By Ummu Azka
Penghujan menyapa, nusantara berduka. Sejatinya ungkapan tersebut tidak identik dengan negeri ini. Namun apa mau dikata, fakta yang terjadi demikian adanya. Setiap musim hujan, bencana alam di mana-mana. Banjir, longsor menjadi langganan beberapa daerah di Indonesia.
Contohnya adalah banjir bandang di daerah Sukaresmi, Kabupaten Garut provinsi Jawa Barat. Banjir bandang tersebut menimpa dua desa yakni Sukalilah dan Sukajaya. Dua rumah rusak berat dan tiga rumah lainnya terendam lumpur setinggi 30 sentimeter.
Penyebab banjir disinyalir karena kerusakan hutan. Sekretaris Daerah Garut , Nurdin Yana mengatakan : "Ada penggundulan hutan di situ, mau tidak mau harus dilakukan reboisasi, termasuk nanti penetapan tata letak betul, harus dengan kajian lingkungan. (bukan hanya di bagian hulu) sebetulnya di bawah juga ada yang rusak, akumulasi. Tapi poinnya adalah bagaimana kita menumbuhkan kembali (pohon tegakan), poinnya di situ", Minggu (7/11).
Menurutnya setiap banjir bandang yang terjadi selalu berkaitan dengan kondisi hutan yang rusak. Debit air yang meningkat saat musim hujan akan jatuh ke pemukiman karena tidak ada lagi akar pohon di hutan yang menahannya.
Kejadian serupa terjadi wilayah Kalimantan Barat. Banjir terjadi hampir setiap musim hujan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan.
"Perubahan atau konversi lahan, menyebabkan jenis tutupan lahan berubah, hal ini juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan daerah aliran sungai (DAS), sehingga hidrografi aliran pada DAS tersebut berubah menjadi tidak baik," kata Ahli Teknik Sumber Daya Air Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Prof. Dr. Henny Herawati di Pontianak, Minggu (7/11). Seperti dikutip dari Antara.
Banjir memang bukan hal baru di negeri ini. Sebut saja, wilayah Ibukota DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Tanggerang dan wilayah sekitarnya telah dikenal sebagai daerah langganan banjir. Padatnya penduduk dan semakin minimnya daerah resapan air membuat ibukota dan wilayah satelitnya harus waspada saat musim hujan tiba.
Namun menjadi ironis, manakala kini daerah yang terkena banjir tak hanya wilayah Ibukota dan sekitarnya. Kalimantan, Sumatera, Garut, menjadi contoh bahwa kini banjir tak hanya menjadi bulan bulanan warga ibukota.
Polemik banjir yang berulang setiap tahunnya mengakibatkan jatuhnya kerugian secara materil dan juga moril di Masyarakat. Kerusakan tempat tinggal mulai yang ringan hingga berat tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Di tengah paceklik ekonomi yang mendera, banjir tentu menjadi pukulan kedua yang membuat masyarakat semakin menderita.
Meningkatnya daerah terdampak banjir setiap tahun menjadi alarm bahwa terdapat kesalahan besar juga mendasar pada sistem pembangunan di negeri ini. Harus diakui bahwa pembangunan yang terjadi selama ini masih sebatas "money oriented" dan minim perhatian terhadap dampak lingkungan.
Contohnya, pembangunan gedung dan pusat perbelanjaan di Jakarta banyak yang menempati wilayah resapan air. Sehingga air tak lagi mendapatkan haknya untuk terserap oleh bumi.
Contoh lainnya, banjir di Kalimantan dan Garut adalah karena penggundulan hutan untuk kepentingan infrastruktur. Sementara itu tak ada alternatif yang disediakan bagi air untuk lewat dan terserap. Sangat logis jika kemudian saat musim hujan, banjir selalu terjadi menyapu pemukiman dan menenggelamkan fasilitas umum.
Dengan kata lain, bencana banjir yang terjadi di negeri ini adalah karena kedzaliman manusia itu sendiri.
Allah SWT berfirman dalam QS Arrum 41 yang artinya :
" Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) "
Peringatan dalam quran telah jelas menerangkan bahwa manusia yang mengakibatkan kerusakan di darat dan laut. Begitulah sejatinya saat manusia melakukan riayah pembangunan di atas sistem kapitalistik. Pembangunan yang dijalankan untuk meraih keuntungan sementara keselematan rakyat dinomorduakan.
Sudah saatnya sebagai umat Islam kita menyadari bahwa Allah telah menurunkan sebuah aturan lengkap tentang kehidupan, termasuk di dalamnya aturan terkait pembangunan. Dalam Islam, pembangunan hendaknya dilakukan tanpa kedzaliman. Tata kelola kota dilakukan atas landasan kemashlahatan rakyat, bukan keberpihakan kepada elit pengusaha.
Dalam sejarah kekuasaan Islam, para Khalifah telah mencontohkan bagaimana pembangunan kota dilakukan secara apik dan terencana. Khalifah Al-Mansyur misalnya, saat memulaikekuasaan dinasti Abbasiyah, beliau membangun ibu kota baru yang bernama Baghdad. Pembangunan yang dimulai pada tahun 762 Masehi selesai dalam tempo tiga tahun. Dalam waktu 20 tahun, Baghdad menjadi kota terbesar di dunia Islam.
Seorang ahli geografi Arab, Ya'qubi menggambarkan bahwa Baghdad memiliki 6.000 jalan dan lorong. Selain itu, terdapat sekitar 3.000 masjid serta 10 ribu pemandian umum.
Sementara itu di semenanjung Eropa tepatnya wilayah Cordoba, Dinasti Abbasiyah membangun banyak fasilitas, mulai dari rumah sakit, ratusan masjid hingga perpustakaan terbesar kala itu. Kemajuan Cordoba saat itu bahkan disebut hampir menyaingi pembangunan di Baghdad sebagai ibukota.
Menariknya, dari sekian banyak pembangunan yang dilakukan oleh Khalifah, tak satupun darinya luput dari persiapan dan perencanaan yang baik dari segi tata ruang serta pengairan. Sungai Tigris dan Eufrat sebagai wilayah perairan yang strategis di Baghdad dikelola dengan baik, melalui pembangunan jaringan air serta adanya sanitasi yang merata dan baik di semua sudut kota. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa pembangunan tak mendzalimi lingkungan terlebih rakyat yang tinggal di dalamnya.
Semuanya bisa terlaksana dengan supporting sistem yang mumpuni, yakni diterapkannya Islam secara kafaah dalam sebuah institusi khilafah. Integrasi dari sistem yang baik akan menghasilkan pembangunan yang baik dan paripurna di segala bidang kehidupan. Wallahu alam bishshowab.[]