Doa Lintas Agama: Buah Sesat Pluralisme



Oleh: Ani Susilowati, S.Pd (Aktivis Muslimah)


Baru-baru ini santer diperbincangkan dijagat medsos, mengenai pernyataan dari Menteri Agama Yaqut Cholil  yang  memberikan penjelasan bahwa tiap acara di Kementerian Agama dimulai dengan doa semua agama, tidak hanya doa dari Islam. Ia mengatakan, hal ini masih sebatas saran internal.


"Itu kan bersifat internal, di lingkungan Kemenag. Itu pun hanya untuk kegiatan berskala besar seperti dapat besar seperti Munas (musyawarah nasional)," kata pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu usai mengisi seminar pemikiran di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur, dikutip dari Antara, Rabu (7/4).


Gus Yaqut menjelaskan, pembacaan doa lintas agama didasari karena Kementerian Agama tidak hanya menaungi satu agama saja. Tetapi semua agama yang semua agama tersebut diakui di negara ini. Oleh sebab itu Gus Yaqut mengatakan, doa lintas keyakinan perlu dilakukan agar menjadi representasi keterwakilan masing-masing pemeluk agama di lingkup organisasi kepegawaian Kemenag.


Pembacaan Doa Lintas Agama Juga Menjadi Pengingat Agar Pegawai Kemenag Tidak Korupsi dan Menjauhi kemungkaran. "Supaya juga tidak ada kesan yang berpotensi korupsi itu (pegawai) yang beragama Islam saja. Menurut beliau, orang yang ingat kepada Tuhannya, maka dia tidak akan korupsi," kata Gus Yaqut.


Doa memiliki banyak arti namun makna yang diambil secara umum adalah permintaan atau permohonan. Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Pedoman Dzikir dan Doa (Bulan Bintang, 1993), memaknai doa kepada Allah ialah menyatakan bahwa kita sangat berhajat kepada-Nya dalam memperoleh sesuatu yang kita kehendaki, diiringi dengan ketundukan dan merendahkan diri kepada-Nya.


Bagi kaum muslimin, doa bukan sekedar menyampaikan hajat, namun juga merupakan ibadah kepada Allah. Sebagai suatu ibadah, doa adalah khas bagi masing-masing agama. Hal ini karena yang diseru dan dimintai adalah Tuhan dari masing-masing agama. Dalam Islam, doa adalah memohon kepada Allah, tidak diperbolehkan meminta kepada selain Allah karena itu adalah bentuk kesyirikan.


Bila kita kembali pada pembahasan makna doa sebagai sebuah ibadah, dan status agama lain di luar Islam yang tidak diterima Allah, semestinya tidak ada lagi perbedaan pemahaman di tengah umat terkait hukum doa lintas agama.


Sebagai ibadah, kita hanya diperbolehkan melakukan ibadah kepada Allah, bukan tuhan-tuhan yang lain selain Allah. Doa kepada tuhan selain Allah adalah sia-sia. Bahkan meminta kepada tuhan selain Allah, misal kepada Yesus, Budha atau Sang Hyang Widhi, Allah tegaskan sebagai sebuah kesyirikan.


Bila sudah jelas keharaman doa lintas agama, mengapa masih dilaksanakan? Pertanyaan ini tentu berkecamuk dalam benak kita.


Doa lintas agama sebenarnya hanya salah satu bentuk dari ide sesat yang kita sebut pluralisme agama. Ide ini memandang bahwa semua agama adalah sama. Kebenaran semua agama adalah relatif. Maka pemeluk agama tak boleh mengklaim hanya agamanya yang benar sedangkan agama lainnya salah.


Pluralisme lahir dari filsafat perenialisme yaitu sebuah sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap agama di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal yang merupakan dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius 


Perlu di  pahami bahwa dalam Islam, filsafat sama sekali bukan sumber hukum. Sumber hukum hanya 4: Alquran, Sunah, ijmak, dan qiyas. Maka kita tidak boleh mengambil premis filsafat sebagai suatu kebenaran yang bertentangan dengan sumber hukum yang diakui Islam.


Menganggap semua agama sama, yakni menyembah tuhan yang sama hanya caranya yang berbeda, sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran faktual yang kita indra. Allah yang kita sembah bukanlah Yesus, karena Yesus diperanakkan, sedangkan Allah tidak beranak dan diperanakkan.


Juga bukan Buddha, karena Allah tidak pernah menitis sebagai manusia. Juga bukan Sang Hyang Widi, yang dalam agama Hindu disebut Acintya, digambarkan dalam wujud manusia tidak berkelamin, berdiri dengan satu kaki dan kedua tangan di depan dada. Sedangkan Allah adalah gaib, tidak bisa digambarkan, dan mukhalafatu lil hawaditsi ‘berbeda dari makhluknya’.


Dengan demikian pluralisme adalah bentuk pencampuradukan agama yang selayaknya kita tolak. Otomatis, ide-ide turunannya seperti doa lintas agama, dialog antaragama, kebenaran relatif agama dan sebagainya, adalah salah dan tidak boleh diambil umat Islam.


Kehidupan dalam sistem demokrasi sekuler terus menggerus keimanan umat Islam. Pluralisme dan sinkretisme makin dipupuk dan terus dideraskan. Opini moderasi Islam makin dikembangkan ke seluruh penjuru, termasuk kurikulum pendidikan. Semua ini berdampak pada rapuhnya akidah umat.


Akidah Islam merupakan sebuah pemikiran bagi suatu perkara yang menjadi pijakan dasar ketika manusia akan melakukan perbuatan di dunia. Jika akidahnya rusak, rusak pula kehidupan umat yang akan menjerumuskannya ke dalam lembah dosa. Alih-alih menjaga akidah umat, sistem demokrasi sekuler justru menghancurkannya.


Oleh karenanya, jangan biarkan ini terus terjadi. Butuh perjuangan bersama untuk mengembalikan kemuliaan umat, yakni melalui penerapan Islam kaffah.  Ketika Islam diterapkan, umat makin jelas memahami mana yang haram dan halal, mana yang menyesatkan dan memuliakan.[]

1 تعليقات

إرسال تعليق
أحدث أقدم