Kala Pelayanan Kesehatan Dikomersilkan



Oleh : Gien Rizuka


Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat saat ini. Pasalnya, rakyat saat ini semakin stres dengan keadaan yang notabene diakibatkan oleh ulah tangan-tangan pemangku kebijakan. Di saat rakyat susah, pemerintah justru menjadikan rakyat sebagai lahan konsumen untuk membeli sesuatu yang harusnya diberikan pemerintah secara cuma-cuma.


Salah satunya tes PCR yang pekan lalu harganya sempat membuat sebagian masyarakat mengerutkan dahi. Terlebih bagi masyarakat yang berekonomi kelas menengah dan bawah. Namun akhirnya, harga menurun seiring terciumnya isu. Isu bahwa tes PCR ini dijadikan bisnis oleh salah satu penyokong kekuasaan. Dari 1 jutaan menjadi ratusan ribu, meskipun harganya masih dinilai terkategori mahal bagi sebagian masyarakat. 


Di sisi lain, turunnya harga tes PCR menuai kegalauan pengusaha tes PCR. Pasalnya, harga yang diturunkan pemerintah memberatkan pelaku usaha kesehatan. Karena menurut pengusaha laboratorium Dyah Anggraeni, harga reagen open sistem saja sudah mencapai Rp.96.000. Itu berati harga PCR harus lebih dari Rp.300.000, tambahnya (Kumparan.com, 13/11/21).

 

Meski begitu, pihaknya tetap melayani tes PCR dengan efisiensi dan subsidi silang dari layanan tes lainnya. “Efisiensi kita lakukan di mana-mana, untuk SDM yang bisa dikurangi itu petugas swab, tapi yang ada di lab itu tetap,” kata Dyah, CEO Cito Clinical Laboratory.


Ketimpangan dalam menentukan harga ini juga memancing suara Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randy H Teguh, yang menyarankan agar pemerintah dapat bekerja sama menentukan harga PCR untuk membantu rakyat menghadapi pandemi. 


“Kami berharap bisa membantu pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19, sehingga sama-sama bisa membantu masyarakat,” kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Komite Tetap Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu.


Sayangnya, saran Randy ini bakal terindikasi dikesampingkan oleh pihak pemerintah. Karena faktanya, selama ini yang dipikirkan para penguasa hanyalah bagaimana mereka dapat melajukan ekonomi bagi mereka sendiri dan kelompoknya.


Ini terjadi karena negara masih dikendalikan tabiat sistem bebas (Demokrasi) yang disertai sistem Kapitalisme. Sistem manusia yang membolehkan manusia melakukan apa pun untuk mencapai kebahagiaan materi. Karena bagi Kapitalisme, standar kebahagiaan manusia dilihat bagaimana mereka memiliki uang sebanyak-banyaknya sebagai alat tukar untuk memiliki apa pun yang diinginkan. Terlepas itu perkara boleh ataupun dilarang dalam hukum syara'. 


Asalkan mereka dapat meraihnya, mereka tidak peduli akan prosesnya yang menyengsarakan rakyat dan membingungkan sebagian kalangan. Sebagaimana kebijakan dalam menentukan harga PCR hari ini yang memang menjadi polemik karena harganya mahal bagi rakyat sebaliknya, justru menimbulkan kegalauan bagi nakes sebagai pelayan masyarakat.


Parahnya, menurut negara yang bersistemkan Demokrasi dan Kapitalisme rakyat hanya dipandang sebagai benalu, namun di sisi lain bisa dimanfaatkan untuk dijadikan lahan bisnis. Maka, tidak heran hingga detik ini negara berlepas tangan memberi pelayanan secara gratis. Karena bila pelayanan digratiskan, maka tidak ada peluang bagi penguasa untuk mengeksploitasinya.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم