Oleh : Septa Yunis (Analis Muslimah Voice)
Muslimahvoice.com - Pada pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Perdagangan tanggal 4 Maret 2021 di Istana Negara, Presiden Joko Widodo mengajak untuk menggaungkan benci produk impor. Sementara, slogan cintai produk dalam negeri juga tetap digaungkan.
"Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri. Bukan hanya cinta (produk dalam negeri)," kata Jokowi saat peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/3). (katadata.co.id)
Menurutnya, slogan benci produk luar negeri bertujuan agar konsumen Indonesia menjadi loyal terhadap produk dalam negeri. Branding produk Indonesia pun harus melekat agar rasa cinta produk lokal tumbuh pada masyarakat.
Namun, pernyataan tersebut menuai kritikan, salah satunya dari Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno, ia menilai pernyataan Presiden Jokowi yang mengajak masyarakat membenci produk asing merupakan wujud kegalauan pemerintah, sekaligus menunjukkan sikap paradoks. Sebab, saat ini hampir semua sektor melakukan impor. Padahal, banyak sektor yang sebenarnya bisa dikapitalisasi.
Disamping pernyataan tentang menggaungkan cinta produk dalam negeri, pemerintah juga membuka kran impor di berbagai sektor. Fakta yang disampaikan oleh data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor pada bulan Desember 2020 sejumlah US$14,44 Miliar, naik dibanding bulan November 2020 sebesar 14%.
Pada tahun 2021 ini pemerintah berencana membuka kran impor di sektor pangan. Pemerintah berencana impor beras sebanyak 1-1,5 juta ton. Menurut Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, hal ini dilakukan untuk menjaga ketersediaannya di dalam negeri agar harga tetap terkendali.
Selain itu, tantangan di era e-commerce juga menjadi pemicu terbukanya pasar impor di tanah air. Produk impor sudah meraksasa di marketplace. Produk impor cenderung lebih murah. Hal ini menjadi pemicu meningkatnya konsumen pada produk impor. Sedangkan harga produk lokal masih kompetitif. E-commerce Indonesia dikuasai oleh 90% produk impor.
Di tengah derasnya seruan produk impor, nasib pengusaha tidak ada pelindung. Penguasa tunduk pada ASEAN-China FREE Trade Area, yang membebaskan pajak barang yang masuk ke wilayah Indonesia. Sementara di dalam negeri pemerintah tidak mampu mewujudkan iklim bisnis yang kondusif. Pengusaha lokal dipungut pajak dan beberapa pungutan lainnya yang menjadikan harga produk dalam negeri tidak kompetitif. UMKM dilepas di pasar bebas untuk bersaing dengan korporasi besar dunia. Hal ini menjadikan pendapatan e-commerce hanya dinikmati asing.
Maka, seruan untuk mencintai produk dalam negeri dan membenci produk Asing, tidak cukup menyelamatkan pengusaha dalam negeri. Berbagai perjanjian-perjanjian yang dilakukan pemerintah telah nyata merugikan pengusaha dalam negeri. Inilah produk atau hasil dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang melahirkan ekonomi liberal.
Pernyataan pemerintah tentang menggaungkan produk dalam negeri dan benci produk luar negeri adalah blunder. Jika pemerintah benar benar ingin mencanangkan cinta produk dalam negeri, seharusnya menutup kran impor di berbagai sektor. Dan lebih memperhatikan pengusaha atau petani dalam negeri. Namun hal ini sulit dilaksanakan, pasalnya negeri ini masih setia berada di bawah ketiak Asing yang menguasai pasar dalam negeri.
Miris sekali jika negeri ini tidak bisa ambil langkah tegas untuk benar-benar mencintai produk dalam negeri. Ekonomi kaliptalis menjadikan Indonesia dikuasai Asing. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang hanya bisa diterapkan dalam Daulah Khilafah. Perdagangan luar negeri negara Khilafah dikontrol sepenuhnya oleh negara. Warga negara Khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim, dilarang melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir, tanpa seizin Khilafah. Karena itu, di perbatasan-perbatasan wilayah Khilafah dengan negara-negara kafir harus ada pengawas (mashalih) yang bertugas memantau lalu lintas orang yang masuk dan keluar dari Khilafah.[]