Muslimahvoice.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan para penyelenggara negara dan pegawai negeri untuk menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, khususnya terkait perayaan Hari Raya Idul Fitri 2021. Peringatan ini dilakukan melalui penerbitan Surat Edaran (SE) Nomor 13 tahun 2021 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi terkait Hari Raya pada tanggal 28 April 2021. KPK berharap penyelenggara negara dan pegawai negeri agar memberikan teladan yang baik bagi masyarakat dengan tidak melakukan permintaan, pemberian, dan penerimaan gratifikasi dengan memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk melakukan perbuatan koruptif. Selain itu, KPK juga mengimbau kepada pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan BUMN/BUMD agar melarang penggunaan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi. Begitu juga dengan pimpinan asosiasi/perusahaan/masyarakat diharapkan melakukan langkah-langkah pencegahan dengan mengimbau anggotanya tidak memberikan gratifikasi yang dianggap suap, uang pelicin atau suap dalam bentuk lainnya.
Apa yang dilakukan oleh KPK ini tidaklah berlebihan karena hampir di setiap tahun menjelang idul fitri praktik gratifikasi atas nama THR sering terjadi. Masih belum terhapus dalam memori kita, pada tahun 2020 petugas KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap salah seorang oknum di perguruan tinggi negeri di jakarta saat memberikan gratifikasi berupa THR kepada pegawai Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Walaupun saat itu, berkilah bahwa uang yang diberikan merupakan hasil iuran dari para pejabat di PT tersebut.
Definisi dan Dasar Hukum tentang Gratifikasi
Bersumber dari situs resmi KPK, Pengertian gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12C ayat (1):Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi:
"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Mengenai sangsi yang berlaku, diatur berdasarkan pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001 yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Gratifikasi Menurut Islam
Gratifikasi dalam pandangan Islam memiliki makna yang cukup luas, yaitu segala bentuk pemberian. Konsep gratifikasi dalam Islam adakalanya berupa sedekah, hibah, hadiah, dan risywah. Bentuk-bentuk gratifikasi tersebut ada yang termasuk ke dalam kategori positif dan kategori negatif. Gratifikasi dalam bentuk sedekah, hibah, dan hadiah termasuk ke dalam amalan gratifikasi positif, amalan tersebut memang dianjurkan dalam Islam. Namun, amalan ini dapat berubah menjadi amalan negatif apabila penerimanya adalah petugas negara.
Adapun gratifikasi dalam bentuk hadiah kepada penguasa dan risywah termasuk ke dalam gratifikasi negatif, karena dua bentuk amalan gratifikasi ini telah disebutkan dalam al-Qur'an, hadis, maupun pendapat para ulama sebagai amalan yang dilarang syariat, dan termasuk amalan maksiat (jarimah). Gratifikasi dalam bentuk hadiah kepada penguasa dan risywah termasuk ke dalam kategori jarimah ta'zir, sehingga pelakunya dapat dihukum dengan hukuman ta'zir, mulai hukuman terberat hingga hukuman teringan. Dasar dalam memilih hukuman gratifikasi ini ditentukan oleh hakim dengan mempartimbangkan maslahatnya.
Bahasa arab mengenal gratifikasi dengan istilah riswah, menurut bahasa riswah berarti upah, hadiah, komisi atau suap. Sedangkan menurut istilah riswah berarti sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar. Diriwayatkan dari Syauban r.a, beliau berkata: “Rasulullah SAW melaknat tukang beri suap, menerima suap, dan menjadi perantara diantaranya.” Dalam hadits tersebut mengandung keterangan bahwa suap adalah bagian dari dosa besar, karena laknat yang berarti diusir dari rahmat Allah hanya berlaku untuk dosa besar. Dan laknat itu mencakup seluruh komponen yang terlibat dalam suap, yaitu: pemberi, penerima, dan perantara di antara keduanya.
Sejarah Islam telah menunjukan betapa bersihnya dan agungnya akhlak para penguasa Islam (Khalifah) seperti yang ditunjukan oleh Khalifah Umar Bin Khatab dan Khalifah Umar Bin Abdul Azis, sehingga sistem pemerintahan berjalan dengan bersih dan bebas korupsi. Karena sudah jelas bahwa Syariat Islam melarang adanya praktik gratifikasi baik terang-terangan dalam bentuk riswah/suap juga terselubung dalam bentuk pemberian hadiah dalam rangka THR. Wallahu alam bishowab.
Penulis :
Mamay Maslahat, S.Si., M.Si.
Dosen