Oleh Rahma Aliifah
Muslimahvoice.com - Pemerintah memutuskan untuk melakukan impor garam hingga 3 juta ton pada tahun ini. Namun, kebijakan itu dinilai akan merugikan para petani yang menggantungkan hidup dari keberadaan garam. Mantan Mentri Kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti berharap jumlah garam yang diimpor bisa lebih diatur. Sebab itu akan memengaruhi harga garam yang diproduksi oleh para petani lokal. Dia menilai, importir garam sebanyak itu justru bisa membuat harga garam lokal akan merosot hingga Rp1500 perkilogram.
“Bila impor garam bisa diatur tidak lebih dari 1.7 juta ton, maka harga garam petani bisa seperti tahun 2015 sampai dengan awal 2018 bisa mencapai rata-rata diatas Rp1500 bahkan sempat ke Rp2.500. Sayang dulu 2018 kewenangan KKP mengatur neraca garam dicabut oleh PP9,” tulis Susi dalam akun Twitter pribadi yang dikutip Binis.com (21/3/2021).
Kebijakan pemerintah ini menuai kritikan dari berbagai kalangan, termasuk Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU). Badan Otonom Nahdlatul Ulama ini menilai kunci swasembada garam adalah pada para petani, bukan di pundak para importir garam. Oleh karena itu, SNNU meminta pemerintah mulai serius memperhatikan para petani garam. Bukan sebaliknya memanjakan cukong pengimpor garam.
Menurut ketua Umum SNNU, Witjaksono, “memujudkan program kedaulatan pangan, bisa dimulai dengan tidak lagi mengimpor garam. Mari kita memperhatikan para petani garam. Petani yang bergerak pada sektor riil ini menjadi penopang utama pada situasi krisis, ketika ekonomi mulai tumbuh mengapa malah dilupakan.” Dalam keterangan tertulisnya. (TribunJateng.com, 17/3/2021)
Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jakfar Sodikin menyayangkan keputusan impor garam yang terus berlanjut, apalagi disertai pembatalan target swasembada. APGI menilai impor garam akan semakin membuat petambak terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor.
Alih-alih pemerintah melalui KKP melindungi petambak garam dengan adanya UU Cipta Kerja, nyatanya pemerintah menempuh cara termudah dengan melakukan impor garam dengan alasan garam lokal yang katanya tak memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan industri. Bukannya swasembada diupayakan dan membangun visi bagaimana akhirnya garam lokal bisa terserap oleh kebutuhan industri. Yang ada, lagi lagi impor dan garam lokal terkalahkan oleh dominasi garam-garam impor.
Swasembada bak angin lalu, ketergantungan terhadap impor begitu menggurita. Bahkan trennya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Ironisnya, pemerintah tampak tak ada upaya bagaimana membangun teknologi yang memudahkan terserapnya garam lokal untuk kebutuhan industri. Bukan terus-menerus berujung kepada impor dengan alasan garam lokal tak sesuai dengan kebutuhan industri. Bukankah ini pola pikir yang pragmatis? Bagaimana mungkin, Indonesia mampu menjadi negara besar jika tak visioner dan selalu mencari langkah-langkah pragmatis semata.
Kondisi petani garam pun tak juga menuai kesejahteraan. Bagaimana mungkin, petambak garam bisa sejahtera, jika pasar mereka digilas oleh kartel garam impor. Tudingan tidak berkualitasnya garam dalam negeri terus dilontarkan ketika impor garam akan dilakukan. Sebagaimana diungkapkan Sekretaris Jenderal Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (Sekjen A2PGRI) Faisal Badawi, "Ini apa hanya sebagai alibi (alasan), bahwa ini nggak masuk spesifikasi? (Atau) ini nggak masuk spesifikasi, untuk mengejar margin dan lainnya? Itu ga ngerti," kata Faisal. (detik.com, 13/01/2020)
Lalu bagaimana Islam membuat peta jalan mewujudkan kedaulatan dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat? Negara yang menjadikan Islam sebagai asasnya, akan membuat negara tersebut punya visi global. Negara ini memiliki idealisme dan tak akan mau didkte oleh pihak lain. Salah satunya dalam pengelolaan barang produksi. Negara Islam akan berusaha melakukan pengurusan sebaik mungkin, agar barang atau produk tidak mengandalkan impor serta mengamankan seluruh sumber daya alam beserta mata rantai industri dari cengkraman asing. Dengan mengelola sendiri Sumber daya alam dan mata rantai industrinya. Asing sama sekali tidak memiliki posisi tawar untuk menekan negara.
Negara hadir secara utuh dalam mengurusi kebutuhan pangan rakyat termasuk pengaturan garam. Mulai dari pengaturan di ranah produksi, distribusi hingga konsumsi. Keberpihakan dan pengurusan khilafah haruslah 100% untuk melayani hajat seluruh rakyatnya. Sehingga rakyat akan terlindungi dari badan usaha serakah yang ingin mengambil seluruh sumber daya alam negeri ini.
Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).
Hadis di atas jadi penguat bahwa garam haram diprivatisasi. Sehingga negara harus mengelolanya sendiri. Masalah dana, Islam tak membolehkan kita bergantung pada negara lain apalagi asing. Karena akan menjatuhkan wibawa dan memudahkan asing menjajah. Lantas dari mana sumber pemasukan kas negara (Baitul mal)? Yakni melalui pemasukan seperti kharaj, jizyah, fai’, dan pemanfaatan SDA. Dengannya negara akan mendapatkan modal yang cukup. Sehingga masalah dana tidak lagi menjadi kendala.
Dengan menjadikan Islam sebagai mabdanya, Allah memberikan jaminan akan menurunkan berkahnya dari langit dan bumi. Islam menjadikan kita mandiri, tidak berharap pada manusia. Karena hanya Allah tempat bersandar utama.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. []