Penulis : Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam berlimpah ruah. Hutan tropis yang lebat memiliki beraneka ragam flora dan fauna. Laut yang luas dengan beragam satwa dan terumbu karang yang indah. Selain itu, ketersediaan barang tambang di negeri berjuluk zamrud khatulistiwa ini juga melimpah. Negeri yang sangat indah dan kaya. Keelokan dan kekayaan negeri inilah yang akhirnya menjadi incaran pihak swasta dan negara asing di sekitar Indonesia.
Sangat disayangkan, kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan penduduk. Angka kemiskinan di negeri ini masih cukup tinggi. Walaupun ada penurunan jumlah dari tahun lalu, namun bukankah angka kemiskinan itu dihitung berdasarkan masing-masing individu rakyat. Selama masih ada individu rakyat yang miskin atau belum bisa mencukupi kebutuhan pokok maka bisa dikatakan penguasa belum berhasil mensejahterakan rakyat.
Tidak berimbasnya melimpahnya kekayaan alam dengan kesejahteraan penduduk disebabkan pengelolaannya yang diserahkan pada pihak swasta baik domestik maupun asing. Pemangku kebijakan negeri ini dengan bangganya menawarkan investasi terhadap pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Pesona sumber daya alam yang melimpah tentu menarik daya pikat para investor utamanya pihak swasta asing. Para konglomerasi bisnis saling berebut untuk memperoleh kesempatan bermain mendulang "emas". Negeri yang tergadaikan.
Salah satu yang memiliki daya tarik bagi para konglomerasi bisnis adalah gunung emas Grasberg di Kabupaten Mimika, Papua. Sejak tahun 1967 sampai saat ini PT Freeport menguasai pengelolaan tambang emas di Papua tersebut.
Selain gunung emas Grasberg, ternyata ada juga Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya yang memiliki kandungan emas cukup besar. Potensi sumber daya emas di Blok Wabu diperkirakan mencapai 8,1 juta troy ounce. Blok Wabu ini berada tak jauh dari area tambang milik PT Freeport Indonesia. Sebenarnya Blok Wabu sempat masuk juga dalam area konsesi Freeport Indonesia, tepatnya bagian dari blok B dalam kontrak karya yang didapat perusahaan tersebut sejak tahun 1991. Namun, sebelum tahun 2018 PT Freeport Indonesia telah melepas Blok Wabu kepada pemerintah. Pemerintah baru secara resmi menyatakan hal tersebut dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 21 Desember 2018. (money.kompas.com, 23/9/2021)
Konflik Blok Wabu itu terjadi karena pengelolaan sudah diserahkan ke pemerintah, namun disinyalir ada peran para oligarki yang berkuasa di sana. Money for power dan power for money.
Salah Tata Kelola
Sumber daya alam di Indonesia, dalam hal ini emas di Papua, mengalami tata kelola yang salah. Penguasa menyerahkan pengelolaan pada pihak swasta. Sedangkan pemerintah sendiri hanyalah mendapat sebagian kecil. Akibatnya, melimpahnya kekayaan alam Indonesia berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang masih jauh dari sejahtera.
Sistem kapitalisme yang dianut negeri ini menjamin empat kebebasan, salah satunya kebebasan berkepemilikan. Siapapun boleh memiliki termasuk kekayaan alam asalkan memiliki modal besar. Padahal kekayaan alam merupakan kepemilikan umum yang semestinya dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah menawarkan investasi ke pihak swasta layaknya pedagang. Negara korporasi lebih tepat menjadi sebutan baru untuk negara ini.
Jika pengelolaan kekayaan alam negeri ini terus diserahkan kepada pihak swasta dan swasta asing maka sangat berbahaya. Pasalnya, pihak swasta tidak hanya berinvestasi dan mengeruk beraneka sumber daya alam. Namun, investasi itu selalu sepaket dengan penetapan kebijakan di negeri ini yang dengan mudahnya disetir para konglomerasi bisnis. Itulah yang menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seringkali tak berpihak pada rakyat. Rakyat dibuat semakin tercekik, sedangkan para konglomerasi bisnis semakin gendut dan makmur.
Tata kelola sumber daya alam yang salah juga mengakibatkan negara kehilangan sumber penerimaan. Negeri ini menggantungkan sebagian besar sumber penerimaan dari sektor pajak. Sedangkan hasil dari kekayaan alam tidaklah seberapa sebab pengelolaan diserahkan pada pihak swasta asing. Ibaratnya, negara sibuk mencari recehan namun melepaskan emas. Itulah sebabnya utang Indonesia kian membumbung tinggi dan nampak mustahil bisa dibayar jika tetap memakai sistem kapitalisme dalam mengatur perekonomian.
Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Islam
Dari sudut pandang syariat Islam tentu pengelolaan kekayaan alam yang diserahkan pada pihak swasta domestik dan asing tidak diperbolehkan. Sebab kekayaan alam merupakan kepemilikan umum yang seharusnya dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Sehingga rakyat dapat menikmati melimpahnya kekayaan alam tersebut.
Jika negara tidak memiliki alat berat maka langkah yang ditempuh dengan menyewa atau membeli alat berat tersebut. Tanpa berdalih dengan alasan tidak memiliki alat berat untuk mengelola tambang sehingga mengundang para investor di forum umum menjajakan negerinya.
Sebenarnya jika penguasa negeri ini benar-benar menghitung dengan cermat antara jumlah utang dengan kekayaan alam yang sudah dikeruk oleh negara kafir penjajah, maka niscaya utang luar negeri lunas atau bahkan tersisa. Namun, langkah tersebut tidak ditempuh sebab sistem kapitalisme hanya memikirkan keuntungan segelintir orang yakni para oligarki dan konglomerasi bisnis.
Hanya dengan negara berbasis Islam atau Khilafah kekayaan alam dikelola secara benar sesuai aturan Allah. Sehingga negara bebas utang dan rakyat sejahtera bukan menjadi impian yang utopis.
Wallahu a'lam bish showab.[]