Menganggap Urusan Dapur, Sumur dan Kasur Sepele, Melanggengkan Eksploitasi Perempuan?




_Oleh: Ervan Liem_


I. Pengantar


_Jika tidak bekerja, para istri hanya mampu mengurus dapur, sumur dan kasur,_ ungkapan semacam inilah yang hingga saat ini terus diopinikan dan bahkan mungkin 'sengaja' terus disebarluaskan, dengan tujuan agar pekerjaan seorang wanita sebagai istri dinilai rendahan. Memang tak bisa dipungkiri, bahwa oleh sebagian besar masyarakat saat ini jika seorang wanita hidupnya hanya berkutat dipermasalahan domestik rumah tangga saja, maka hal itu adalah suatu kerugian bahkan dianggap kebodohan. Dampak dari opini tersebut sangatlah besar, saat ini banyak anak perempuan yang dijauhkan dari tiga hal tersebut oleh orang tuanya agar dirasa generasi kedepan bisa dianggap bahwa seorang wanita akan memiliki kehidupan yang lebih maju.


Hal tersebut berakibat pula kepada kecakapan seorang wanita ketika ia mulai masuk kedalam bahtera rumah tangganya. Seringnya kaget, tak punya kemampuan mengurusi _sumur, dapur dan kasur_ sang istri itu hanya mampu mengurusi laptopnya, seperangkat alat komunikasinya dan menjalankan kesibukannya duluar rumah dengan mengesampingkan dan tak menganggap penting pekerjaan rumah.


Urusan sumur (mencuci), dapur (memasak) dan kasur (menyusui dan mengurus anak) dinilai banyak orang saat ini adalah sebuah pekerjaan rendahan, hingga akhirnya banyak wanita yang mementingkan karirnya, nikah tua, bahkan tak sedikit yang terjebak menjadi kepala rumah tangga bagi keluarganya yang menilai bekerja mencari nafkah adalah kewajibannya. Walhasil, dunia terbalik, suami menjalankan tugas istri dan sebaliknya, bahkan tak sadar banyak suami dengan bangga mengeksploitasi istri-istrinya, dan para orang tua yang banyak _mengamini_ anak-anak perempuannya menjadi objek eksploitasi.


*II. Permasalahan*


Dari kenyataan diatas, maka didapat permasalahan sebagai berikut:


(1) Mengapa tugas rumah tangga seperti urusan dapur, sumur dan kasur saat ini dianggap pekerjaan rendahan bagi wanita?


(2) Bagaimana dampak negatif adanya pemikiran bahwa urusan dapur, sumur dan kasur adalah pekerjaan rendahan bagi wanita?


(3) Bagaimana strategi Islam dalam mengatur kewajiban suami istri?


III. Pembahasan


A. Urusan Dapur, Sumur dan Kasur di Anggap Rendahan Oleh Sebagian Besar Masyarakat


Seiring dengan semakin terbukanya akses pendidikan bagi perempuan, profesi ibu rumah tangga mulai bertransisi menjadi pekerjaan paruh waktu karena seorang ibu yang bekerja diluaran guna mencari nafkah kian dianggap lumrah. Bahkan dalam lingkungan masyarakat kekinian, perempuan semakin berpeluang besar bahkan lebih mudah mendapatkan pekerjaan diluar dibandingkan dengan laki-laki. Hal itulah yang menjadi pertimbangan banyak orang bahwa dirinya mampu bekerja mencari nafkah sambil menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Tak heran, banyak yang menyayangkan bila perempuan berpendidikan tinggi memilih untuk menjadi ibu rumah tangga secara purnawaktu.


Pekerjaan ibu rumah tangga sudah terlanjur dianggap sebagai pekerjaan sepele karena tidak memerlukan keterampilan intelektual khusus. Padahal, aktivitas sehari-hari yang dijalankan oleh para ibu rumah tangga tak ubahnya seperti pekerjaan profesional. Dalam praktiknya, seorang ibu rumah tangga dituntut berdedikasi secara penuh dan berpikir kreatif saat menyelesaikan permasalahan rumah tangga bahkan dalam waktu yang sempit. Disadari ataupun tidak, peran ibu rumah tangga sering tak dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah pekerjaan. Karena orang lain biasa memikirkan berapa banyak uang yang dihasilkan saat bekerja di tempat tertentu.


Biasanya, pekerjaan ibu rumah tanggap dianggap sepele tak peduli berapa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam sehari. Ibu rumah tangga sering diremehkan bahkan oleh sesama wanita sendiri. Meski ada banyak tugas yang harus dikerjakan, seperti mengurus dan menyiapkan semua keperluan anggota keluarga, membuat sarapan, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mencuci, memberi konseling, hingga mengatur keuangan keluarga. Kebayang kan, bagaimana ribet dan sibuknya seorang ibu rumah tangga? Rasanya waktu 24 jam itu masih kurang untuk menyelesaikan semua urusan tersebut. Tak heran, banyak kaum hawa yang rela meninggalkan karir dan impiannya diluaran demi mengurus keluarga. Sayangnya, langkah semacam itu sering kali dianggap salah. Tak sedikit orang, mulai dari keluarga, teman, rekan kerja, hingga tetangga yang merasa kecewa dan menyangkan keputusan tersebut. Hingga keluar pernyataan dan pertanyaan berikut:


“Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau ujungnya cuman jadi ibu rumah tangga (IRT)? Sudah enak kerja kantoran, kok malah resign? Bersatus PNS lagi, yakin mau melepas profesi itu gitu aja? Gak akan nyesel kan? Apa gak bosen nanti di rumah terus?”


Bahkan ada juga yang menganggap ibu rumah tangga sebagai pengangguran. Hanya karena sibuk dengan kegiatan mengurus rumah, bukan berarti hari-harinya jadi lebih ringan, tanpa beban dan masalah. Tidak kalah dengan pekerjaan kantoran, seorang ibu rumah tangga juga disibukan dengan segudang pekerjaan. Bahkan mereka rela bekerja 24 jam, hanya untuk memastikan bahwa semua kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga telah terpenuhi.


Semua stigma yang menilai pekerjaan rumahan ibu rumah tangga tidak terlalu penting pada dasarnya adalah dipengaruhi oleh sudut pandang sekuler kapitalistik. Penjajahan mental yang dilatar belakangi kesulitan ekonomi keluarga telah dijadikan pembenaran bahwa hal yang paling ideal untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah sama-sama bekerja antara suami istri. Hal itu tampak jelas, bahwa sesungguhnya bekerjanya perempuan sangat berarti dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Menyamakan peran tugas laki-laki dan perempuan hanyalah “ide pemanis” demi mewujudkan ambisi kapitalisme. Pemberdayaan ekonomi perempuan digalakkan dengan berbagai cara karena menjanjikan peningkatan ekonomi dunia, meski sejatinya sangat merugikan kehidupan rumah tangga.


Jelaslah, upaya untuk meningkatkan partisipasi peran kerja wanita hanyalah menguntungkan dan meningkatkan pendapatan para kapitalis, bukan bagi perempuan, apalagi keluarga. Iming-iming peningkatan kesejahteraan perempuan yang lebih baik hanyalah jargon kosong tanpa wujud nyata. Maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa peningkatan partisipasi kerja untuk para perempuan adalah eksploitasi perempuan yang menyamar dalam topeng kesetaraan gender. Jadi jangan lagi meremehkan pekerjaan perempuan yang dengan tulus menjadi ibu rumah tangga, menganggap mereka pengangguran, wanita tak bekerja, dan sederet stigma lainnya yang menyepelekan profesi dan peranan seorang ibu.


B. Dampak Negatif Adanya Pandangan Urusan Dapur, Sumur dan Kasur Rendahan


Pandangan yang menilai bahwa pekerjaan rumahan istri rendah dan tidak terlalu penting tentu akan berdampak pada banyak hal. Tidak sedikit saat ini kasus perceraian dan berantakannya rumah tangga yang ditengarai oleh masalah sibuknya suami istri terhadap karirnya masing-masing, saling menyalahkan karena tidak paham betul bagaimana porsi dan distribusi pekerjaan yang benar dan semestinya sebagai pasangan hidup. Jangankan menjadi makmur, menyelesaikan urusan dapur, sumur dan kasur pun tak akan mampu.


Menjadikan kaum hawa bekerja, sebenarnya memberikan beban ganda kepada para ibu, karena Islam meletakkan kewajiban mencari nafkah pada ayah/laki-laki. Oleh karena itu, upaya menyamakan kesempatan kerja pada perempuan, apalagi dalam proporsi yang sama akan sangat merugikan dan bisa dikatakan sebagai bentuk eksploitasi. Memang benar, Islam membolehkan perempuan bekerja. Dan bisa jadi benar terjadi peningkatan pertumbuhan yang dinikmati para pemilik modal. Akan tetapi, kesejahteraan perempuan hanyalah mimpi, karena untuk sekedar hidup layak pun sulit.


Belum lagi masalah mempertahankan keutuhan rumah tangga, yang permasalahnnya sangat komplek. Perempuan bahkan harus membayar mahal dengan rapuhnya ketahanan keluarga atau ketidakharmonisan rumah tangga yang bahkan berujung pada perceraian. Di sisi lain, ancaman rusaknya generasi begitu nyata, dan kapitalis tidak akan pernah peduli dengan bangunan keluarga. Sejatinya, kemiskinan yang dialami kaum perempuan bukanlah kemiskinan yang berdiri sendiri. Faktor yang paling memengaruhi adalah kemiskinan struktural sebagai akibat penerapan sistem yang diterapkan. Jika kesejahteraan perempuan tak terurus sebenarnya itu bukan karena faktor ketidakadilan gender dan ketimpangan gender.


Teriakan kesejahteraan seringkali hanyalah menjadi mantra dan akal-akalan kaum gender untuk membuat para perempuan ikut berpartisipasi dalam ranah publik. Mengebiri peran domestiknya sebagai ibu rumah tangga demi meningkatkan ekonomi. Hasilnya, para perempuan terlena dan melupakan jati diri mereka sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Semua ini berawal dari sebuah anggapan, paradigma kebebasan dan hak menuntut kesetaraan.


Adanya ketimpangan sosial yang berimbas pada perempuan tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalis yang tengah diterapkan dunia. Penjajahan suatu negeri atas nama kebebasan kepemilikan sumber daya alam adalah juga salah satu sebab kemiskinan yang berdampak pada kehidupan rumah tangga. Sebuah keluarga akan sulit dan tetap tidak sejahtera, sementara kaum kapitalislah yang paling banyak meraup untungnya. Lihat, bagaimana kondisi perempuan-perempuan di berbagai belahan dunia. Di beberapa negara yang terlibat konflik perang, kemiskinan ekstrem tak terhindarkan. Seperti yang dialami Yaman, Lebanon, Afganistan, Palestina, dan lainnya. Pengerukan kekayaan alam juga menjadi sebab kemiskinan di wilayah yang banyak dikuasai kapitalis asing seperti Afrika dan beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.


Jadi, tak ada korelasi antara kemiskinan dengan pemberdayaan ibu rumah tangga dalam mencari nafkah. Justru derasnya arus pemberdayaan perempuan menimbulkan masalah baru. Angka gugat cerai meningkat, ketahanan keluarga rapuh, anak-anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Semua itu terjadi akibat kaum ibu yang keluar bekerja. Memang benar, berdaya bagi perekonomian, namun tak berdaya menghadapi konflik keluarga yang juga berimbas pada kualitas generasi. Demikianlah watak asli tatanan ekonomi kapitalisme, hanya berpihak pada para pemilik modal. Inilah dampak mekanisme pasar yang menjadi prinsip kapitalisme: siapa yang kuat dialah yang menang. Perempuan hanya menjadi objek eksploitasi demi keuntungan materi para kapitalis, diperas tenaganya semata.


C. Strategi Islam Mengatur Kewajiban Suami Istri


Menjadi Ibu rumah tangga adalah profesi yang tidak bisa dihindari oleh hampir semua kaum hawa. Tidak hanya berperan sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya, tapi juga sebagai manager rumah tangga. Bertanggung jawab atas semua urusan yang ada di rumah. Diantara pasangan suami istri, sesungguhnya sudah diatur peran dan tugas masing-masing dalam menjalani kehidupan berumah tangga, tentang suami yang wajib mencukupi kebutuhan keluarga dan istri yang wajib pula memenuhi pekerjaan domestik rumah tangga.

"Sesungguhnya Nabi SAW. menetapkan terhadap anak perempuannya, Fatimah, mengerjakan pekerjaan di rumah, sedangkan kepada Ali bin Abi Thalib pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar rumah" (Musnad Ibnu Abi Syaibah).


Hadis diatas diperkuat dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa suatu ketika Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra sama-sama mengeluhkan pekerjaan mereka masing-masing kepada Rasulullah SAW. Ali bercerita kalau pekerjaannya mengambil air (dari luar rumah) yang membuat dadanya terasa sakit. Sedangkan Fatimah mengadukan keletihannya menggiling tepung yang membuat tangannya melepuh. Namun, Rasulullah SAW. membiarkan hal itu dan justru mengajarkan kepada mereka berdua wirid dan zikir yang akan membuat mereka dicintai dan dimuliakan Allah SWT. Sikap Rasulullah yang membiarkan pekerjaan Ali di luar rumah dan Fatimah di dalam rumah, menunjukkan penetapan beliau bahwa demikianlah aktivitas suami dan istri dalam Islam.


Seorang suami memang harus bekerja mendatangkan apa yang dibutuhkan istri dari luar rumah, seperti mencari nafkah,  membawakan air dan bahan makanan, sedangkan istri bekerja di dalam rumah seperti memasak, menyuci dan mengurusi anak. Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Barriy menyebutkan, “Melaksanakan pekerjaan di rumah adalah wajib bagi seorang wanita meskipun sang istri memiliki kedudukan terpandang dan kemuliaan jika sang suami kesulitan (mendatangkan pembantu).” Berkata Ibnu Hajar, “Demikianlah Nabi SAW. menetapkan Fatimah melakukan pekerjaan di rumah, sedangkan Ali melaksanakan pekerjaan di luar rumah.” Selain itu, Rasulullah juga sering meminta kepada istri-istri beliau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah tangga, seperti meminta air minum, makanan dan lain sebagainya.

"Wahai Aisyah tolong ambilkan minum, wahai Aisyah tolong ambilkan kami makanan, wahai Aisyah ambilkan kami pisau dan asahlah dengan batu!" (HR. Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban).


‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah juga berpendapat bahwa bagi istri, adalah wajib melayani suami di rumah sekaligus mengurus rumah sesuai kemampuannya. Jika pekerjaan rumah tangga mendatangkan kesusahan bagi istri, maka suami wajib membantu untuk meringankannya. Misalnya memberikan mesin cuci atau menyewa pembantu rumah tangga untuk meringankan tugas istri di rumah. Sebaliknya, jika pekerjaan di dalam rumah ringan dan mampu dikerjakan istri, maka tidak ada kewajiban bagi suami untuk mendatangkan pembantu. Bahkan, sang istri wajib untuk melaksanakan hal itu. Hal ini berdasarkan apa yang diputuskan oleh Nabi SAW. untuk Fatimah, putrinya. Syekh Taqiyuddin juga menyebutkan bahwa seorang istri wajib melayani suami, seperti membuat adonan roti, memasak, membersihkan rumah, menyediakan minuman jika suami meminta. Sebaliknya, suami wajib menyediakan apa saja yang harus dilakukan di luar rumah seperti membuang sampah, membawa bahan makanan dari pasar dan yang lainnya. Rasulullah SAW, mengingatkan para wanita agar mereka mandiri dalam melakukan pekerjaan rumah dan sekali-kali tidak merepotkan suaminya bila mereka sendiri mampu melakukan hal itu. Sabda Nabi SAW. "Allah tidak akan memandang kepada perempuan yang tidak berterima kasih kepada suaminya dan dia tidak berupaya mengerjakan sendiri tanpa merepotkan suaminya. (HR. Baihaqi)


Menelantarkan tugas-tugas rumah tangga adalah suatu bentuk kemaksiatan di sisi Allah SWT,  karena termasuk melalaikan kewajiban. Maka, seorang istri harus berusaha sekuat tenaga mengerjakan tugas rumah tangga sebaik-baiknya, sehingga rumah tangganya menjadi tempat berkumpul yang menyenangkan bagi suami dan anak-anaknya. Selain itu, perlu disadari bahwa amal dalam rumah tangga sesungguhnya adalah amal agung yang dapat menyamai jihad fi sabilillah yang dilakukan kaum pria.


Ketentuan yang telah diatur secara lengkap dalam Islam sudah pasti akan mendatangkan kemuliaan bagi yang menjalankannya. Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan kondisi hari ini, yang sangat langka pasangan suami istri yang paham dan mengerti secara utuh peran dan tugasnya dalam membawa arah rumah tangga. Bahkan banyak yang tidak mengerti dan justru mencemooh kaum wanita yang hanya bekerja menjadi ibu rumah tangga. Atas dasar 'seperti' orang yang tak berguna dan tak memiliki pundi-pundi keuangan sendiri, tuduhan tersebut sampai mengira bahwa wanita 'rumahan' hanyalah merepotkan dan beban bagi sang suami saja. Lebih buruknya lagi, sistem kehidupan sekuler kapitalis terus-terusan mempropagandakan kesetaraan gender, dengan dalih mengangkat derajad kaum perempuan mereka hendak menjadikan kaum wanita tugas dan perannya sama dengan laki-laki. Padahal hal itu tentu akan merusak generasi.


Jelaslah, upaya untuk meningkatkan partisipasi kerja perempuan hanyalah meningkatkan pundi-pundi emas para kapitalis, bukan bagi perempuan, apalagi keluarga. Peningkatan kesejahteraan perempuan hanyalah jargon kosong tanpa wujud nyata. Sungguh kejam aturan kapitalisme yang selalu saja mengeksploitasi kaum wanita. Sangat berbeda dengan aturan Islam yang justru melindungi dan memuliakan perempuan. Islam memiliki tatanan sempurna dan paripurna untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Dalam Islam, kesejahteraan untuk semua nyata adanya, tanpa eksploitasi perempuan dalam dunia kerja. Perempuan pun dapat tetap menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu generasi dengan leluasa karena negara menjamin kesejahteraan diri dan keluarganya.


IV. Penutup


Dari uraian singkat di atas kami dapat tarik beberapa kesimpulan:


1) Pekerjaan ibu rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan sepele karena tidak memerlukan keterampilan intelektual khusus. Penjajahan mental yang dilatar belakangi kesulitan ekonomi keluarga seringkali dijadikan pembenaran bahwa hal yang paling ideal untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah sama-sama bekerja antara suami istri. Tanpa disadari bahwa sesungguhnya bekerjanya perempuan sangat berarti dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Menyamakan peran tugas laki-laki dan perempuan hanyalah pemanis demi mewujudkan ambisi kapitalisme.


2) Dampak dari anggapan rendah pada pekerjaan rumah seorang istri yang meliputi masalah dapur, sumur dan kasur adalah semakin banyaknya saat ini wanita yang berupaya menyamakan posisinya dengan suami sebagai pencari nafkah. Derasnya arus pemberdayaan perempuan menimbulkan masalah baru. Angka gugat cerai meningkat, ketahanan keluarga rapuh, anak-anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Semua itu terjadi akibat kaum ibu yang keluar bekerja. Memang benar, berdaya bagi perekonomian, namun tak berdaya menghadapi konflik keluarga yang juga berimbas pada kualitas generasi.


3) Menjadi ibu rumah tangga merupakan pekerjaan yang sulit dan merupakan pekerjaan yang paling penting. Islam mengatur peran suami istri lengkap dengan tugas masing-masing, seperti yang telah dipesankan beliau SAW kepada putrinya: "Sesungguhnya Nabi SAW. menetapkan terhadap anak perempuannya, Fatimah, mengerjakan pekerjaan di rumah, sedangkan kepada Ali bin Abi Thalib pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar rumah" (Musnad Ibnu Abi Syaibah).

Dengan begitu, jelaslah tugas suami dan istri, menelantarkan tugas-tugas rumah tangga adalah suatu bentuk kemaksiatan di sisi Allah SWT.


#LamRad

#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم