Oleh: Erna Ummu Azizah
Dalam mengantisipasi adanya gelombang peningkatan kasus Covid-19 menjelang libur Natal dan tahun baru, Pemerintah akan melakukan pengetatan syarat perjalanan dengan tes PCR yang secara bertahap akan diterapkan pada semua moda transportasi, baik udara, darat, laut, maupun penyeberangan.
Sebelumnya, kewajiban tes PCR hanya berlaku untuk penumpang moda transportasi angkutan udara rute intra-Jawa dan Bali. Dimana dengan pemberlakuan tes PCR ini Pemerintah mengizinkan pesawat mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh atau 100 persen. (Kompas, 21/10/2021)
Kebijakan ini menjadi 'lampu hijau' bagi pebisnis maskapai penerbangan dan 'angin segar' bagi pengusaha penyedia jasa PCR. Namun bagi masyarakat, hal ini justru menyusahkan dan memberatkan. Tentu saja, karena biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penumpang mencapai ratusan ribu rupiah. Bahkan, untuk rute pesawat ada yang biaya PCR-nya sama dengan harga tiket pesawat. Astaghfirullah..
Kebijakan PCR inipun akhirnya menuai banyak kritik dari masyarakat. Sebagai respons atas kritikan tersebut, pemerintah berencana akan menurunkan harga batas atas menjadi Rp 300 ribu dari sebelumnya Rp 495 ribu. Masa berlaku PCR pun menjadi lebih panjang dari 2x24 jam menjadi 3x24 jam. (Tempo, 25/10/2021)
Sejatinya tes PCR ini merupakan tanggung jawab negara yang semestinya tidak dibebankan pada rakyat. Di tengah pandemi seperti saat ini, sudah cukup rakyat menanggung beban ekonomi yang berat. Jangan sampai kebijakan pemerintah yang seolah 'tulus' untuk kebaikan rakyat, namun terselubung motif 'pulus' yang menjerat.
Inilah potret buram kebijakan penguasa bercorak kapitalistik. Dimana keuntungan segelintir elit pemilik modal lebih diutamakan dibanding keselamatan rakyat sendiri. Hubungan antara penguasa dan rakyat yang seharusnya seperti pelayan dan yang dilayani, justru tak ubahnya ibarat penjual dan pembeli. Yang dipikirkan penguasa hanya ekonomi dan untung rugi.
Padahal amanah menjadi penguasa itu berat pertanggungjawabannya di dunia dan akhirat. Maka benarlah yang Islam ajarkan bahwa penguasa wajib meriayah (mengurus) rakyatnya dengan tulus dan bersungguh-sungguh. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Imam (pemimpin) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
Disadari atau tidak, berbagai problematika yang terjadi saat ini adalah efek diterapkannya sistem kapitalisme dengan asasnya manfaat dan materi. Sehingga tak heran jika kehidupan sehari-hari hingga kebijakan penguasa negeri terwarnai unsur untung rugi. Tak peduli meski rakyatnya kesulitan dan terzalimi.
Sedangkan tuntunan Syariat yang sejatinya mampu mewujudkan kebaikan dan rahmat, justru dicampakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)
Maka, sudah saatnya kita campakkan sistem kapitalisme, dan bersegera kembali kepada sistem Islam, dimana Syariat-Nya yang kaffah (menyeluruh) mampu mewujudkan keberkahan dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Sehingga setiap kebijakan penguasanya pun benar-benar tulus tanpa ada unsur pulus apalagi modus. Wallahu a'lam.[]