 :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
" Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. "
Tentunya hukuman dera ini tidak bisa diterapkan kecuali dengan adanya negara Islam yang bernama Khilafah. Khilafah telah menaungi manusia selama 13 abad dan terbukti menghilangkan perzinahan.
Maka, kita berbenah bahwa tidak cukup menghukum oknum-oknum nya saja. Apalagi hanya dengan kurungan penjara yang terbilang tak sebanding dengan traumatik para korban. Mungkin saja menghukum oknum tak kan pernah usai sebab begitu banyak nya kejadian perzinahan yang belum terungkap. Hanya dengan menerapkan Islam Kaffah-lah, segala perzinahan ini berakhir dengan jera.