Penulis: Miratul Hasanah (Pemerhati Masalah Kebijakan Publik)
Perubahan iklim saat ini dianggap sebagai bom waktu terjadinya kiamat ekologis, sehingga COP26 dianggap sangat urgen untuk menarik komitmen semua pihak dan negara-negara dalam rangka menurunkan emisi karbon, termasuk deforestasi. Ini adalah bagian proyek lanjutan untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global dan kerusakan iklim yang semakin parah dari tahun ke tahun. Di hampir seluruh dunia terkena dampak bencana ekologis tersebut. Banjir bandang, tanah longsor, gunung meletus dan gempa bumi terus melanda kawasan Eropa, Afrika hingga Asia tidak terkecuali Indonesia yang sering mengalami bencana banjir bandang, hingga tanah longsor.
Sejumlah video dan foto yang memperlihatkan hujan lebat dan banjir bandang melanda Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Video tersebut merupakan video asli yang diambil untuk memperlihatkan fakta banjir bandang di Batu Malang, Jawa Timur pada Kamis (4/11/2021) (Compas.com).
Bencana hidrometeorologi yang juga menjadi sorotan dua hari terakhir ini adalah kejadian banjir bandang di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu-Malang, Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil analisis cuaca BMKG, curah hujan yang terjadi di wilayah Kota Batu-Malang pada tanggal 04 November 2021 termasuk kategori sangat lebat dengan intensitas curah hujan mencapai 80,3 mm yang terjadi dalam periode sekitar 2 jam (pengukuran jam 13.55 - 16.05 WIB).
Saat banjir bandang terjadi di Batu Malang, hasil analisis citra satelit dan radar cuaca juga menunjukkan adanya pertumbuhan awan hujan Cumulonimbus (Cb) yang cukup intens dengan sebaran potensi hujan lebat hingga sangat lebat di wilayah Kota Batu Malang.
Hingga hari ini solusi yang ditawarkan oleh organisasi internasional seperti COP26 belum juga membawa pada perbaikan kondisi iklim dunia dan tidak jua menemukan titik temu yakni terselesaikannya problem emisi karbon maupun deforestasi yang terus digaungkan oleh negara-negara maju?
Deforestasi dengan konversi lahan menjadi faktor terbesar pemicu banjir bandang di daerah hulu Sungai. Misalnya saja perkebunan sawit yang bernilai ekonomis, tetapi nilai ekologisnya berbeda dengan pohon-pohon hutan lainnya yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) dari terjadinya erosi, longsor, dan menghambat terjadinya sedimentasi DAS. Deforestasi dengan mengalihfungsikan lahan hutan menjadi nonhutan adalah satu dari sekian faktor penyebab bencana banjir bandang dan tanah longsor.
Buah dari Ekonomi Neoliberal
Tidak adanya komitmen negara-negara maju penghasil karbon terbesar untuk mengurangi emisi karbon dan efek rumah kaca menjadi pemicu perubahan iklim ekstrim serta menjadi penyebab dari pembangunan pabrik-pabrik raksasa yang terus saja memproduksi emisi karbon yang semakin hari semakin menambah panas bumi, begitu juga arogansi dari para korporatokrasi yang terus melakukan deforestasi tanpa peduli implikasi jangka panjangnya. Dan yang lebih miris lagi, banyak fakta menunjukkan bahwa masing-masing negara punya kepentingan untuk terus mengembangkan produksinya sebagai watak dari liberalisasi ekonomi negara maju. Ambisi perekonomian tersebut telah mengantarkan pada bahaya ekologis secara berkesinambungan.
Sistem kerja korporatokrasi telah menjadikan poros kerja pemangku kebijakan pada terakomodasinya kepentingan pengusaha, bukan terselesaikannya urusan rakyatnya. Oleh karenanya, lobi pengusaha sering kali terdengar jelas daripada teriakan warga yang terdampak akibat pembangunan yang tidak bermanfaat buat mereka. Inilah pembangunan yang kapitalistik. Tata ruang bukan berdasarkan maslahat bagi rakyat, tetapi pada yang korporasi inginkan.
Solusi Islam Mengatasi Krisis Iklim dan Penyelamatan Alam
Allah SWT berfirman:"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".(Qs.Arrum:41)
Berbagai kerusakan telah nyata mengancam bumi. Ulah rakus para kapital telah menyebabkan bumi ini pada kehancuran jika tidak segera dilakukan perbaikan tata kelola industri maupun tata ruang kota yang ramah lingkungan. Sungguh Allah SWT telah menganugerahkan bumi dan seluruh isinya dalam rangka untuk dimanfaatkan bukan untuk dirusak.
Islam sebagai sebuah sistem yang sempurna telah memberikan penjelasan yang gamblang terkait sistem kepemilikan,seperti pada sabda Rasulullah saw:“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Adapun pembangunan infrastruktur adalah untuk kemaslahatan umat,sehingga lahan perkebunan dan persawahan milik rakyat—sebagai sumber penghasilan—akan benar-benar terjaga. Jika harus membangun seperti rumah sakit atau sekolah, negara akan menggantinya dengan sepadan, tidak akan ada polemik pembebasan lahan yang marak terjadi saat ini. Negara akan sangat memperhatikan betul hak rakyatnya. Pembangunan objek wisatanya dalam rangka mendekatkan manusia pada keindahan alam semesta, maka pembangunannya juga tidak akan membawa keburukan pada alam ataupun manusia.
Dengan demikian, kerusakan alam, baik itu deforestasi dan juga pembangunan ala kapitalistik yang menyebabkan bencana banjir bandang dan tanah longsor, hanya akan bisa terhenti ketika tata kelola negara ini berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunah. Walhasil, umat akan menemui kemuliaan dan kesejahteraannya. []