Endah Sulistiowai
Dir. Muslimah Voice
Muslimahvoice.com - Tidak tanggung-tanggung kali ini pemerintah berencana untuk menambahkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang bahan pokok atau sembako dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Berdasarkan berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang diperoleh Bisnis, ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPn barang kebutuhan pokok ini.
Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen.
Pemerintah menggarisbawahi, penerapan tarif PPN final menjadi alternatif untuk memudahkan pengusaha kecil dan menengah. Adapun, batasan omzet pengusaha kena pajak saat ini sebesar Rp4,8 miliar per tahun. Rencana pengenaan PPN terhadap bahan pokok adalah yang pertama kalinya dilakukan pemerintah.
Dalam Pasal 4A ayat 2 huruf b UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah telah menetapkan 11 bahan pokok yang tidak dikenakan PPN.
Pasal 4A ini sempat menjadi polemik karena dianggap multitafsir yang dapat membuka peluang pengenaan PPN terhadap barang bahan pokok di luar 11 jenis barang yang disebutkan dalam penjelasan UU tersebut. Atas dasar itu, pada 2016 perwakilan konsumen dan pedagang komoditas pangan pasar tradisional meminta Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi atas penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU No. 42/2009.
Pada 2017, MK kemudian mengabulkan permohonan dengan menegaskan bahwa penjelasan Pasal 4A ayat (2) UU No. 42/2009 bertentangan dengan UUD 1945. Alhasil, dalam putusan No.39/PUU-XIV/2016, MK menyatakan barang kebutuhan pokok adalah barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Dengan demikian, barang kebutuhan pokok tidak terbatas pada 11 jenis saja.
Berikut daftar 11 bahan pokok yang bakal dikenakan PPN 12 persen:
1. Beras
2. Gabah
3. Jagung
4. Sagu
5. Kedelai
6. Garam
7. Daging
8. Telur
9. Susu
10. Buah-buahan
Pajak Melejit Rakyat Menjerit
Indonesia ini tanahnya subur, lautnya yang luas mengandung banyak sekali hayati Yang bernilai ekonomi tinggi. Belum lagi kandungan buminya Yang penuh dengan sumber daya alam, mulai dari gas alam, minyak bumi, batu bara, emas, dsb.
Dengan kondisi Yang demikian harusnya rakyat Indonesia bisa merasakan kesejahteraan hidup, bukan malah lebih dari separuh penduduknya hidup dalam garis kemiskinan. Apalagi harus membebankan setiap biaya penyelenggaraan negara di pundak rakyat dengan diberlakukannya pajak.
Ibaratnya kebutuhan rakyat dari bangun tidur hingg tidur lagi semua dikenakan pajak. Katanya bayar pajak demi kesejahteraan rakyat, kesejahteraan yang mana, yang mampu diwujudkan oleh pajak? Wong, kalau telat bayar pajak pun juga kena denda. Sehingga tidak berlebihan jika negara ini disebut negara pemalak, sudah seperti preman yang minta jatah keamanan.
Tentu saja PPN 12% ini akan menyebabkan harga barang naik. Akhirnya, masyarakat akan memilih untuk membatasi konsumsi pada tahun mendatang. Hal ini berdampak pada hilangnya optimisme pemulihan Indonesia, mengingat pertumbuhan ekonomi ditunjang oleh konsumsi masyarakat.
Di tengah kelesuan ekonomi rakyat dan pandemi yang masih berlangsung rencana menaikkan tarif PPN seharusnya tidak dilakukan. Jika utang pemerintah membengkak, apakah rakyat yang harus menanggungnya?
Seharusnya negara bisa mencari sumber keuangan lain, bisa dari SDA yang saat ini malah dikuasai asing. Bukan malah berencana untuk menarik pajak bahkan dari kebutuhan pokok.
Umat Butuh Pemimpin
Kondisi ini sangat berbeda dengan masa lampau, di saat kaum muslim memiliki pemimpin, yaitu para Khalifah. Ia bertindak sebagai pengayom dan pengurus urusan rakyat. Sebagai seorang pemimpin tentu saja Khalifah bertugas untuk memastikan rakyatnya mendapatkan pelayanan terbaik dan terpenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika beliau memikul sendiri sekarung gandum untuk keluarga seorang janda yang kelaparan, sebagai bentuk tanggung jawab bagi rakyatnya saat itu.
Namun saat ini sebaliknya, rakyatlah yang menjadi pelayan bahkan menjadi alas kaki bagi pemimpinnya. Pemimpin menghisap darah rakyat dengan mewajibkan berbagai jenis pajak.
Di dalam pemerintahan Islam pemimpin wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat individu per individu. Semua harus dipastikan telah terpenuhi kebutuhan pokoknya. Tidak boleh ada yang terlewat.
Sumber pendapatan tetap Khilafah yang menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitulmal adalah fai’ (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, karaj, ‘usyur; harta milik umum yang dilindungi negara; harta haram pejabat dan pegawai negara; khumus rikaz dan tambang; harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Syariat juga telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos yang harus berjalan. Jika di baitulmal ada harta, maka dibiayai oleh baitulmal. Jika tidak ada baitul mal bisa berhutang ke para agniya (orang kaya), kalau belum mencukupi juga kewajiban tersebut berpindah pada kaum muslim.
Dalam menghilangkan kesulitan saat dana baitulmal benar-benar kosong, Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak, tetapi hal ini bersifat insidental, tidak untuk seluruh warga negara hanya para agniya saja, Khilafah dan tidak menjadi kebijakan yang permanen.[]