Oleh: Putri Hanifah, CHt., C.NNLP (Life Coach, Learning Facilitator)
Muslimahvoice.com - Sesaat setelah pembahasan pencabutan izin miras dicabut, Jokowi kembali menggaungkan seruan hangat kepada masyarakat ketika Rapat Kerja Kementrian Perdagangan 2021 untuk bangga menggunakan produk dalam negeri. Seruan tersebut dibingkai dengan slogan “Cintai Produk dalam Negeri, Benci Produk Asing”. Sontak pembahasan itu menjadi riuh dimedia sosial bahkan sejumlah media asing juga menyoroti pernyataan beliau seperti Reuters asal Inggris, Intellasia.net dari Asia Timur, kantor berita Singapura Channel News Asia, dan Mainichi.jp dari Jepang.
Jelas pernyataan itu akan mengundang kontoversi masyarakat, pasalnya diksi benci menurut KBBI adalah tidak suka. Tak heran yang terlintas di benak masyarakat adalah seruan untuk tidak menyukai produk asing. Padahal suka ataupun tidak suka adalah urusan hati yang semua orang memiliki pertimbangan sendiri mengapa membeli produk itu dan ini. Selain itu apakah pernyataan benci ini sudah tertanam atau hanya menjadi slogan? Karena fakta ini rasanya masih jauh di lapangan, bagaimana bisa benci produk luar negeri jika angka impor masih tinggi? Bulan Januari – Desember 2020 kemarin saja nilai impor Indonesia masih USD 141.568,8 juta menurut Badan Pusat Statistik.
Berbicara membeli barang adalah berbicara soal kebutuhan, ada orang yang membeli barang A yang dilihat kualitasnya, dia rela membeli barang tersebut dengan harga mahal karena mencari kualitasnya. Ada juga orang yang membeli barang B karena mempertimbangkan soalan harganya. “Oh, membeli produk ini yang murah saja.” Semua disesuaikan dengan kebutuhan yang akan dibeli oleh konsumen. Jika masyarakat dibatasi untuk tidak boleh membeli produk luar negeri (khususnya dari China) dengan karakteristik murahnya, siapa memang yang akan mengganti subtitusi produk yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan harga yang selangit?
Wajar jika presiden sampai menggaungkan benci produk luar negeri. Pasalnya produk luar negeri banyak sekali membanjiri pasar negeri ini. Bahkan marketplace favorite wanita Indonesia, Shopee juga sudah lama menyediakan fitur beli langsung dari luar negeri. Melihat animo masyarakat yang besar terhadap barang-barang dari luar negeri (khususnya China) tentu bukan tanpa sebab, animo ini datang karena harga barang di China super murah, selain itu biaya ongkir dari China ke Indonesia bahkan lebih murah daripada harga ongkir di dalam negeri itupun pembeli sudah tidak dibebani biaya beacukai lagi (jika membeli orderan lewat shopee). Bagaimana menggiurkan bukan?
Jangankan orderan di shopee, jika kita ke pasar saja dominasi bawang putih juga hasil impor dari luar negeri. Kadang bukan karena masyarakat tak mau untuk membeli produk luar negeri, fakta dilapangan adanya itu. Masa iya dengan dalih benci, kita tidak jadi memasak karena tidak ada suplai bawang dari dalam negeri. Alasan kedua yang juga menjadi alasan terbesar sebenarnya pertimbangannya berkaitan dengan motif ekonomi (murah, hemat, ekonomis).
/Lantas Mengapa Harus Menggunakan Diksi Benci?/
Meski dalam menggaungkan slogan tersebut pemerintah tidak membaca teks, mestinya pemerintah tidak menggunakan diksi benci. Biarlah persaingan itu hadir secara alami, kalau perlu jejerkan produk kita dengan produk luar negeri. Misal mobil SMK di jejerkan dengan mobil Hyundai. Test pasar, mana yang masyarakat pilih? Kalau masyarakat memilih produk luar negeri berarti memang produk dalam negeri ada yang harus dibenahi, inovasi harus segera digencarkan. Kalau kita benci? Bagaimana kita bisa mengamati, meniru dan memodifikasi produk mereka untuk mengembangkan produk sendiri di dalam negeri?
Oleh karena itu sekelas pembahasan tentang produk saja, kita membutuhkan sistem politik yang jelas. Hari ini terjawab mengapa pedagang UMKM belum bisa bersaing dengan penjual dari luar negeri. Perlu diingat beberapa waktu kemarin pemerintah sudah menteken UU Omnibus Law yang meniscayakan penyederhanaan perizinan berusaha. “Betul frekuensi perdagangan akan naik, tapi jangan lupa kegiatan ekspor-impor akan menjadi lebih longgar dan tidak terkontrol bahkan beberapa perizinan bisa saja dihapus” ujar Andri Satrio dalam acara diskusi yang digelar INDEF (6/1/2020).
Jika politik yang digunakan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan, termasuk dalam ekonomi adalah politik untung rugi maka kebingungan pengelolaan ini pasti akan terjadi. Tentu kita tidak lupa dengan proyek investasi China di Indonesia? Setidaknya ada 1562 proyek sektor riil di Indonesia yang di danai oleh China. Pertanyaannya, apakah China akan memberikan investasi dengan gratis begitu saja? Tentu tidak, China pasti akan mensyarakat investasi tersebut dengan beberapa syarat. Maka jangan heran jika ongkir China ke Indonesia murahnya bukan kepalang.
Yes, begitulah potret negeri ini, negeri yang mengadopsi ideologi Kapitalisme dengan asas sekulerisme sampai kapanpun tidak akan bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sejahtera dalam negeri ini adalah bagi para pemilik modal yang memiliki segalanya. Maka dari seruan hangat dari pemerintah ini kita belajar sejatinya sistem kapitalisme tidak akan pernah memberikan kesejahteraan bagi rakyat secara individual.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam, sistem Islam yang datangnya dari Allah tidak mengenal istilah untung rugi. Allah membuatkan aturan seadil mungkin untuk mengatur manusia. Saking lengkapnya sistem Islam ada pengaturan dari urusan paling kecil seperti memasuki kamar mandi sampai membangun negara. Urusan ekonomi-pun Islam juga punya solusinya. Sistem Islam yakni Khilafah akan memberikan jaminan persaingan usaha yang sehat, jika ada UMKM yang tidak memiliki modal akan dimodali, yang belum memiliki pekerjaan akan didorong untuk bekerja. Islam juga akan memfasilitasi penelitian-penelitian yang dapat mendukung kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Jaminan terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan produksi dalam negeri akan diberikan. Mulai dari proses mengambil barang mentah, mengolahnya hingga menjadi barang akan didukung. Negara akan menjamin regulasi barang atau pangan lancar. Tidak ada pengimpor, penimbun dan makelar barang produksi. Sehingga barang tidak langka, mudah diperoleh dan harganya terjangkau, tidak ada praktek tikung menikung. Pasar bebas diberikan regulasi dengan adil tanpa merugikan satu sama lain. Maka In syaa Allah dengan tegaknya sistem Islam kesejahteraan individu akan dirasakan oleh seluruh masyarakat.[]