Oleh : Fitria yuniwandari, S. Pd
(Pengajar)
Muslimahvoice.com - Terungkapnya operasional Hotel Alona milik artis Cynthiara Alona di Jalan Lestari Kelurahan Kreo, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang menambah deretan kasus prostitusi anak di bawah umur. Sedangkan kasus ini sudah menjadi permasalahan nasional yang tak kunjung selesai. Parahnya, kasus prostitusi di masa pandemi ini bukan malah turun atau tidak ada, tapi bahkan bertambah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, ada 88 kasus anak korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi anak. Dia menjelaskan rata-rata ada lebih dari satu orang anak pada setiap kasusnya, dan kebanyakan anak perempuan usia 12-18 tahun yang menjadi korban.
Kasus prostitusi yang semakin banyak belum bisa ditanggulangi oleh pemerintah. Kalaupun ditutup dan pelaku diringkus, hal ini belum bisa menyelesaikan problem prostitusi. Sebagaimana kasus hotel milik artis Chintya Alona, pemerintah telah menutup hotel tersebut dan meringkus Chintya Alona. Sedangkan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta telah menangani 15 anak perempuan korban prostitusi. Ibarat gunung es, kasus-kasus tersebut hanya permukaannya saja. Padahal masih banyak kasus esek-esek yang tidak mampu diendus oleh aparat bahkan pemerintah.
Fenomena prostitusi online yang terjadi di tengah masyarakat nampaknya butuh waktu lama untuk benar-benar dikurangi. Pasalnya, pertama, pemerintah sendiri belum membuat aturan dan hukuman yang tegas bagi Pekerja Seks Komersial (PSK). Hingga kini yang mendapat hukuman hanyalah muncikari.
Kedua, negara tidak mampu menjaga akal dan jiwa rakyatnya. Sehingga banyak ditemui tontonan dan tuntunan yang membankitkan naluri seksual. Tontonan seperti ini sangat mudah diakses dari usia anak-anak, remaja, dan dewasa. Baik dari tontonan televisi maupun media sosial. Karena tidak sedikit pelakunya melakukan zina karena telah menonton video porno.
Ketiga, negara tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Mucikari dan pelacur memilih pekerjaan haram ini karena dorongan ekonomi. Harga-harga semakin hari semakin mahal tidak dibarengi dengan lahan pekerjaan yang mudah. Ketidakmampuan negara inilah yang memperparah kasus kekerasan dan protitusi anak. Negara macam ini adalah ciri negara yang mengadopsi sistem sekuler-kapitalistik. Hukum atau kebijakan-kebijakan akan dibuat sesuai dengan kepentingan sang pemiliki modal.
Berbeda dengan islam, hukum-hukum Islam dibuat sesuai dengan Sang Pemilik dunia dan isinya. Di dalam Islam negara bertanggung jawab mengurusi seluruh rakyatnya baik Muslim maupun non Muslim. Dalam kasus ini, Islam memiliki upaya preventif dan kuratif. Upaya preventif, negara menutup celah-celah yang mengantarkan kepada zina. Negara mengatur pergaulan antara lawan jenis : menutup aurat, menundukkan pandangan dan jika mampu islam mendorong untuk menikah karena itu lebih mulia dari pada berzina. Negara memblok situs-situs pronografi dan pornoaksi, agar tidak terdorong untuk melakukan zina. Dan negara akan memenuhi kebutuhan hidup rakyat sehingga tidak terbesit sedikitpun untuk mengambil pekerjaan haram ini. Adapun upaya kuratif, Islam memiliki hukuman jelas dan pakem bagi pelaku zina. Bagi yang sudah menikah, dia akan dirajam. Sedangkan bagi yang belum menikah, dia akan didera cambuk sebanyak 100 kali. Jadi, kekerasan dan prostitusi anak akan tuntas jika negara mengadopsi aturan sempura dari Sang Pemilik Dunia dan Isinya.[]