Pengrusakan Mesjid dan Penyerangan Tokoh Agama

 


Oleh: Ria Anggraini (Muslimah Bangka Belitung)


Perusakan Masjid kembali terjadi, kali ini Mimbar Masjid Raya Makassar, Sulawesi Selatan, dibakar seorang pria berusia 22 tahun pada Sabtu (25/9) dini hari kemarin. Pria itu mengaku sakit hati kepada pengurus masjid hingga ia nekat membakar mimbar.


Bukan hanya penyerangan terhadap masjid, sejumlah serangan terhadap pemuka agama bahkan terjadi sepanjang tahun ini. Melansir dari Okezone (22/9/2021), setidaknya ada lima kasus penyerangan terhadap ustadz di Indonesia sejak 2018—2021.


Pada 20 September lalu, ustadz Abu Syahid Chaniago diserang oleh orang tak dikenal saat memberikan ceramah di Masjid Baitussyakur, Batam, Kepulauan Riau. tanpa melalui pemeriksaan para ahli kepolisian langsung menyatakan bahwa pelaku adalah ODGJ (Orang Dalam Gangguan Jiwa).


Serangan lainnya juga terjadi di Tangerang, kali ini tokoh agama berinisial A atau kerap disapa Ustadz Alex ditembak orang tak dikenal, hingga mengakibatkan Ustadz Alex meninggal.


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyampaikan pemerintah sangat menyesalkan peristiwa penusukan ustadz di Batam dan perusakan mimbar masjid di Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah juga mengutuk keras dan meminta agar para pelaku ditindak tegas.


"Pertama pemerintah sangat menyesalkan kejadian tersebut dan mengutuk para pelakunya. Saya sudah memerintahkan dan ingin menegaskan kembali kepada aparat keamanan untuk mengusut kejadian itu dan pihak kepolisian memang sudah menangkap para pelaku," kata Mahfud melalui rekaman video yang diterima detikcom, Sabtu (25/9/2021).


Tokoh agama dan tempat ibadah (masjid) adalah dua elemen/simbol penting dalam agama Islam. Sudah seharusnya negara hadir dalam membangun penghormatan terhadap keduanya, apalagi mayoritas warga negara Indonesia adalah muslim. Negara wajib melindungi tokoh agama dan tempat ibadah dari segala aksi kriminal. Namun sayang, tampaknya hal itu masih sulit terwujud di Indonesia. Berulangnya penyerangan terhadap ustadz ataupun perusakan masjid, membuktikan negara masih lemah karena tak mampu mencegah aksi serupa. Padahal, rasa aman adalah kebutuhan mendasar bagi warga negara. Negara wajib memenuhi kebutuhan tersebut dengan baik, termasuk untuk para tokoh agama.


Semua kejadian ini, baik penyerangan terhadap masjid hingga ulama menunjukkan kegagalan negara membangun penghormatan terhadap tokoh agama dan tempat ibadah atau masjid.


Bagaimana tidak, setiap kasus penyerangan terhadap ulama pelaku selalu diduga orang gila dan akhirnya dilepaskan. Padahal penyampaian kondisi kejiwaan pelaku bukan otoritas kepolisian tetapi kewenangan ahli. 


Sebab, selama ini setiap kasus penistaan agama selalu berakhir pada "pelakunya gila", tak heran jika kasus serupa kerap berulang, sebab tanpa melalui pemeriksaan ahli bisa saja pelaku yang berpura-pura gila akan dinyatakan gila, dan tentu saja penistaan agama menjadi dianggap biasa dan hal ini akan berujung menyakiti umat Islam.


Negara juga lemah dan terkesan lepas tangan dalam melindungi tokoh agama dan tempat ibadah dari aksi kriminal. inilah gambaran minimnya rasa aman bagi ulama di sistem demokrasi-sekuler, sebab masyarakat harus berjuang sendiri untuk mendapatkan rasa aman jangan sampai hanya berhenti pada mewaspadai eksistensi kelompok komunis saja, fenomena ini menuntut kehadiran negara dalam menempatkan agama Islam dan simbol-simbol Islam sebagaimana seharusnya.


Stigma radikalisme terhadap Islam kaffah misalnya, wajib untuk dicabut oleh negara, karena Islam itu agama damai yang tak perlu ditakuti atau dicurigai. Begitu pula jika ada tindakan mendiskreditkan atau memojokkan Islam, negaralah yang wajib meluruskannya. Ketika ada tindakan menghina agama Islam dan menodai simbol-simbol Islam, negara harus tegas menindaknya.


Karena itu tidak salah jika disampaikan bahwa negara yang beradi di bawah sistem demokrasi-sekuler tidak menjamin keamanan para ulama dan terjaganya simbol-simbol Islam. Padahal Peran ulama begitu besar bagi umat, marwahnya harus terjaga keamanannya harus terlindungi. Karena itu para ulama harus dimuliakan dan dihormati. 


Rasulullah saw pernah bersabda " Bukan termasuk umat ku orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak, dan tidak memuliakan alim ulama " (HR. Ahmad, Thabrani, Hakim).


Merekalah para penuntun dan teladan bagi umat, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, mereka senantiasa berpedoman berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, tak pernah menyalahi syariat Islam yang diwariskan Rasulullah saw.


Dalam Islam negara berkewajiban menjaga dan melindungi rakyatnya lebih-lebih kepada ulama, sebab ulama dimuliakan karena keilmuannya dan kedudukannya sebagai pelita yang menerangi umat.


Penjagaan itu terealisasi dalam perangkat sistem uqubat atau sanksi dalam Islam, tegaknya sistem sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa).


Zawajir berarti dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan, sanksi dalam Islam juga berfungsi sebagai Jawabir yakni penebus dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat.


Dalam Islam penerapan hukum Islam memiliki tujuan yang terintegrasi yakni, memelihara agama, menelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara harta, dan memelihara akal,  tujuan ini dapat diterapkan tatkala sistem sanksi Islam dilaksanakan Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah, dengan begitu jiwa dan muruah ulama serta warga negara terjaga. Hal ini bisa terwujud dalam habitat yang tepat dan benar yaitu dalam sistem Khilafah.


Dalam lintas sejarah jaminan Islam terhadap umat manusia telah terbukti, Islam menjamin hak individu untuk memeluk agama yang diyakini, Islam pun menjamin hak berbicara bagi setiap warga negara.

Wallahu a'lam bishawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم