Oleh: Tri S, S.Si
Mencari kehidupan dan penghidupan di negeri ini begitu banyak suka dukanya. Ada yang berdagang barang, atau menjual jasa, mulai jasa yang halal dan ada juga jasa yang haram menurut agama Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa jual beli makanan adalah mata pencaharian yang masih bisa "hidup dan menghidupi" sebagian masyarakat.
Ketika jual beli makanan maka sewajarnya bagi muslim mencari makanan halal dan thoyib atau makanan sehat dan baik bagi kesehatan. Santer terdengar kabar adanya sindikat jual-beli anjing di Jakarta, kota dengan penduduk muslim yang mayoritas, akhirnya memunculkan tanya dalam hati, apakah di nusantara yang gemah repah loh jinawi ini para pedagang tidak lagi mendapatkan makanan halal untuk dijual? ataukah memang karena semakin sempitnya cara berpikir manusia akibat hidup dalam sistem yang mendewakan kebebasan yang seringkali menabrak hak-hak orang lain?
Akhir-akhir ini ada sindikat jual beli daging anjing yang merugikan masyarakat. "Penjualan anjing di pasar baik hewan liar maupun dipasok melalui sindikat kriminal pencurian hewan akan menimbulkan banyak permasalahan dan membahayakan bagi masyarakat Jakarta. Karena anjing yang tidak divaksin akan menimbulkan penyakit rabies yang bisa menular pada hewan lain maupun manusia" (rri.co.id, 10 September 2021).
Peristiwa ini mengundang tanggapan dari Pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji kepada wartawan jum'at 10 September 2021. Suparji Ahmad menanggapi penjualan daging anjing di salah satu pasar di DKI Jakarta yang mulai meresahkan masyarakat. Menurutnya, jual beli hewan untuk dikonsumsi harus memenuhi unsur keselamatan, kehalalan dan kesehatan.
"Saya menyarankan untuk dilakukan tindakan berupa penertiban pasar terhadap penjualan anjing tersebut, sebagai amanat undang-undang untuk memberikan keamanan dan keselamatan konsumen. Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan," jelasnya.
"Negara harus memberikan sanksi berupa penutupan dan penarikan produk tersebut di pasaran dan memberikan pemahaman kepada konsumen bahwa daging anjing tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terutama UU Pangan, yang mengamanatkan bahwa pelaku usaha harus menjamin bahwa barang yang dijual harus memenuhi unsur halal dan tidak melanggar norma agama yang berlaku," lanjutnya.
Tampaknya peristiwa semacam ini tidak akan berhenti sampai disini ketika negara hanya hadir sebagai "pemadam kebakaran" alias tidak memberi solusi tuntas pada masalah pangan semacam ini. Selayaknya negara hadir memberi sanksi tegas dan efek jera bagi pelaku kejahatan (penjual pangan tidak halal) sambil menghadirkan peluang usaha pangan halal bagi pelaku usaha agar tidak terbius dengan besarnya keuntungan semata, tapi memperhatikan dan peduli terhadap kesehatan masyarakat. Terutama umat muslim, mengkonsumsi pangan halal thoyib merupakan bagian dari ketaatan karena menjalankan perintah Allah Swt yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 168 yang artinya:
"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan thoyyib (baik) yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.
Dalam sistem Islam ketersediaan pangan halal jelas menjadi kewajiban pemerintah, sebagai bentuk ketaatan pemimpin kepada Allah, di sisi lain, negara wajib hadir memberi jaminan secara mutlak bagi tercukupinya pangan halal untuk individu per individu warganya di seluruh belahan wilayahnya tanpa terkecuali. Bahkan pernah tercatat dengan tinta emas sejarah tatkala kaum muslimin dipimpin oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, pada suatu waktu petugas zakat dari baitul mal (kas negara) bernama Yahya bin Said ditugaskan memungut zakat ke Afrika.[]