MERAIH KEMENANGAN HAKIKI, MENUJU KETAATAN ILLAHI

 





Oleh: Ika Mawarningtyas

_Writer Influencer_


(Tulisan ini dibuat dalam acara "Ngobrol Bareng Milienial Kampus Kediri")


Muslimahvoice.com - Menang, semua orang tentunya ingin menjadi pribadi yang senantiasa menang. Begitu juga ketika Ramadhan telah usai, inginnya mendapatkan kemenangan hakiki.


Yaitu, menang tak tergoda bisikan setan terkutuk dan menang mengendalikan hawa nafsu. Begitulah makna kemenangan hakiki. Ketika, meraih kemenangan hakiki, harapannya mampu menjadi pribadi lebih beriman dan bertakwa lagi. _Allahumma amin._


Alhamdulillah, sudah selayaknya kita banyak bersyukur kepada Allah SWT, karena kita telah berhasil melewati hari-hari Ramadhan hingga memasuki bagian akhir bulan yang penuh berkah ini. 


Kini kita pun segera menyambut satu hari yang indah, Idul Fitri.


Namun, kita pun sepatutnya banyak beristigfar karena boleh jadi—meski ini jelas tidak kita harapkan—ibadah shaum pada hari-hari Ramadhan yang kita lewati itu tidak mengantarkan kita untuk meraih derajat takwa sebagai hikmah dari kewajiban puasa yang telah Allah titahkan kepada kita sepanjang bulan suci ini.


Karena itu sejatinya kita banyak bertafakur dan melakukan muhâsabah (instrospeksi diri): Layakkah kita bergembira merayakan Idul Fitri, yang sering dimaknai sebagai ‘kembali ke fitrah’ dan juga sebagai ‘hari kemenangan’?


Pertanyaan ini penting kita jawab dengan jujur, agar kita meninggalkan bulan Ramadhan ini tanpa kesia-siaan serta merayakan Idul Fitri nanti tanpa kehampaan, terutama jika dikaitkan dengan penegasan ulama:


ليس العيد لمن لبس الجديد ولكن العيد لمن طاعته تزيد أو تقواه يزيد.

(Idul Fitri itu bukan milik orang yang mengenakan segala sesuatu yang baru. Namun, Idul Fitri itu milik orang yang ketaatannya atau ketakwaannya bertambah).


*Kembali ke Fitrah*


Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai ‘kembali ke fitrah’. Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).


Karena itu secara bahasa Idul Fitri bisa diterjemahkan sebagai ‘kembali ke naluri/pembawaan yang asli. Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama/religiusitas (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan.


Karena itulah, secara fitrah, manusia akan selalu membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar. Itulah Islam sebagai satu-satunya agama dari Allah, Tuhan yang sebenarnya.


Konsekuensinya, sesuai dengan fitrahnya pula, manusia sejatinya senantiasa mendudukkan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhannya, Allah SWT, Pencipta manusia.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kembali ke fitrah—sebagai esensi dari Idul Fitri—adalah kembalinya manusia dalam kedudukannya sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya. 


Menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah, mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.


*Membuang Sekularisme: Wujud Kembali ke Fitrah*


Dengan memaknai kembali ke fitrah sebagai ‘kembali pada kesadaran sejati sebagai seorang hamba’, sudah sepatutnya kaum Muslim yang ber-Idul Fitri membuang jauh-jauh sekularisme. Mengapa? Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dalam kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan. Pasalnya, sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang hanya mengakui Tuhan dari sisi eksistensi (keberadaan)-Nya saja, tidak mengakui otoritas (kewenangan)-Nya untuk mengatur manusia.


Kita harus taat dan tunduk sepenuh hati kepada Allah SWT. Karena itu adalah wujud kemenangan hakiki. Memenangkan kepentingan Allah SWT di atas kepentingan pribadi atau hawa nafsu sendiri.


Karena itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah)—yang memang sesuai dengan fitrah manusia—dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan kufur yang berasal dari sekularisme, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan umat manusia. 


Mahabenar Allah yang berfirman:


]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).


Karena itu, pada Hari Kemenangan ini, sudah sepatutnya pula kita berjanji kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim untuk mengerahkan segenap upaya, secara damai, demi tegaknya syariah Islam. 


Kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT agar menolong kita untuk mewujudkan hal ini sehingga kaum Muslim merasakan kegembiraan yang hakiki karena meraih kemenangan yang juga hakiki, sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:


]وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ$بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ[

Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS ar-Rum [30]: 4-5).


Wa ma tawfiqi illa bilLah. []


Sumber: http://tlgrm.me/ariefbiskandar

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم