Oleh: Eni Mu'ta, S.Si (Pendidik dan Pegiat Literasi Pena Cendekia)
Muslimahvoice.com - Di Indonesia masih banyak terjadi ketimpangan yang dialami perempuan. Mulai dari kesehatan, pendidikan, ekonomi, hingga kasus kekerasan. Hal ini diutarakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga ketika menyoroti angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan masih rendah di bawah laki-laki. Nilai IPM perempuan sebesar 69,18, sedangkan nilai IPM laki-laki adalah 75,96. (kemenpppa.go.id, 25/3/2021)
Rendahnya indeks IPM disinyalir akibat kontruksi sosial budaya yang berlaku di masyarakat. Salah satunya konstruksi sosial patriarki yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Memberi sekat bagi perempuan pada peran domestik atau rumah tangga. Sementara peran publik diberikan kepada laki-laki. Sehingga perempuan dipandang kurang produktif secara finansial.
Bertolak dari pandangan tersebut, perlu dilakukan gebrakan untuk meningkatkan IPM perempuan. Salah satunya dengan gagasan pembangunan perempuan berbasis gender. Dengan mencantumkannya dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan. Baik di tingkat nasional maupun global.
Sebenarnya berbagai inisiatif dan kampanye dengan beragam sasaran untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan gender sudah dilakukan. Namun faktanya masih terjadi banyak ketimpangan yang dialami perempuan. Sebagai sebuah ide, sejatinya kesetaraan gender hanyalah sebuah ilusi. Cita-cita UN Women mewujudkan Planet 50x50 mustahil dapat diwujudkan. Pasalnya hal itu bertentangan dengan kodrat manusia.
Secara fitrah, laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda. Masing-masing memiliki tugas khusus sesuai dengan kodratnya. Memaksakan perempuan menjalani tugas laki-laki akan memberatkan perempuan. Karena perempuan dituntut menjalankan peran ganda. Perempuan akan terjebak dilema, antara karir dan keluarga.
Jika dicermati pada upaya peningkatan indeks IPM dengan pembangunan berbasis gender, tampak orientasi yang dikejar adalah optimalisasi peran perempuan dalam partisipasi ekonomi. Bertolak dari pandangan McKinsey Global Institute Analysis, dimana partisipasi ekonomi perempuan terus ditingkatkan akan dapat meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 135 miliar per tahun di tahun 2025. (kemenppa.go.id, 25/3/2021)
Dalam paradigma kesetaraan gender, ukuran kemajuan perempuan dinilai dari kemampuannya mendatangkan materi. Hal ini menuntut eksistensinya di ranah publik tanpa diskriminasi. Termasuk besarnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Akibatnya, para perempuan berebut peran di rana publik. Banyak diantara mereka yang mandiri secara ekonomi, mengeksploitasi tubuh berdalih seni, terbang sana-sini karena tuntutan profesi, bahkan rela meninggalkan anak dan suami demi mengejar materi.
Dalam waktu yang bersamaan, tak sedikit perempuan melawan kodratnya. Bangunan rumah tangga goyah, bahkan hancur dengan tingginya angka perceraian. Perselingkuhan tak terelakkan. Anak-anak haus kasih sayang hingga rusak moral. Pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan juga kain marak. Inikah keberhasilan kesetaraan gender yang selalu dieluhkan?
Kondisi ironis tersebut menjadi bukti pembangunan perempuan berbasis gender hanyalah ilusi. Karena ide gender tak lebih hanyalah turunan dari ideologi demokrasi-kapitalisme. Penerapan sistem ini memanfaatkan perempuan sebagai mesin pengeruk uang. Bukan sebagai tiang negara yang memiliki peran mendidik anak dan keluarga.
Semakin diperjuangkan justru gender semakin menjauhkan perempuan dari kemuliaan. WHO menyebutkan terdapat sekitar 736 juta perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Ini merupakan pembaruan data yang dihimpun mulai 2000 sampai 2018. (Kompas, 10/3/2021). Jika demikian pembangunan manusia dengan berbasis gender tak akan pernah menuai keberhasilan.
Peran mulia perempuan itu sesuai dengan kodratnya. Allah swt menciptakan perempuan sedemikian indah, imbang, dan mulia di samping laki-laki. Diberikan potensi yang sama sebagai hamba Allah swt berupa akal, perasaan, dan kebutuhan jasmani. Namun secara fisiologi, organ dan fungsi tubuhnya berbeda. Ini yang membedakan peran kodratinya. Semua diatur dengan sempurna dalam Islam.
Ibarat siang dan malam, berbeda tapi saling melengkapi. Pun laki-laki dan perempuan diciptakan. Berbeda tugas bukan berarti membedakan martabat, kasta, apalagi diskriminatif.
Optimalisasi peran perempuan sesuai dengan kodratnya, bukan mengejar kesetaraan dengan laki-laki menjadi pangkal kemajuan bagi negeri. Karena ditangan perempuan keluarga menjadi harmonis, dan anak-anak terdidik dengan baik. Persoalan nafkah atau ekonomi biarlah menjadi tanggungjawab para laki-laki. Terlebih negara sebagai institusi penjaga kesejahteraan bagi warganya.
Hanya dengan sistem Islam perempuan dan laki-laki bersinergi sesuai dengan kodratnya. Dimana negara menjamin pelaksanaannya dengan menegakkan hukum Islam. Dengan demikian keadilan bagi laki-laki dan perempuan akan didapatkan. Karena semua aturan bersumber dari Allah swt, Zat yang Maha adil. Wallahu a'lam bish showab.[]