Santri Mengembalikan Kewibawaan Negeri, Tidak Cukup Sekedar Ngaji




Endah Sulistiowati

Dir. Muslimah Voice


Hari Santri 2021 diperingati pada hari ini, Jumat, 22 Oktober dengan mengusung tema, yakni Santri Siaga Jiwa dan Raga. Menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Choumas, tema tersebut merupakan komitmen seumur hidup santri untuk membela Tanah Air.


Bahkan, kata Yaqut, maknanya sebagai pernyataan sikap santri untuk selalu siap siapa menyerahkan jiwa dan raga untuk membela Tanah Air.“Ini sebagai bentuk pernyataan sikap santri Indonesia agar selalu siap siaga menyerahkan jiwa dan raga untuk membela Tanah Air, mempertahankan persatuan Indonesia, dan mewujudkan perdamaian dunia," kata Menag Yaqut dikutip dalam laman resmi Kemenag, CNN, Jumat (22/10/2021).


Jargon yang diusung cukup menyentuh, namun sayangnya Pesantren saat ini tengah menjadi sorotan dan pembahasan dikarenakan Undang-undang Pesantren yang tengah digulirkan. Padahal sudah terbukti dalam sejarah bagaimana Pesantren dan santri menjadi terdepan dalam membela negeri. 


Menelisik Hari Santri, Kenapa Diperingati Tanggal 22 Oktober?


Menilik catatan sejarah, ternyata tanggal tersebut memiliki kaitan langsung dengan peristiwa paling bersejarah ketika bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Peristiwa tersebut adalah deklarasi Resolusi Jihad yang dilakukan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945.


Pada hari itu, KH Hasyim Asy’ari menyerukan untuk ikut berjuang mencegah tentara Belanda kembali menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada santrinya bahwa perjuangan membela Tanah Air merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.


Resolusi Jihad Punya Pengaruh Besar Dalam Sejarah Pengusiran Penjajah Dari Tanah Nusantara


Pemuda Sutomo alias Bung Tomo bahkan diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Bung Tomo dikenal sebagai orator dalam Pertempuran 10 November 1945 yang membakar semangat arek-arek Surabaya, salah satunya dengan pekikan "Allahu Akbar"-nya. 


Setelah pertempuran 10 November 1945 berlalu, Resolusi Jihad terus disuarakan. Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, seperti disebut di buku Jihad Membela Nusantara: Nahdlatul Ulama Menghadapi Islam Radikal dan Neo-Liberalisme (2007), Kiai Hasyim Asy'ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar.


 “Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” kata Kiai Hasyim. Jadi syarat tegaknya syariat Islam adalah kemerdekaan dari penjajah asing. Eksistensi penjajah dianggap Kiai Hasyim akan menyulitkan penegakan syariat Islam.


Indonesia saat ini masih menyandang sebagai negeri muslim terbesar di dunia, 80% dari 260 juta jiwa beragama Islam. Sebelum penjajah masuk ke negeri ini, ratusan tahun Islam telah masuk di bumi Nusantara. Islam yang begitu rasional dan menentramkan jiwa, sungguh membuat rakyat Nusantara pada saat itu berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam. 


Masuknya negara Eropa adalah pintu terjadi porak-porandanya kehidupan Islam di Indonesia. Dari Aceh diujung Barat Hingga Makasar dan Buton diujung Timur serentak jihad dikumandangkan oleh para Sultan untuk mengusir penjajah hingga syahid, bukan semata-mata mempertahankan tanah air tapi juga untuk menjaga kemurnian aqidah dan syariat. Sebagai yang tertuang dalam film Jejak Khilafah di Nusantara 2 yang diselenggarakan hari Rabu, 20 Oktober 2021 lalu. 


Sehingga ketika para ulama menyerukan Resolusi Jihad dalam melawan penjajah menjadi hal yang lumrah. Cita-cita syahid yang mengakar di dada telah memutus urat takut para santri maju ke medan perang. 


Saat ini, dalam kondisi apapun, jihad tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam. Karena sejarah telah membuktikan Resolusi Jihad melawan penjajah di kancah peperangan mampu mengusir mereka dari bumi Nusantara. Dan berawal dari Resolusi Jihad itulah Hari Santri Nasional ditetapkan jatuh pada tanggal 22 Oktober.


Sehingga jika para santri benar-benar bercita-cita mengembalikan Kewibawaan negeri, maka tidak cukup hanya dengan ngaji, dan berdiam diri saja. Harus ada aksi untuk mewujudkannya, berdakwah, menyadarkan umat. Bahwa penjajah tengah berevolusi, menembus kulit bahkan mengalir mengikuti arus darah.  Astaghfirullah. Sehingga butuh energi ekstra untuk membersihkannya dan mengembalikan kemurniannya.  Wallahu'alam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم