Oleh Nur Rahmawati, S.Pd
Kementerian Pendidikan Kebudayaaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat sebanyak 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19 selama pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Data ini dilansir dari survei yang dipublikasi di situs kemendikbud. (Detikedu.com, 23/9/2021)
Dirjen PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Jumeri mengatakan, Kementerian Kesehatan masih mengupayakan aktivitas PTM terbatas yang aman. “Kami juga akan terus menyampaikan pembaruan data secara transparan untuk kesuksesan PTM Terbatas, mengingat bahwa pembelajaran jarak jauh berkepanjangan dapat berdampak negatif bisa menyebabkan anak-anak Indonesia sulit mengejar ketinggalan,” kata Jumeri dalam keterangan tertulis, Rabu (22/9/2021)
Pembelajaran jarak jauh yang sudah terlaksana lebih dari satu tahun lamanya, menyisakan polemik bagi berbagai pihak. Baik bagi perangkat sekolah, juga orang tua yang mau tidak mau akhirnya harus turun tangan membantu kegiatan belajar anaknya. Tidak hanya itu, di sejumlah daerah karena terbatasnya koneksi internet yang akhirnya mengharuskan para mahasiswa melakukan berbagai usaha demi bisa mengikuti pembelajaran, tak jarang ada saja yang harus memanjat genteng atau pohon yang berakhir hilangnya nyawa, entah itu karena tersengat listrik atau jatuh dari ketinggian tertentu. Belum lagi, banyak anak yang tidak bisa mengikuti pembelajaran karena tidak punya perangkatnya. Beli pun tak mampu, karena tak ada biaya. Kompleks memang.
Atas kondisi ini, Mendikbudriset Nadiem Makarim memutuskan untuk membuka pembelajaran tatap muka terbatas. Walaupun setelah berjalan, klaster sekolah bermunculam. Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, sekolah tatap muka tidak akan dihentikan. Ia menambahkan, sekolah yang menjadi klaster Covid-19 saja yang ditutup hingga kembali aman untuk PTM terbatas. “Tidak, tidak (dihentikan), PTM terbatas masih dilanjutkan, prokes harus dikuatkan dan sekolah-sekolah dimana ada situasi seperti itu harus ditutup segera sampai aman," kata Nadiem di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis ( 23/9/2021).
Kondisi seperti ini dapat teratasi apabila negara serius menyelesaikan problem pembelajaran di masa pandemi. Namun hal ini tak cukup dengan keputusan PTM dan mengimbau peningkatan prokes saja. Tetapi juga negara seharusnya benar-benar hadir memastikan terlaksananya prokes dan PTM secara optimal. Mana saja sekolah yang sudah memenuhi standar dan mana sekolah yang belum memenuhi standar dashboard kesiapan belajar dengan sejumlah variabel seperti ketersediaan sarana kebersihan dan ketersedian fasilitas kesehatan.
Imbauan penetapan standar sekolah layak PTM, standar prokes, SDM satgas Covid dan pelajar saat pandemi hanya menunjukkan lepas tangan negara dari posisi penanggung jawab menjadi sekadar regulator. Jika PTM mau tidak mau harus terlaksana, negara harus punya strategi terarah, bukan sekadar memberi panduan lalu lepas tangan begitu saja dan memasrahkan kepada sekolah dan kepala daerah setempat. Namun diadakan pula sosialisasi, validasi pemetaan zona merah, kuning, hijau dan memfasilitasi seluruh perangkat fasilitas dan tambahan SDM yang dibutuhkan dalam penerapan protokol kesehatan serta melakukan pengawasan dan pengontrolan secara ketat.
Dalam memfasilitasi seluruh perangkat tentunya membutuhkan dana karena negara harus menjamin setiap sekolah memiliki sarana dan prasarana yang memadai agar protokol kesehatan terpenuhi dengan sempurna. Negara bisa menganggarkan biaya untuk kebutuhan layanan pendidikan dengan PTM terbatas protokol Covid secara maksimal dan sepenuh hati. Karena ini adalah kewajiban mutlak negara yang saat ini sangat mendesak diwujudkan. Anggaran yang tak mendesak seperti proyek-proyek KEK dan sejumlah proyek lainnya lebih baik dialihkan untuk kebutuhan pendidikan agar PTM dapat berjalan secara optimal sesuai protokol kesehatan.
Seperti inilah seharusnya bentuk tanggung jawab negara, berani menetapkan kebijakan, berarti berani pula mengambil risiko dan segala konsekuensinya. Karena menjaga keselamatan, kesehatan dan keberlangsungan pendidikan adalah kewajiban negara sebagai pengurus rakyat. Namun dalam sistem Kapitalis, fungsi negara sebagai pengurus rakyat tak terlaksana. Sistem Kapitalisme berhasil mencetak negara yang abai, yang menimbang segala sesuatunya berdasarkan aspek untung rugi. Sehingga, jika tak ada benefitnya, bahkan cenderung merugikan atas kebijakan yang diambil, maka tak akan diambil. Walaupun, rakyat yang terkorbankan.
Secara diametral, sikap ini berbeda dengan negara yang menerapkan Islam sebagai sistem kepemimpinannya. Fungsi dasar negara sebagai ri’ayah syu’unil ummah akan berusaha semaksimal mungkin melaksanakan maqashid syari’ah agar tercapai kemaslahatan manusia sesuai syariat Islam. Salah satu maqashid syari’ah dalam konteks ini, yakni hifdzun an-nas (menjaga jiwa manusia). Salah satu bentuk penjagaan ini akan terlaksana secara optimal, jika negara punya paradigma yang utuh tentang ini. Dan itu semua hanya bisa dilaksanakan oleh sistem Islam yang diterapkan dalam institusi negara. “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]