Oleh Binti Masruroh (Praktisi Pendidikan)
Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri sejak tahun 2015 lalu. Penetapan hari santri tersebut sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, sebagai bentuk pengingat Resolusi Jihad yang diserukan oleh KH. Hasyim Asy’ari kepada ulama dan santri di pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia. Resolusi itu berisi agar santri dan ulama membulatkan tekad untuk melakukan jihad mempertahankan kemerdekaan yang hendak direbut kembali oleh sekutu.
Kedatangan tentara Sekutu ke Surabaya yang hendak menegakkan lagi penjajahan menjadikan Ir. Soekarno mendatangi KH. Hasyim Asy’ari untuk meminta fatwa tentang hukum melawan penjajah. KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan hukum melawan penjajah adalah fardhu ain. Sesuai tuntutan hukum syariah, KH. Hasyim Asy’ari menggerakkan warganya dari kalangan santri untuk berjihad menghantam pasukan sekutu sebagai perang sabil atau perang suci. Pada tanggal 21-22 Oktober, 22 para ulama dari Jawa dan Madura yang dipimpin KH. Hasyim Asy’ari mendeklarasikan perang mempertahankan kemerdekaan sebagai perang suci.
Dalam buku biografi Kyai Hasyim Asy’ari yang berjudul Fajar Kebangkitan Umat yang ditulis oleh Latifatul Khuluk, Resolusi Jihad terdiri dari lima butir yaitu:
1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan
2. Republik Indonesia sebagai pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong
3. Musuh Indonesia yaitu Belanda dengan bantuan sekutu (Inggris) akan menggunakan cara politik dan militer untuk menguasai kembali Indonesia
4. Umat Islam harus mengangkat senjata untuk melawan Belanda dan Sekutu yang hendak menjajah kembali Indonesia
5. Kewajiban ini merupakan merupakan perang suci (Jihad) yang merupakan kewajiban setiap muslim yang tinggal radius 94 km, sedangkan yang tinggal di luar radius membantu dalam bentuk materiil.( detik.com 22/10-/21)
Resolusi Jihad ini memantik semangat juang terutama arek-arek Surabaya khususnya dan seluruh rakyat Indonesia untuk maju ke medan pertempuran mempertahankan kemerdekaan dari penjajah sekutu yang hendak menegakkan kembali penjajahan di Indonesia.
Dari latar belakang peristiwa sejarah tersebut secara eksplisit makna pesantren dan santri adalah aktor pejuang perubahan sesuai Syariat Islam. Melawan penjajah yang telah diwajibkan oleh syari’at Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al Hajj ayat 39-40 yang artinya “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi karena mereka telah dianiaya dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa untuk menolong mereka yaitu orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar tak lain karena perkataan mereka “Sesungguhnya Tuhan kami adalah Allah” (TQS. Al Hajj: 39-40).
Sayangnya semangat membela Agama yang dikobarkan oleh para santri kini pada sistem kapitalis sekuler terkooptasi menjadi penggerak ekonomi. Dalam peringatan Hari Santri sekaligus sebagai hari peluncuran logo baru Masyarakat Ekonomi Syari’ah. Pada tanggal 22 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia harus menjadi pusat gravitasi Ekonomi Syari’ah dunia. Ekonomi Syari’ah terus ditingkatkan, termasuk dikalangan santri. Jokowi menaruh harapan pada MES agar menjadi lokomotif pengembangan Ekonomi Syari’ah mampu melahirkan lebih banyak wirausaha dari kalangan santri dan lulusan pondok pesantren (Viva.co.id, 22/10/21).
Mantan gubernur DKI juga menyampaikan, “Karena itu kita harus mendorong munculnya banyak interpreneur dan wirausaha dari kalangan santri. Orientasi santri harusnya bukan lagi mencari pekerjaan tetapi sudah menciptakan kesempatan kerja bangi banyak orang. Demikian pula Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Hakim Iskandar mengatakan santri berperan besar dalam menggerakkan ekonomi desa.
Mengarahkan santri sebagai pemberdaya ekonomi dan menjadi wirausaha sejatinya menunjukkan kegagalan negara yang menerapkan sistem kapitalis membuka lapangan pekerjaan. Ketika para santri diorientasikan menggerakkan ekonomi dengan program kewirausahaan, maka ini akan merampas potensi santri sebagai calon penegak agama yang faqih fiddin.
Sudah semestinya para santri membahas tsaqofah Islam secara mendalam dan kemudian nantinya mengajarkan kepada umat tentang aqidah yang lurus, mengajarkan tafsir Al Qur’an, mengajarkan fiqh Islam sehingga kaffah sehingga umat memahami dan tergugah untuk menerapkannya.
Dengan tsaqofah Islam yang dimiliki oleh ulama maupun santri mestinya akan lahir gelombang perubahan menentang segala bentuk penjajahan berdasarkan tuntunan Syari’at Islam. Para ulama dan santri akan menjadi orang-orang yang tafakuh fiddin yang terdepan dalam menolak paham sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) yang telah menjajah pemikiran umat Islam. Ulama dan santri akan berada pada garda terdepan dalam memperjuangkan penegakan Syari’ah Islam secara kaffah.
Waalahu a’lam bi ash-showab.[]