Hanya dengan Khilafah, Indonesia lepas dari Impor




Oleh: Ummu Abed


Muslimahvoice.com - Negeri penuh dengan sejuta kejutan, belum selesai rakyat dikejutkan dengan investasi miras yang menuai pro kontra tak kunjung menemukan solusi tuntasnya. Rakyat dikejutkan lagi dengan ajakan untuk mencintai produk dalam negeri dan membenci produk luar negeri. Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo membuka rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan 2021 di Istana Negara dengan pernyataan kontroversial.


Di dalam pidatonya, Jokowi (sapaan akrab Joko Widodo) menggaungkan untuk mencintai produk dalam negeri, tapi sekaligus membenci produk luar negeri atau asing. Jokowi menyebut, kampanye cinta produk Indonesia dan benci produk luar negeri penting dikumandangkan supaya masyarakat loyal terhadap hasil karya anak negeri, ujarnya seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (5/3/2021).


Sungguh ajakan yang positif dan membangun, apa lagi disampaikan oleh pemimpin negeri tercinta. Namun sayang ada ketidaksingkronan dari ajakan tersebut, slogan untuk mencintai produk dalam negeri dan membenci produk luar negeri tidak sejalan dengan fakta yang ada. Indonesia justru banyak mengimpor barang-barang dari luar Indonesia.


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia sepanjang tahun 2020 sebesar US$ 141,57 miliar. Seperti, mesin-mesin/pesawat mekanik (18,02 persen), Mesin/peralatan listrik (13,06 persen), Besi dan baja (7,00 persen), Plastik dan barang dari plastik (5,96 persen), Kendaraan dan bagiannya (4,89 persen)

Bahan kimia organik (3,98 persen), Benda-benda dari besi dan baja (2,41 persen)

Serealia (2,25 persen), Perangkat optik (1,88 persen) dan Ampas/sisa industri makanan (1,78 persen). (Cnnindonesia.com/15/01/2021)


Selain itu berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian Pertanian, hingga Januari sampai September 2020, Indonesia masih juga impor pangan  seperti, beras, jagung,  kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu,  daging, ayam, garam, mentega, minyak goreng, susu, kelapa, bawang merah, bawang putih, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakau, cabe, ubi kayu, kentang dan masih banyak yang lainnya. (Tirto.id/17/11/2020)


Sungguh luar biasa hampir semua kebutuhan rakyat berasal dari impor, tidak heran jika harganya mahal dan masyarakat tidak mudah menjangkaunya. Ironis negara yang kaya raya akan SDA namun faktanya semuanya serba impor. Bahkan yang terbaru saat ini adalah impor beras, sehingga  membuat Sejumlah petani dari sentra produksi padi mulai merasakan harga jual gabah kering panen (GKP) anjlok di tengah wacana impor beras 1,5 juta ton. Kebijakan yang digulirkan pemerintah menjelang panen raya itu disebut petani 'menyakitkan'.


Sementara itu, pemerintah tetap menggulirkan impor beras dengan dalih sebagai pengaman pangan di masa pandemi hingga 2021. Guru Besar Institut Pertanian Bogor menyebut kebijakan ini tak masuk akal karena sejumlah indikasi menunjukkan produksi padi tahun 2021 akan meningkat.


Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas mengatakan saat ini belum ada alasan untuk impor beras mengingat rencana tersebut berdekatan dengan masa panen raya.


"Alasan (pemerintah) untuk menjaga stok, tapi itu tidak bisa dijadikan alasan," kata Dwi. Ia mengatakan produksi beras dalam negeri saat ini dalam posisi aman yang terlihat dari penurunan harga gabah kering panen di tingkat petani sejak Oktober 2020. (antaranews.com/10/3/2021)


Adanya impor besar-besaran terhadap kebutuhan rakyat adalah bukti kegagalan penguasa dalam mengurus urusan rakyat. Hal itu terbukti untuk memenuhi kebutuhan konsumtif pun, rezim pemerintahan negeri ini membangun ketergantungan kepada negara lain bukan membangun kemandirian.

Sementara berbagai kebutuhan negeri berpenduduk 200 juta orang lebih ini, pasarnya dikuasai negara lain. 


Jargon mencintai produk dalam negeri, ekonomi kerakyatan, ekonomi pancasila, dan semacamnya terbantahkan oleh fakta implementatif berjalannya ekonomi neoliberalisme di negeri ini.


Kebijakan impor ini tak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi  yang diambil penguasa. Ekonomi neoliberal membuka lebar pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi. Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk agreement perdagangan bebas.


Berbagai bentuk agreement perdagangan bebas tersebut dipaksakan melalui lembaga dunia- World Trade Organization (WTO). Sejak WTO digagas di Peru tahun 1994, dominasi AS dan Uni Eropa nampak dominan dalam setiap pengambilan keputusan WTO.


Masih tingginya domestic support negara maju dan kuatnya tekanan kepada negara berkembang untuk membuka pasar (market access) membuat negara-negara berkembang yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian harus menghadapi pertarungan yang asimetris dengan negara maju.


Institusi tersebut telah memaksa negara-negara miskin untuk membuka pasar mereka sebelum produsen lokal memiliki kapasitas untuk berkompetisi. Konsekuensinya kekuatan ekonomi yang timpang antarnegara maju dan negara-negara berkembang dan miskin yang tergabung dalam WTO didorong untuk beradu dalam ring pasar bebas.


Ibarat petinju kelas berat yang berhadapan dengan petinju kelas bulu, negara-negara maju dengan mudah menganvaskan negara berkembang ke sudut ring. Hal itu adalah contoh bagaimana liberalisasi memakan korbannya, termasuk Indonesia juga menjadi korban akibat kebijakan liberasasi perdagangan ini.


Menurut Abdul Qadir Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas dari negara-negara berkembang.


Akibatnya negara-negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat struktur perekonomian negara-negara berkembang sangat sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.


Ekonomi Indonesia mandiri hanya dengan Syariah Kaffah sebagaimana 

negera berkembang lainnya, tsunami impor akan terus menggerus negeri ini selama rezim tetap berpegang pada kebijakan ekonomi neolib. Untuk menghentikannya dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pembisnis, serta sistem ekonomi syariah bukan ekonomi yang prokapitalis.


Dalam ekonomi syariah, kegiatan impor dan ekspor merupakan bentuk perdagangan (tijârah). Di dalamnya praktik jual-beli dengan berbagai bentuk dan derivasinya dilakukan. Karena itu, hukum asal perdagangan, baik domestik maupun luar negeri adalah mubah sebagaimana hukum umum perdagangan.


Hanya saja, ada perbedaan fakta antara perdagangan domestik dengan perdagangan luar negeri. Karena Khilafah adalah negara yang menerapkan hukum Islam, baik ke dalam maupun ke luar, maka perdagangan luar negeri ini pun harus diatur dengan hukum Islam.


Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan. Dalam hal ini, mereka bisa diklasifikasikan menurut negara asalnya, menjadi tiga: (1) Kafir Harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim; (2) Kafir Mu âhad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; (3) Warga negara Islam.


Terkait dengan warga negara kafir harbi, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam, dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali warga negara “Israel”, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, dan negara-negara kafir harbi fi’lan lainnya, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan perdagangan apa pun di wilayah negara Islam.


Adapun warga negara kafir muâhad, maka boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di wilayah negara Islam dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara Khilafah dengan negara mereka.


Sementara warga negara Khilafah, baik Muslim maupun nonmuslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan Negara Khilafah dan menguatkan musuh


Perdagangan luar negeri, meski merupakan aktivitas ekonomi, tetapi karena terkait dengan hubungan dengan pedagang di luar wilayah negara Khilafah, maka arus orang, barang, dan modal yang keluar masuk tetap di bawah kontrol Departemen Luar Negeri (Dâirah Khârijiyyah).


Bagi warga negara kafir harbi hukman, arus orang, barang, dan modal yang masuk ke wilayah negara Khilafah bisa terjadi setelah ada visa khusus yang terkait dengan ketiga-tiganya. Namun, ini tidak berlaku bagi kafir harbi fi’lan.


Sementara bagi warga negara kafir muâhad, dibutuhkan visa atau tidak, kembali kepada klausul perjanjian antara negara Khilafah dengan negara mereka. Jika arus orang, barang, dan modal itu tidak termaktub dalam klausul perjanjian tersebut, maka mereka membutuhkan visa khusus tadi. Semuanya ini di bawah kontrol Departemen Luar Negeri. Ini terkait dengan negara asal dan supliernya.


Adapun terkait dengan status halal dan haram, sepenuhnya juga tergantung pada pengaturan syariat. Impor daging dan produk terkait, misalnya daging hewan yang diimpor terkait dengan barang sembelihan.


Kriteria penyembelihan penting diperhatikan, karena ini menentukan status hukum kehalalannya. Jika tidak bisa dipastikan, maka daging tersebut tidak boleh diperjualbelikan, termasuk diimpor ke wilayah negara Khilafah.


Karena alasan syubhat, Khilafah bisa melarang impor daging tersebut. Jika barang syubhat ini sudah masuk di wilayah negara Khilafah, maka qadhi hisbah, harus menghentikan distribusi dan konsumsi daging seperti ini.


Qadhi hisbah juga bisa mengusut dari mana sumber distribusinya. Tindakan ini harus dilakukan karena Islam menetapkan standar halal-haram terhadap barang dan jasa yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi di tengah-tengah masyarakat. Jika terbukti haram atau setidaknya syubhat, maka tidak boleh diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi.


Adapun terkait dengan praktik makelar (samsarah), di mana makelar ini bekerja menghubungkan perusahaan importir dengan pembuat kebijakan, yang dengannya makelar tersebut mendapatkan komisi, tidak sesuai dengan hukum Islam.


Dari sini tergambar jelas begitu sempurna dan utuhnya pengaturan negara khilafah dalam aspek perdagangan luar negerinya. Negara bervisi besar dan lengkap, pengaturan yang digali dari Alquran dan Sunah ini pasti mampu mengatasi karut marut yang biasa terjadi pada urusan ekspor impor.


Hanya negara khilafah yang mampu menghadapi secara berimbang kepongahan negara-negara industri hari ini. Khilafah tak akan mungkin bisa dikooptasi oleh negara lain atau kesepakatan multilateral karena haram hukumnya tunduk pada kesepakatan asing.


Sebagaimana firman Allah Swt., “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS Al-Nisâ’ ayat141).


Keterikatan pada syariat Islam kaffahlah yang mampu menjamin stabilitas ekonomi. Dijamin tak akan terjadi tsunami impor macam hari ini. Hadirnya kekuatan besar ini makin kuat dirasakan seiring dengan makin tampaknya kebobrokan sistem ekonomi kapitalis liberal. Sehingga makin dekat dengan janji Rasul-Nya Tsumma takuunu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم