Robanaa, Mudahkanlah Umat Islam Beribadah Haji

 


Endah Sulistiowati

Dir. Muslimah Voice


Indonesia kembali terancam gagal memberangkatkan calon jamaah haji ke Mekah. Itu berarti sudah dua tahun ini tidak ada jamaah haji yang bisa diberangkatkan oleh Indonesia. Kalau tahun lalu karena murni disebabkan serangan wabah virus Covid-19 yang mendunia, adapun tahun ini Indonesia tidak mendapatkan kuota jamaah haji dari Negara Saudi Arabia.


Meskipun santer berita diluaran sana, bahwa banyak faktor yang menyebabkan kenapa pemberangkatan jamaah haji tahun ini harus dibatalkan. Salah satunya memang faktor administrasi yang hingga detik ini belum dibuka aksesnya oleh pemerintah Arab Saudi. 


Namun yang menjadi catatan, justru pemerintah Arab Saudi baru-baru ini, mengumumkan adanya 11 negara yang diperbolehkan untuk masuk ke Arab Saudi. Kesebelas negara itu adalah:Uni Emirat Arab, Jerman, Amerika Serikat, Irlandia, Italia, Portugal, Inggris, Swedia, Swiss, Perancis, dan Jepang. Melansir Arab News, 29 Mei 2021 menurut Otoritas Kesehatan Masyarakat Saudi (PHA) negara-negara tersebut dianggap telah mampu menunjukkan stabilitas dalam menahan penyebaran Covid-19.


Meskipun 11 negara tersebut diijinkan masuk ke Arab Saudi bukan untuk berkaitan dengan ibadah haji, namun hal ini harusnya bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia. Karena negara-negara tersebut dianggap mampu mengatasi penyebaran Covid-19, lalu apa kabar dengan Indonesia?


Indonesia masih jalan ditempat. Tidak ada perubahan signifikan dalam penanganan Covid-19. Bukannya semakin lama makin selesai pandemi ini, tapi justru terus muncul cluster-cluster baru. Sehingga tidak salah jika pemerintah Arab Saudi juga tidak membuka kuota haji untuk Indonesia. 


Meskipun ada alasan utama pembatalan pemberangkatan haji 2021 ini adalah urusan administrasi dari Arab Saudi yang belum bisa diakses, namun urusan kesiapan negara untuk memberangkatkan calon jamaah haji harusnya juga dipenuhi oleh pemerintah Indonesia, termasuk dalam menyelesaikan pandemi, yang disinyalir menjadi alasan kuat tidak adanya kuota haji untuk Indonesia. 


Penyelenggaraan Haji dalam Sistem Khilafah 


Selain masalah hukum syariat yang terkait dengan syarat, wajib, dan rukun haji, dalam penyelenggaraan ibadah haji juga ada masalah hukum ijra’i yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah. Hanya saja, karena ibadah haji ini dilaksanakan pada waktu (Syawal, Zulkaidah dan Zulhijah) dan tempat (Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah, termasuk Madinah) tertentu, maka dibutuhkan pengaturan yang baik oleh negara.


Hukum ijra’i, sebagai bentuk pengaturan, yang notabene merupakan derivasi dari hukum syariat, tentu tidak boleh menabrak hukum syariat itu sendiri. Sebagai contoh, ditetapkannya syarat usia 18 tahun dalam UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, jelas menyalahi hukum syariat, khususnya ketentuan tentang usia balig. Ketentuan seperti ini tidak boleh ada, meski dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan.


Selain itu, Islam juga menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani oleh orang yang profesional.


Karena itu, Khilafah sebagai satu negara, yang menaungi lebih dari 50 negeri kaum muslim, bisa menempuh beberapa kebijakan:


1) Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah.


Karena ini terkait dengan masalah administrasi, urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga memudahkan calon jemaah haji dan umrah. Dengan prinsip basathah fi an-nizham, sur’ah fi al-injaz, dan ditangani oleh orang yang profesional, urusan ini bisa dilayani dengan cepat dan baik.


Departemen ini mengurusi urusan haji, terkait dengan persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini juga bisa bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jemaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal.


2) Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah—Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.


Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jemaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut, atau udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda.


Pada zaman Sultan Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji.


Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah—Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.


3) Penghapusan visa haji dan umrah.


Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum syariat tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara. Seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah—Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.


4) Pengaturan kuota haji dan umrah.


Khalifah berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan.


Bagi calon jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, mereka akan diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik jika negara Khilafah mempunyai database seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah.


5)  Pembangunan infrastruktur Makkah—Madinah.


Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidilharam, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jemaah haji dan umrah.


Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan oleh Khilafah pada masa mendatang. Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jemaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam, sehingga bisa memotivasi mereka. (MuslimahNews.id) 


*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم