Wacana Gelombang 3 COVID-19 yang Terus Menghantui

 


Oleh Nahida Ilma (Mahasiswa Kesehatan)


Pandemi ini masih jauh dari kata berakhir. Trend kenaikan kasus juga masih terus menghantui. Tak sedikit negara yang tengah menghadapi gelombang kesekian pandemi COVID-19. Namun seringkali berita-berita terkait perkembangan pandemi tertimbun dengan berita-berita yang lain. Menjadikan tak sedikit orang yang beranggapan bahwa keadaan sudah baik-baik saja. Ketidak hadiran secara penuh dari pihak berwenang juga memperkuat persepsi masyarakat. Bahwa kondisi sudah kembali membaik. 


Hampir dua tahun sudah bumi ini diselimuti pandemi COVID-19, tak heran jika warga dunia sudah mulai bosan dengan pembahasan terkait pandemi. Kelengahan yang ada menjadikan tak sedikit negara-negara besar yang kembali berjuang melawan arus gelombang pandemi. Tambal sulam kebijakan, guna menekan angka penularan dan kematian. Covid Rusia makin meledak, kasus dan kematian rekor tertinggi (CNBCIndonesia.com, 4 November 2021). China kembali harus menelan pil pahit, pasalnya wabah COVID-19 varian Delta kini tengah menyerang dan diyakini akan berkembang pesat (CNBCIndonesia.com, 2 November 2021). Kasus COVID-19 di Eropa melonjak selama 5 pekan berturut-turut (detikNews.com, 4 November 2021). 


Negara yang sempat ramai akan mengganggap Covid sebagai flu biasa pun juga mulai kewalahan. COVID-19 mengganas, nakes Singapura ramai-ramai mundur (CNBCIndonesia.com, 1 November 2021). Banyak berita mengabarkan penyebab lonjakan kasus dibeberapa negara karena rendahnya angka vaksinasi dibeberapa kelompok, kurang percayanya warga dengan pemerintah, kerumunan-kerumunan yang terbentuk ketika beraktivitas dan adanya serangan varian Delta. 


Lantas apa kabar negeri tercinta ini?


Sejatinya tidak jauh lebih baik. Meskipun data yang diberikan kepada publik menunjukkan bahwa negeri ini sedang berada pada grafik yang melandai, kekhawatiran akan serangan gelombang ketiga masih ada. Tak sedikit orang yang terus menyuarakan bahwa pandemi ini belum berakhir. Tak sedikit pula yang beranggapan bahwa negeri ini sudah kembali normal seperti sediakala. 


Beberapa hari yang lalu dikabarkan negeri ini kembali mengalami kenaikan kasus. Kasus positif COVID-19 di Tanah Air kembali bertambah. Tercatat pada 3 November 2021 bertambah 801 kasus. Sementara kemarin positif Covid-19 bertambah 612 kasus (Okezone.com, 3 November 2021). Sebelumnya juga sempat beberapa kali ramai terkait klaster-klaster sekolah tatap muka. Tak sedikit pula sekolah yang kembali melakukan daring, walaupun dalam kurun waktu ke depan akan melakukan tatap muka kembali.


Beberapa tokoh pun menyampaikan bahwa gelombang ketiga bisa menjadi suatu hal tak terhindarkan. "Kemungkinan adanya gelombang COVID-19 berikutnya adalah sebuah keniscayaan. Tinggal pertanyaanya itu kapan terjadi dan seberapa tinggi ini sangat tergantung dengan situasi yang berkembang di masyarakat," kata dr Riris Andono Ahmad, MPH, PhD, dikutip dari laman UGM (detik.com, 3 November 2021). 


Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra memprediksi Indonesia berpotensi mengalami ledakan kasus virus corona (covid-19) yang dapat terjadi secara tiba-tiba di waktu-waktu yang akan datang (CNNIndonesia.com, 3 November 2021). 


Dampak pandemi yang merebak pada seluruh aspek kehidupan masih belum membaik, disusul kekhawatiran akan gelombang ketiga yang semakin kuat. Seperti tidak ada lagi jalan keluar yang tepat selain beradaptasi dengan teman baru ini yang tentunya penuh dengan risiko. Rasa-rasanya sudah tidak ada lagi wilayah yang aman, karena virus ini sudah merebak begitu luas.


Ketika ditelisik lebih dalam sembari flashback dimasa-masa awal pandemi, akan ditemukan bahwa merebaknya pandemi ini tidak lain tidak bukan adalah karena penanganan yang tidak tepat ketika berada di titik awal. Sikap-sikap meremehkan, tidak segera memencet tombol darurat, penanganan yang kurang cepat dan tanggap.


Kebijakan yang tidak dihadirkan sepenuh hati sebagi rasa tanggungjawab memanglah akan selalu memberikan pengaruh negatif. Sistem yang ada sekarang menjadikan mindset yang tertanam pada diri pihak berwenang bukanlah mindset pemimpin sejati. Sistem kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai prioritas utama. Mindset jual beli pun tertanam dengan kuat, termasuk dalam urusan memerintah negara. Ketika kebijakan itu dirasa menguntungkan, maka akan diupayakan dengan sepenuh hati, berlaku juga sebaliknya. Pandemi yang justru menghabiskan banyak uang negara untuk biaya kesehatan, pemasukan negara berkurang dan berbagai hal lain yang dinilai tidak mengdatangkan keuntungan bagi pihak berwenang. Merebaknya pandemi ini juga merupakan akibat dari tidak diterapkannya Syariat Islam. Islam sudah memberikan contoh melalui kisah Khalifah Umar terkait penanganan wabah penyakit. Pengambilan kebijakan yang tepat di titik awal menjadi kunci penting dalam memprediki durasi wabah. 


Lantas bagaimana Islam menyolusikan pandemi ini ketika sudah merata ke seluruh dunia seperti sekarang?


Tentu saja lockdown tetap menjadi pilihan pertama dalam penanganan wabah. Seruan untuk isolasi ini dilengkapi dengan jaminan ekonomi untuk setiap masyarakat yang terdampak. Dengan perencaan dan berbagai pertimbangan maka lockdown yang ditetapkan adalah lockdown yang bertarget. Tidak serta merta memberhentikan aktivitas, tetapi juga ditopang dengan segala hal yang dapat mempercepat berakhirnya wabah. Tes masal juga dilakukan untuk memisahkan yang sakit dan yang sehat. Konsultasi dengan para tenaga ahli kesehatan terus dilakukan untuk menetapkan kebijakan selanjutnya, apakah cukup dengan protokol kesehatan atau masih harus dilakukan lockdown.


Khalifah akan mengerahkan seluruh tenaganya demi kemaslahatan masyarakat. Karena mereka tau bahwa seluruh tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Mindset bahwa pemimpin adalah pelindung rakyatnya tertanam dengan kuat. Aqidah yang telah mengkristal dalam diri menghadirkan kesadaran penuh bahwa posisi pemimpin adalah sebuah amanah.


Wallahu a’lam bi ash-Showab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم