Basa-Basi Benci Produk Luar Negeri



Oleh: Suci Fitriani


Muslimahvoice.com.- Dalam pembukaan rapat kerja nasional Kemendag, presiden sempat berseru untuk menggaungkan produk dalam negeri dan membenci produk luar negeri. Tetapi seruan tersebut bertolak belakang dengan kebijakan impor beras dalam rangka stabilisasi harga dan ketersediaan stok dalam negeri.


Masalah benci terhadap suatu produk sendiri, akan bersifat subjektif. Pasalnya Indonesia yang masih menjadi negara berkembang tetap membutuhkan komoditas dari luar, baik barang mentah, produksi maupun produk jadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu negara tidak dapat dilepaskan dengan impor barang, terlebih ketika barang tersebut tidak diperoleh di dalam negeri.


Menyaksikan seruan dan fakta impor beras yang dicanangkan sebesar 1 sampai 1,5 juta ton, nampaknya pemerintah belum mampu menentukan prioritas impor. Bagaimana tidak, Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris seharusnya mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan bahan pokok tersebut. Ditambah lagi kenyataan yang sering dialami oleh petani ketika musim panen datang, harga gabah dan beras sering kali anjlok. Petani lagi yang dirugikan dan mereka hanya bisa pasrah menerima keadaan. 


Seruan presiden untuk membenci produk asing nampaknya hanya pemanis bibir, dan retorika politik pemikat hati rakyat. Fakta justru bertolak belakang dengan dibukanya kran impor di sektor vital strategis. Besarnya impor khusus barang konsumsi tersebut berdampak pula pada pelemahan rupiah. Rasio impor terhadap ekspor relatif tinggi karena lebih dari 90 persen yang berakibat pada nilai tukar rupiah terhaap dolar AS. Tentunya sebagai pemegang kebijakan, Jokowi memberikan perhatian lebih terhadap produk dalam negeri, terutama dalam bidang pertanian yang kerap kali terpinggirkan akibat dampak kelola pasar yang berpihak pada pemilik modal. 


Mengeksekusi seruan benci produk luar negeri tersebut, tidak diimbangi peta jalan yang  sungguh-sungguh membangun potensi dalam negeri. Kebanyakan masyarakat mengira pengesahan UU No. 11 Tahun 2020 Ciptaker membawa keberkahan bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, dikarenakan memberi kemudahan dan perlindungan serta pemberdayaan UMKM.


Dalam Pasal 95 UU Cipta Kerja menyatakan, pemerintah pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pendanaan bagi pemerintah daerah dalam rangka kegiatan pemberdayaan dan pengembangan UMK. Namun, hal itu semua tidak dapat menjamin kesejahteraan UMKM di seluruh Indonesia. Nyatanya, UMKM banyak yang berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari pemerintah yang bersifat pembelajaran maupun materi. 


Bagaimana Islam dalam sistem khilafah menjamin sehatnya persaingan usaha berkebalikan dengan sistem ekonomi kapitalistik hari ini. Islam memberi dukungan segala bentuk terhadap pengembangan produk dalam negeri, menolak tekanan global perdagangan bebas dan menetapkan regulasi impor agar tidak menjadi jalan menguasai muslim. Transaksi dalam Islam adalah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperoleh dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram.


Karena itu, semua keputusan dan tindakan yang berlandaskan hukum Islam pasti tidak menimbulkan kedzaliman terhadap manusia baik didunia maupun di akhirat.


Sebagai negara yang memiliki cara pandang dan penyelesaian masalah transaksi antar negara, khilafah Islam telah mendudukkan dirinya pada posisi yang tinggi. Segala macam cara diupayakan agar negara tidak tunduk dan bergantung pada asing. Tentunya hal tersebut dengam maksimalisasi rahmat Allah yang terdapat di dalam negeri, berupa pengelolaan berbagai SDA. Ketahanan ekonomi dalam negara Islam sangat penting karena akan berdampak pada ketahanan nasional juga. 

Wallahu'alam. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم